Oleh: Ustadz Sayid Musa Al-Kadzim Alaydrus*
Kita mendekati para maksumin melalui Sayidah Khodijah. Mengapa harus lewat Sayidah Khodijah? Karena beliau adalah istri tercinta Nabi Muhammad; istri tercinta Rasulullah. Nabi sering sekali menyebut nama beliau walaupun Sayidah Khodijah sudah lama meninggal dunia. Beliau selalu menyebut nama Sayidah Khodijah, sehingga salah satu istri Nabi cemburu dengan Sayidah Khodijah. Sampai dia menyebut, “Aku tidak pernah cemburu kepada istri-istri Nabi kecuali kepada Khodijah.”
Nabi pun menjawab, “Siapa yang seperti Khodijah? Siapa yang bisa seperti Khodijah? Dia yang mempercayaiku ketika tidak ada satu pun orang yang mempercayaiku.”
Beliau yang membantu Rasulullah ketika tidak ada satu pun yang membantu Rasulullah. Beliaulah Sayidah Khodijah al-Qubra.
Saking cintanya Rasulullah, suatu ketika diceritakan ada seorang perempuan tua mendatangi Rasulullah, kemudian Rasulullah bersikap ramah. Beliau menanyakan keadaan, kondisi, bahkan keuangannya.
Setelah perempuan itu pergi, salah seorang istri Nabi bertanya kepadanya, “Siapa wanita tua itu?”
Nabi menjawab, “Dia temannya Khodijah.”
Karena itu, Rasulullah memperhatikannya dengan sangat baik.
Ketika Nabi menyembelih kambing, beliau memerintahkan para sahabatnya agar daging kambing itu diberikan kepada teman-teman Sayidah Khodijah. Sampai sebegitunya Rasulullah mengingat Sayidah Khodijah.
Kenapa kita mesti meniti jalan menuju Tuhan melalui Sayidah Khodijah? Karena kedekatannya dengan Rasulullah. Rasulullah sangat mencintai Sayidah Khodijah.
Beliau juga ibunda dari Sayidah Fatimah Az Zahra. Artinya, beliau ini ibunda dari seluruh imam. Nenek dari seluruh imam. Dengan melahirkan Sayidah Fatimah dari rahim suci beliau, muncullah mukjizat para imam.
Allah Swt berfirman kepada Nabi Musa, “Ketika kaumnya Nabi Musa meminta air karena kehausan dalam perjalanan, kami katakan kepada Musa, ‘Pukullah dengan tongkatmu batu itu.’ Lalu, muncullah 12 mata air.”
Rasulullah pun demikian. Beliau mempunyai mukjizat tongkat. Mukjizatnya adalah Sayidah Zahra. Keberadaan beliau memunculkan 12 mata air untuk kehidupan kita semua.
Sayidah Khodijah adalah wadah dari Sayidah Fatimah. Beliau yang mengandung Sayidah Fatimah. Karena itu, kedudukan Sayidah Khodijah begitu tinggi di mata Maksumin as.
Ada seorang khotib terkenal di Irak. Beliau dalam keadaan sakit. Di otaknya ada cairan. Ketika beliau mau masuk rumah sakit, beliau berkata, “Yaa Sayyidah Khodijah.” Beliau meminta kepada Sayidah Khodijah. Dokternya kemudian berkata, “Waktu aku membuka kepala sayid ini, penyakitnya terkumpul di satu tempat, sehingga aku sangat mudah mengangkatnya.” Modalnya cuman memanggil Yaa Sayidah Khodijah. Karena beliau ini orang dekatnya Rasulullah. Orang dekatnya Sayidah Fatimah. Orang dekatnya Ahlulbait as.
***
Pembahasan lain, kedermawanan Sayidah Khodijah. Apa kebalikan dari sifat dermawan? Namanya bakhil. Sifat ini garis merah. Seorang pecinta Sayidah Khodijah tak boleh memiliki sifat bakhil. Maka dari itu, ada namanya sifat dermawan.
Dermawan itu bertingkat-tingkat. Yang pertama disebut inshof. Inshof itu ketika saya memberi, tapi saya masih mempunyai sisa banyak. Itu namanya inshof. Misalnya, saya mempunyai uang Rp 100 ribu, lalu ada orang yang membutuhkan, maka saya kasih Rp 10 ribu. Saya masih punya sisa Rp 90 ribu. Ini namanya inshof.
Tapi belum disebut karim. Kapan dia disebut karim? Karim ini adalah tingkatan kedua. Ketika saya mempunyai uang Rp 100 ribu, saya kasih setengahnya. Itu namanya karim.
Ada lagi di atasnya karim, namanya itsar. Itsar itu bagaimana? Saya mempunyai uang Rp 100 ribu, saya kasih semuanya kepada orang ini. Bahkan dirinya sendiri enggak makan, enggak apa-apa.
