BERITAALTERNATIF.COM – Nabi Ibrahim semakin tua dan kesepian. Walaupun berada di puncak kenabiannya ia tetap seorang manusia, dan seperti manusia lainnya ia ingin mempunyai seorang anak.
Istrinya tidak subur, sementara dia sendiri sudah berusia lebih dari seratus tahun. Ia ingin punya anak tapi tidak terlalu berharap.
Allah memberikan ganjaran kepada orang tua ini atas waktu yang dia gunakan dan penderitaan yang dialaminya selama menyampaikan pesan Allah.
Allah mengaruniainya dengan seorang anak (Ismail) dari hamba sahaya perempuannya, Hajar. Hajar adalah seorang perempuan kulit hitam yang tidak cukup ‘terhormat’ untuk menimbulkan kecemburuan dalam hati istri pertama Ibrahim, Sarah.
Ismail bukan hanya sekadar seorang anak untuk bapaknya, tapi ia juga buah hati yang sudah didambakan sepanjang hidup, dan imbalan bagi kehidupan yang penuh perjuangan sebagai anak tunggal, Ismail adalah anak yang sangat dicintai dari seorang bapak tua yang sudah bertahun-tahun menanggung penderitaan.
Bagi Ibrahim, Ismail adalah anaknya, tapi yang menjadi Ismailmu mungkin saja adalah engkau, keluargamu, pekerjaanmu, kekayaanmu, popularitas.
Bagaimana aku tahu? Bagi Ibrahim maka ia tahu bahwa itulah anaknya, seorang anak seperti itu untuk seorang bapak seperti itu.
Di depan matanya, mata yang ditutupi dengan alis yang sudah memutih dan memancarkan kebahagiaan, Ismail tumbuh dan mendapat perawatan dan cinta yang terbaik dari bapaknya yang jiwanya begitu teguh tercurah bagi kehidupan anaknya.
Bapaknya menganggap Ismail sebagai saudara kandung yang tumbuh dalam kehidupan seorang petani tua, di gurun pasir yang tandus.
Ismail tidak seperti seorang anak pada umumnya, Karena bapaknya merindukannya selama seratus tahun. Karena kelahirannya tidak diduga-duga oleh bapaknya.
Ismail tumbuh bagaikan sebatang pohon yang kuat. Ia mendatangkan kegairahan dan kebahagiaan dalam kehidupan Ibrahim. Dialah harapan, cinta, dan famili bapaknya.
Di tengah kebahagiaan seperti itu turunlah wahyu, “Wahai Ibrahim! Taruhlah sebilah pisau di leher anakmu dan sembelihlah dia dengan tanganmu sendiri.”
Dapatkah kita melukiskan betapa terguncangnya Ibrahim dengan turunnya perintah ini? Sekalipun kita hadir di sana menjadi saksi peristiwa ini, pasti kita tidak mampu merasakannya.
Rasa sakit yang dipikulnya sungguh tak terperikan dan tak terbayangkan. Ibrahim, hamba Allah yang paling setia dan seorang pemberontak terkemuka dalam sejarah manusia, mulai goyah seakan ia hendak roboh, dan tokoh besar yang tak terkalahkan dalam sejarah ini hendak pecah berkeping-keping.
Meskipun ia sangat terguncang dengan pesan ini, namun itu adalah perintah Allah.
Peperangan yang paling besar adalah perang melawan diri sendiri. Sang pahlawan yang menang dalam perang terbesar sepanjang sejarah ini terguncang, lemah, ketakutan, terpaku, dan putus asa.
Ibrahim dihadapkan pada suatu konflik batin untuk memilih antara Allah dan Ismail.
Sungguh keputusan yang teramat sulit! Mana yang akan engkau pilih? Allah atau dirimu sendiri? Kepentingan atau nilai? Keterikatan atau kemerdekaan? Politik atau fakta?
Berhenti atau maju? Kebahagiaan atau kesempurnaan? Menikmati atau menanggung sakitnya memikul tanggung jawab? Hidup hanya untuk hidup atau hidup demi tujuanmu? Kedamaian dan cinta atau keyakinan dan perjuangan?
Mengikuti sifat alamiahmu atau mengikuti kehendak sadarmu? Meladeni perasaanmu atau meladeni keimananmu? Menjadi seorang bapak atau nabi?
Mempertahankan sanak keluarga atau melaksanakan pesan? Dan yang terakhir, Allah atau Ismailmu yang kau pilih? Hai Ibrahim! Pilihlah salah satu!
Jangan merasa aman dan terlindung dari godaan setan. Engkau tidak selalu kebal terhadap kekuatan tidak terlihat yang mengelilingi manusia. Banyak sekali gemerlap keagungan palsu yang membutakanmu.
Dia (Allah) lebih mengetahui engkau dibanding dirimu sendiri. Dia mengetahui engkau masih rentan terhadap godaan setan. Dia mengetahui masih ada suatu tempat dari mana engkau dapat menyaksikan dunia dan benda-benda duniawi. Kemudian Dia memutuskan setiap kontak yang terbatas antara engkau dengan dunia ini.
Fase terakhir dari evolusi dan idealisme atau kemerdekaan mutlak dengan kepasrahan mutlak atau fase Nabi Ibrahim berlangsung di Mina. Kini engkau akan berperan sebagai Ibrahim. Ia membawa anaknya Ismail untuk dikorbankan.
Siapa atau apa yang menjadi Ismailmu? Jabatan, kehormatan, atau profesimukah? Uang, rumah, ladang pertanian, mobil, cinta, keluarga, pengetahuan, kelas sosial, seni, pakaian, ataukah nama? Bagaimana aku mengetahuinya? Engkau sendiri yang mengetahuinya.
Siapa pun dan apa pun, engkau harus membawanya untuk dikorbankan di sini. Aku tidak dapat memberitahumu yang mana harus dikorbankan, tetapi aku dapat memberimu petunjuk yang harus kau korbankan adalah segala sesuatu yang melemahkan imanmu, yang menahanmu untuk melakukan perjalanan, yang membuatmu enggan memikul tanggung jawab, yang menyebabkanmu bersikap egoistis, yang membuatmu tidak dapat mendengarkan pesan dan mengakui kebenaran dari Tuhan, yang memaksamu untuk ‘melarikan diri’ dari kebenaran, yang menyebabkanmu berkilah demi kesenangan, yang membuatmu buta dan tuli.
Engkau berada di maqam Nabi Ibrahim, dan yang menjadi kelemahan Nabi Ibrahim adalah perasaan cintanya kepada Nabi Ismail. Ia digoda oleh setan.
Bayangkanlah dirimu berada di puncak kehormatan, penuh dengan kebanggaan dan hanya ada ‘satu hal’ yang demi hal itu engkau siap menyerahkan apa pun dan mengorbankan kecintaan selain demi meraih cinta-Nya. Itulah Ismailmu! Ismailmu bisa berwujud manusia, objek, pangkat, jabatan atau bahkan ‘kelemahan’. (*)
Sumber: Makna Haji karya Dr. Ali Syariati via Safinah Online