Oleh: Ufqil Mubin*
Namanya Siti Fajriani. Dua belas tahun yang lalu, saya masih duduk di bangku kelas tiga Sekolah Menengah Atas (SMA) saat ia memulai usaha kecil di rumahnya yang berlokasi di Desa Ncera, Kecamatan Belo, Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Sebelum matahari terbit dari sela-sela bukit di bagian timur desa tersebut, ia telah pergi ke Pasar Tente, membeli berbagai barang dagangan seperti sabun, mi instan, buah-buahan, dan makanan-makanan ringan yang kemudian dijual kembali di tokonya yang jaraknya sekitar 150 meter dari jalan raya.
Ia perempuan yang ulet dalam berusaha. Semua peluang yang memungkinkannya untuk mendapatkan hasil dimanfaatkannya dengan baik.
Di Ncera, para pemuda punya beberapa event tahunan, di antaranya pertandingan sepak bola dan perayaan hiburan setelah pernikahan.
Setiap keramaian, tentu saja memiliki potensi transaksi jual beli. Guru saya kala duduk di SMP Karya Ikhlas Ncera, Salahuddin mengatakan, “Setiap ada keramaian, itulah yang dinamakan pasar.”
Keramaian adalah pasar potensial bagi para pedagang seperti Fajrin. Ia pun memanfaatkan momen itu dengan menjajakan jualannya di tengah orang-orang yang sedang menghadiri pesta pernikahan, warga yang menikmati wisata alam Bombo Ncera, atau massa yang menonton pertandingan sepak bola di Lapangan Desa Diha.
Saat para wisatawan berkumpul di Bombo Ncera, dulu acap disertai dengan pesta di mana para pemuda mendatangkan penyanyi-penyanyi lokal. Fajrin membaca itu sebagai pasar potensial yang memungkinkannya meraup keuntungan. Dia pun berjualan mi instan dan telur rebus. Mi dan telur yang dijualnya pun ramai-ramai dibeli oleh orang-orang yang berdatangan ke tempat wisata tersebut.
Pada kesempatan lain, Fajrin berjualan mi instan, telur, dan makanan ringan di sela-sela pertandingan sepak bola antar RT di Lapangan Desa Diha. Saya melihatnya menenteng beberapa dus mi instan, telur, dan kompor yang masih menggunakan minyak tanah ke Desa Diha, yang jaraknya sekitar 2,5 kilometer dari rumahnya yang berlokasi di ujung timur Desa Ncera.
Sebagai pengusaha kecil, barang kali ia belajar banyak dari pengalamannya berusaha selama bertahun-tahun. Di awal-awal melakoni dunia usaha, Fajrin hidup dengan sangat sederhana. Ia menghindari pengeluaran-pengeluaran yang tak begitu penting. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, dia hanya memiliki satu atau dua baju pesta.
Satu waktu, dia berkisah kepada saya, “Dulu kalau makan hanya pakai satu bungkus mi instan walaupun ada uang di tangan.”
Sepuluh tahun berlalu, atas dukungan dari suaminya, Junaidin, keduanya melebarkan usahanya. Modal usahanya sudah kuat. Dia pun telah mengantongi kepercayaan dari bank. Ia dan suaminya mengkredit beberapa unit mobil. Kemudian digunakan untuk mengantar orang-orang yang bertani dan buruh tani ke berbagai desa di Kabupaten Bima. Belakangan, mereka juga membeli truk untuk memuat bawang merah.
Selain itu, keduanya membeli sebuah rumah di tengah-tengah Desa Ncera. Saat pulang kampung beberapa bulan yang lalu, saya melihat bagaimana transaksi di toko itu begitu ramai. Di toko tersebut, ia tak hanya berjualan sembako, tetapi juga memfasilitasi warga menggadaikan emas mereka serta “menjembatani” pengiriman uang untuk orang-orang yang belum familier dalam mengirim dan mencairkan uang di ATM atau bank.
Dari pengalaman Fajrin dan suaminya, saya memetik beberapa pelajaran penting: pertama, dibutuhkan waktu sekitar 10 tahun bagi kita untuk meniti dan mengembangkan usaha. Tetapi, bagi mereka yang memiliki jejaring yang kuat, waktu 10 tahun mungkin terlalu lama. Namun, titik tekan dalam hal ini, berusaha harus dilakoni dengan kesabaran ekstra: mempelajari pasar, memanfaatkan peluang, dan mengembangkannya secara perlahan.
Kedua, fokus dan konsisten dalam menjalankan satu bidang usaha. Umumnya, para pelaku usaha yang berstatus pemula tak menjalankan kiat ini. Sebagian di antaranya melakoni usaha, kemudian beralih ke usaha lain, padahal modalnya belum begitu kuat. Ini pula yang membuat sebagian orang yang memulai usaha tak bisa mengembangkan bisnisnya. Mereka tidak fokus dan cenderung tidak konsisten terhadap satu jenis usaha yang dipilihnya.
Ketiga, disiplin dan kerja keras. Dua prinsip ini dijalankan dengan baik oleh Fajrin dan suaminya saat memulai dan mengembangkan usaha mereka. Prinsip-prinsip ini pula yang mestinya dimiliki oleh seseorang yang ingin memulai usaha.
Keempat, hidup sederhana. Banyak pelaku usaha yang hidup berfoya-foya saat memulai dan mengembangkan usaha mereka. Modal usaha yang digunakan untuk kehidupan pribadi seperti ini berpotensi tergerus dan perlahan-lahan habis sebelum usahanya berkembang.
Kelima, ekspansi bisnis. Pengembangan jenis usaha dilakukan setelah usaha awal sudah kuat dan modal telah cukup untuk membuka usaha-usaha baru. Fajrin dan suaminya menjalankan prinsip dan cara ini dengan perlahan sehingga dapat mengembangkan bisnis mereka di berbagai bidang.
Keenam, merawat kepercayaan. Pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) tidak akan mungkin berkembang tanpa modal finansial dari lembaga keuangan dan perbankan. Karena itu, kepercayaan adalah modal utama bagi pelaku UKM seperti Fajrin dan suaminya untuk mendapatkan modal usaha dari lembaga keuangan dan perbankan. Tanpa itu, usaha yang dilakoninya tidak akan berkembang atau jalan di tempat, bahkan dalam jangka panjang tak sedikit pelaku usaha yang frustrasi sehingga menutup usahanya.
Saya akan menutup artikel ini dengan nasehat yang sangat berharga dari Prof. Rhenald Kasali, pendiri Rumah Perubahan, “Kalau Anda mau menjadi wirausahawan sejati ingatlah ini: Mulailah dengan reputasi. Bagaimana memulainya? Begini, jangan kejar uangnya, tetapi bangunlah nama baik, keahlian, kepercayaan, kualitas, jaringan dan harga diri. Begitu Anda dikenal dalam bidang usaha Anda, uang akan datang mengejar Anda.” (*Pemimpin Redaksi Berita Alternatif)