Suatu ketika dalam sebuah peperangan di zaman Rasulullah, salah seorang yang mengantar air dan memberikan obat-obatan berkeliling. Ketika dia mendatangi satu orang, orang yang terluka berkata, “Jangan obati aku dulu. Obati dulu fulan karena luka dia lebih parah.” Akhirnya orang kedua mengatakan bahwa orang ketiga lebih parah. Saat pembawa obat ini menuju orang ketiga, dia memintanya mendatangi orang pertama. Saat dia mendatangi orang pertama, kedua, dan ketiga, mereka sudah syahid. Mereka semua mati syahid karena sifat itsar. Sifat ini bermakna tak memedulikan diri sendiri.
Apakah ini sudah puncaknya kedermawanan? Enggak. Ada lagi di atasnya itsar. Namanya pengorbanan. Ini merupakan sifat dermawan di atasnya itsar. Artinya, saya mempunyai uang Rp 100 ribu, ada orang lain butuh, saya pinjam kepada orang lain, enggak apa-apa. Walaupun saya enggak makan, enggak apa-apa. Itu semua demi orang lain. Itu namanya pengorbanan.
Sayidah Khodijah sudah sampai pada tahap pengorbanan. Beliau mengorbankan semuanya demi dakwah Rasulullah sehingga beliau tidak makan di Syi’ib Abu Thalib selama tiga tahun. Beliau kelaparan. Ini wanita terkaya, tetapi mau hidup dalam keadaan kelaparan bersama Rasulullah selama tiga tahun. Beliau mengorbankan semuanya demi Rasulullah.
Ini merupakan sifat-sifat dermawan yang susah bagi kita untuk langsung sampai pada tahap berkorban. Kita harus melatihnya secara bertahap. Kita latih sedikit demi sedikit. Yang penting tidak bakhil. Inshof terlebih dahulu. Kemudian berubah menjadi karim. Nanti baru itsar. Terakhir, barulah bisa sampai pada tahap pengorbanan.
Pengorbanan itu sesuatu yang besar. Pernahkah kita merasa ada seseorang yang mengorbankan dirinya demi kita? Pernah. Harusnya semua orang pernah. Namanya orang tua. Orang tua ini sudah sampai pada tahap tadhiyah. Setiap orang tua itu sudah sampai pada tahap tadhiyah. Mereka rela enggak makan agar kita kenyang. Enggak apa-apa saya sakit demi anak saya sehat. Ini merupakan pengorbanan-pengorbanan yang kita rasakan.
Kalau kita ingin bertemu wali-wali Allah, mereka adalah orang tua kita. Hati-hati dengan mereka. Karena itu, bersyukurlah kita yang masih memiliki orang tua. Bagi kita yang sudah tidak memiliki orang tua, kita bisa berkhidmat dengan cara mendoakan mereka.
Jadi, tujuan kita adalah menuju Tuhan dalam keadaan yang baik. Cara menuju Tuhan dalam keadaan yang baik salah satunya dengan sifat dermawan. Allah menekankan jangan menjadi pribadi yang bakhil. Harus dermawan.
Pengorbanan itu harus ditujukan untuk kekasih-kekasih Allah. Demi Rasulullah. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Sayidah Khodijah al-Qubra.
***
Pembahasan terakhir, bagaimana cara kita membangun ikatan batin dengan Sayidah Khodijah? Yang pertama harus kita kuatkan adalah ilmu. Kenapa ilmu? Karena orang yang tak berilmu gampang dibodohi. Tapi, kalau kita selalu hadir di majelis-majelis seperti ini, selalu meng-upgrade keilmuan kita, nanti kita tidak akan mudah dibodohi. Allah berfirman, “Orang-orang berilmu derajatnya tinggi.”
Kedua, supaya kita mempunyai ikatan dengan Sayidah Khodijah, kita harus memiliki iman. Di dunia ini banyak hal. Kalau hal-hal yang bisa diinderawi, pakai ilmu. Pembuatan semua yang bisa diinderai itu pakai ilmu. Tapi semua yang enggak bisa diinderai, pakai iman.
Kita juga harus beriman kepada semua yang ghoib. Allah Swt ghoib. Imam Mahdi juga ghoib. Lebih banyak yang ghoib daripada yang kelihatan. Lebih banyak yang enggak bisa diinderai daripada yang bisa diinderai. Karena itu, kita harus lebih menguatkan keimanan kita.
Ketiga, membentengi diri kita dari fitnah-fitnah akhir zaman. Allah berfirman, “Ketika hari tidak lagi bermanfaat anak-anak maupun harta kecuali hati yang selamat.”
Cara membentengi diri ini bisa dilakukan dengan mendekatkan diri kepada Allah dan membaca Alquran. Usahakan setiap hari kita membaca ayat-ayat Alquran. Setidaknya setiap hari ada setengah atau satu halaman. Tidak harus satu juz. Yang penting setiap hari kita tidak melupakan Alquran. Itu adalah benteng diri kita dari kejahatan jin dan manusia.
Ahlulbait dan Alquran adalah dua pusaka yang Rasulullah di akhir hayatnya menitipkan kita kepada keduanya. Rasulullah bersabda, “Aku tinggalkan kepada kalian kitabullah dan Ahlulbaitku.” Maka dari itu, janganlah kita meninggalkan keduanya.
