Oleh : Hermansyah*
Kisah berangkat dari seorang anak laki-laki umur enam tahun, hidup disebuah Desa kecil Tanah Mbari yang terhimpit oleh gunung-gunung hijau dikala penghujan, indah dari segala sudutnya. memberikan kesan bahwa Desa ini dijaga oleh para leluhur dari musibah dan bencana.
Bocah hitam dekil lagi bau hangus ini namanya Udin. Ia anak terakhir dari keluarga Petani berkecukupan, cukup untuk makan dan minum anak-anak yang hampir selusin disetiap lapar dan dahaganya. Tidak mau disebut miskin meskipun mereka tidak punya aset dan harta berharga. Kekayaan mereka adalah keluarga yang ramai nan bahagia.
Udin merupakan anak yang selalu aktif, nakal, imajinatif dan suka mengacau. Tidak heran dia selalu dimarahi dan diwaspadai. Dari karakter yang unik ini sang kakak tertuanya membawa serta Udin ketanah ramai nan jauh disana, supaya bisa belajar banyak hal. Sepertinya sang kakak prihatin dengan pertumbuhan Udin dalam masyarakat yang terpencil ini.
Selama di tanah ramai Udin tumbuh menjadi anak yang ceria, unik, pintar dan berprestasi, masa depan cerah menyambut langkahnya. Pertumbuhan yang selalu di idamkan orang tua masa kini.
Saban hari Udin selalu menunjukan perkembangan yang luar biasa, dia belajar bahasa baru, budaya dan teman baru, selalu ranking pertama disekolah serta memborong juara lomba-lomba 17 Agustus di setiap Tahunnya.
Hari-hari Udin sangat terang, gemilang dari dalam isi kepala mungilnya. semua hal terasa menarik dan bergairah untuk dipelajari. Bahasa, Musik, Olahraga, Agama dan pelajaran sekolah menjadi warna-warni yang selalu menggugahnya.
Lima tahun berlalu ditanah ramai, Udinpun pulang kekampung halaman, tak kuat dikepung rindu dengan orang tuanya. Udin telah tumbuh ditanah ramai dengan segala hal yang dia pernah pelajari dan lalui, juga beberapa prestasi yang dia bawa kembali ke kampungnya. Dengan bahasa yang sama sekali berbeda Udin kembali dengan pribadi yang tumbuh subur berkat disiplin dari tanah ramai. Disini Ia mendapati teman-teman baru padahal dulu mereka pernah bersama.
Sayangnya dilingkungan yang dirasa baru itu, sifat aktif dan spontanitas Udin seakan tidak direstui oleh lingkungannya. Hidup dalam masyarakat yang cukup tertinggal dengan pendidikan yang pas-pasan membuat Udin selalu berbenturan dengan hal-hal baru, sedang dia belum memasuki usia anak dengan daya penyesuaian untuk dapat mengimbangi lingkungan liar itu.
Tak jarang Udin mendapat perlakuan yang cenderung membuatnya minder berada ditengah teman-temannya karna bahasa yang berbeda, budaya yang sama sekali baru di dapati, sehingga Udin lupa dengan jati dirinya sebagai anak yang periang dan aktif sekarang cenderung murung, sedih serta mendapati dirinya tidak bisa lagi memenuhi keinginan imajinatifnya untuk membeli mainan baru karna sudah kembali kedalam keluarga yang cukup untuk makan dan minum saja.
Sejenak sampai disini, penulis ingin memberikan gambaran bahwa anak yang tumbuh dalam lingkungan berpindah-pindah harus diperhatikan dengan baik perkembangannya, Melihat cerita Udin yang akhirnya terpuruk dan seakan ditinggalkan oleh pribadinya yang dulu, sekarang menjadi anak yang minder karena merasa berbeda dari kebanyakan anak disekitarnya, juga takut untuk mengekspresikan diri kepada lingkungannya.
Kembali ke Udin. Mirisnya prestasi yang dia dapatkan dulu selama di tanah ramai ternyata tidak berkembang sampai ketanah mbari ini. tidak pernah juara, sering bolos, jarang sekolah, karakter nakalnya menggambarkan karakterisitik masyarakat dikampungnya. Demikian nakalnya Udin sampai jauh kedepan diumurnya yang ketujuh belas tahun dia akhirnya dibawa oleh Orang tuanya ke Tanah Rawa Ditanah yang sama sekali baru ini menjadi awal dari perjalanan Udin dalam melewati usia remaja menuju dewasa.
Sekarang Udin menjadi pribadi yang suka merenung dan jarang bicara, baru ditanah rawa membuatnya merasa sendiri, tidak punya teman apalagi kekasih. Ia kehilangan jati diri, tumbuh terpuruk bersama rasa tidak percaya diri yang menyedihkan. Kesehariannya berjalan tanpa gairah dan motivasi. Pikiranya tersumbat oleh rasa tidak berguna dan diremehkan.
Inilah Udin yang selalu ditampar kenyataan bahwa lingkungannya sudah menutup ruang berekpresi, walaupun hanya untuk sekedar membuktikan diri bahwa dia bisa membuat sesuatu. Matanya gelap dan melihat segala sesuatu dari sisi Ketidakberdayaan. Mentalnya Rapuh seperti daun kering terinjak dimusim gugur.
Dengan segenap sisa motivasi yang dimiliki, Udin kini tengah belajar di perguruan tinggi Tanah Rawa, dunia kampus yang hiruk pikuk dengan argumen dangkal dan debat-debat kusir yang memekakan telinga. Ia larut didalam ritmenya.
Udin merupakan gambaran gamblang manusia yang lahir dari penghiantan lingkungan sosial yang tidak mendukung tumbuh kembangnya. Kita belum tau akan jadi apa Udin kedepannya, adakah harapan dari kekalahan dalam pertempuran dengan nasib buruk itu, atau bisakah dia merubah arah yang dia sendiri tidak percaya diri untuk menentukan sikapnya. panjang umur untuk Udin.
Kisah Udin ini akan berlanjut!
(Seniman Kutai Kartanegara)