Search

Simulakrum, Topeng Kolektif Media Sosial

Penulis. (Istimewa)

Oleh: Dr. Muhsin Labib*

Simulakrum dan perubahan perilaku manusia di media sosial adalah topik yang sangat menarik dan relevan dalam era digital saat ini.

Konsep simulakrum diperkenalkan oleh filsuf Prancis Jean Baudrillard dan merujuk pada representasi atau tiruan dari realitas yang tidak lagi berhubungan dengan realitas itu sendiri. Dalam era media sosial, simulakrum menjadi semakin nyata dengan adanya konten yang direkayasa, manipulasi informasi, dan representasi diri yang sangat kurang autentik.

Advertisements

Baudrillard mengemukakan bahwa dalam era kontemporer, manusia cenderung hidup dalam dunia simulasi, di mana realitas telah digantikan oleh tiruan yang semakin sulit dibedakan. Di media sosial, pengguna sering menciptakan representasi diri yang tidak selalu mencerminkan keadaan sebenarnya, melainkan berupa konstruksi atau “simulasi” dari kehidupan yang diinginkan atau diharapkan. Hal ini sering kali mengaburkan batas antara keaslian dan imitasi, menciptakan topeng kolektif di antara pengguna media sosial.

Selain itu, Baudrillard juga mengemukakan konsep “realitas hiper” di mana realitas itu sendiri telah digantikan oleh citra-citra yang lebih nyata daripada realitas yang asli. Dalam konteks media sosial, pengguna sering terjebak dalam lingkaran “realitas hiper” di mana representasi diri yang disunting dan kurasi dengan cermat dianggap lebih penting daripada keaslian atau kejujuran. Hal ini dapat mengarah pada adopsi topeng kolektif di mana orang-orang cenderung menyajikan versi idealis dan disempurnakan dari diri mereka sendiri secara terus-menerus.

Dengan mempertimbangkan konsep simulasi dan realitas hiper ini, dapat lebih dipahami bagaimana media sosial menjadi tempat di mana simulakrum dan topeng kolektif dapat berkembang dengan kuat. Upaya untuk menciptakan pandangan diri yang ideal, membangun citra yang sempurna, dan menyembunyikan aspek-aspek yang kurang diinginkan menjadi praktik umum di era di mana perhatian dan pengakuan sosial menjadi lebih penting daripada kebenaran diri.

Di media sosial, simulakrum bisa terlihat dalam bentuk foto-foto yang diolah secara digital untuk menciptakan gambaran yang sempurna dan tidak realistis tentang kehidupan seseorang.

Konten yang viral dan berita palsu juga dapat menciptakan simulakrum di mana informasi yang tersebar tidak selalu benar dan dapat mempengaruhi persepsi publik terhadap suatu isu.

Media sosial telah memberikan pengaruh besar terhadap perilaku dan interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa perubahan perilaku yang terjadi akibat media sosial antara lain:

Individu cenderung menghabiskan lebih banyak waktu di media sosial, menyebabkan ketergantungan dan gangguan mental seperti kecanduan media sosial.

Media sosial telah mengubah cara kita berkomunikasi, dengan lebih banyaknya komunikasi digital yang seringkali kurang pribadi dan tidak langsung.

Media sosial juga dapat menyebabkan informasi yang berlebihan dan mengganggu, serta memengaruhi keyakinan dan sikap seseorang terhadap berbagai isu.

Melalui media sosial, manusia sekarang memiliki platform yang luas untuk mengekspresikan diri, berinteraksi dengan orang lain, dan mengakses informasi dengan cepat.

Ringkasnya, media sosial dapat dipahami lebih dalam sebagai bagian dari representasi diri manusia yang semakin terdistorsi oleh media digital dan imajinasi kolektif yang bertumpu pada dunia maya.

Menjaga jarak dari media sosial dan rutin melakukan aktivitas nir-digital dapat membantu mengembalikan otentisitas diri dan kejujuran dalam interaksi sosial. Berikut adalah beberapa alasan mengapa hal ini dapat terjadi:

Pertama, mengurangi tekanan sosial. Dengan menjauh dari media sosial, seseorang dapat mengurangi tekanan untuk terus-menerus memperlihatkan versi yang disunting dari diri mereka. Sebagai hasilnya, mereka dapat lebih bebas untuk mengekspresikan diri secara autentik tanpa perlu terus-menerus mempertimbangkan pandangan orang lain.

Kedua, mendukung koneksi yang lebih dalam. Melakukan aktivitas nir-digital seperti berinteraksi langsung dengan orang lain, melakukan hobi di luar ruangan, atau memperdalam hubungan interpersonal secara langsung dapat meningkatkan kualitas koneksi dan interaksi sosial. Interaksi yang lebih mendalam dan pribadi cenderung lebih otentik dan jujur karena tidak dipersepsikan melalui lensa media sosial.

Ketiga, meningkatkan kesadaran diri. Dengan menyediakan waktu untuk melakukan aktivitas yang bersifat non-digital, seseorang dapat meningkatkan kesadaran terhadap diri mereka sendiri, kebutuhan mereka, dan nilai-nilai yang penting bagi mereka. Hal ini dapat membantu seseorang untuk lebih autentik dalam interaksi sosial karena mereka lebih memiliki kejelasan tentang siapa mereka sebenarnya dan apa yang mereka inginkan.

Keempat, mengurangi pengaruh simulakrum. Dengan mengurangi paparan pada simulakrum dan representasi diri yang tidak autentik di media sosial, seseorang dapat lebih fokus pada kejujuran dan keaslian dalam interaksi sosial. Membatasi paparan terhadap konten yang direkayasa dan berita palsu dapat membantu seseorang untuk membangun interaksi yang lebih berdasarkan kejujuran dan integritas.

Dengan demikian, menjaga jarak dari media sosial dan aktifitas digital serta memberikan ruang untuk aktivitas nir-digital dapat memberikan kesempatan bagi seseorang untuk kembali kepada diri mereka sendiri, mengembalikan otentisitas, dan meningkatkan kejujuran dalam interaksi sosial. Ini merupakan langkah yang penting dalam menjaga keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata agar bisa hidup dengan lebih autentik dan bermakna. (*Cendekiawan Muslim)

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
Advertisements
INDEKS BERITA