Cara lain untuk membentengi diri adalah kita harus istikamah dalam berzikir, salah satunya berzikir menggunakan tasbih Zahra. Kalau bisa kita tambah lagi, itu lebih baik. Allah Swt berfirman, “Dengan berzikir kepada Allah, hati akan tenteram.”
Ketenangan merupakan keinginan semua manusia. Bila ingin tenang, banyaklah berzikir kepada Allah.
Usahakan selalu dalam keadaan suci. Apabila wudhu kita batal, kita wudhu lagi. Ini merupakan salah satu benteng kita menuju Tuhan.
Cara keempat untuk mendekati Sayidah Khodijah adalah membersihkan hati kita. Sebab, Rasulullah dan Ahlulbaitnya adalah manusia-manusia suci. Jika hati kita kotor, maka mereka enggan bersemayam. Karena itu, jangan mengusir mereka dari hati kita karena kekotoran hati kita. Biarkan mereka nyaman di hati kita dengan kebersihan hati kita.
Cara membersihkan hati adalah menutup jendela dan pintu hati. Misalnya Huseniyah ini saya membersihkannya berkali-kali, tetapi tetap kotor. Ternyata ada sebabnya. Apa? Pintu dan jendela ini terbuka. Pintu dan jendela harus ditutup terlebih dahulu, barulah kita bersih-bersih. Begitu juga dengan hati kita. Ada jendela dan pintu hati. Yaitu mata dan telinga. Keduanya harus kita jaga dari hal-hal haram.
Kemudian, jangan ria, sombong, dan hasut. Salah satunya, hasut yang paling berbahaya. Hasut itu sebuah sifat saat kita iri terhadap orang lain. Kita iri karena dia mendapatkan nikmat. Seandainya dia tidak mendapatkan siksa di akhirat, dia tersiksa di dunia. Setiap orang mendapatkan nikmat, kita tersiksa. Akhirnya, dia tak merasakan kegembiraan hingga meninggal dunia. Dia sudah tersiksa di dunia walaupun belum disiksa di akhirat. Maka dari itu, orang yang hasut harus dibersihkan. Kita sesama mukmin tidak boleh memiliki rasa hasut satu sama lain.
Saya menutup ceramah ini dengan kisah dari Sayidah Khodijah. Di akhir hidupnya, beliau melihat Sayidah Fatimah yang masih kecil. Beliau pun menangis. Saat itu, beliau sudah dalam keadaan sakit.
Asma bertanya kepada Sayidah Khodijah, “Wahai Sayidah Khodijah, mengapa engkau menangis seperti ini?”
Sayidah Khodijah menjawab, “Aku ingat kelak putriku ini akan menikah. Seorang putri yang menikah akan membutuhkan orang tuanya. Aku takut ketika kelak Sayidah Fatimah menikah, aku tak ada di sampingnya.”
Lalu, Sayidah Asma berkata, “Wahai Sayidah Khodijah, biarlah aku menjadi penggantimu kelak.”
Sayidah Khodijah pun menitipkan sebuah anting dan kalung untuk diberikan kepada Sayidah Zahra.
Saat pernikahan Sayidah Fatimah dengan Imam Ali bin Abi Thalib, Sayidah Fatimah menoleh ke kanan dan kiri, berharap ibunya berada di sampingnya. Seorang putri, saat menikah sangat membutuhkan kedua orang tuanya.
Menyadari hal itu, Asma pun memeluk Sayidah Zahra. Beliau memberikan anting dan kalung kepada Sayidah Zahra. Beliau berkata, “Wahai Sayidah Fatimah, ini adalah titipan ibumu di akhir-akhir hayatnya. Beliau menitipkan kepadaku untuk diberikan di masa pernikahanmu.”
Di akhir hayatnya, Sayidah Khodijah bertawasul kepada putrinya sendiri. Beliau berkata kepada putrinya, “Wahai Fatimah, aku menginginkan sesuatu dari ayahmu.”
Sayidah Fatimah bertanya, “Apa wahai ibundaku?”
“Aku ingin gamis yang dipakai ayahmu untuk salat agar dijadikan kafanku.”
Kemudian, Sayidah Zahra menemui ayahnya dan berkata, “Wahai ayah, ibundaku ingin sesuatu yang kecil darimu.”
“Apa itu Fatimah?”
“Beliau ingin gamis yang engkau gunakan untuk salat agar menjadi kafannya.”
“Wahai Fatimah, untuk ibundamu telah disiapkan oleh malaikat Jibril kafan dari langit.”
Kata Sayidah Khodijah, “Tidak! Aku ingin gamismu ya Rasulullah.”
Sayidah Khodijah pun dikafani dengan gamis Rasulullah. Sayidah Khodijah yang telah berkorban serta begitu dekat dengan Rasulullah masih mempunyai rasa malu yang begitu besar. Bagaimana dengan kita yang begitu banyak dosa ini? Apakah kita mempunyai rasa malu kepada Rasulullah? (*Disampaikan dalam Peringatan Syahadah Sayyidah Khodijah Al-Qubra di Yayasan Abu Dzar Al-Ghifari Kukar pada 21 Maret 2024)