Search
Search
Close this search box.

Kekurangan serta Kelebihan Proporsional Terbuka dan Tertutup dalam Sistem Pemilu Indonesia

Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – Perdebatan mengenai sistem Pemilu di Indonesia masih terus berlanjut. Teranyar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Bulan Bintang menyatakan bahwa sistem Pemilu saat ini harus diubah dari proporsional terbuka ke proporsional tertutup.

Perwakilan kedua partai ini pun melakukan pengujian materi (judisial review) di Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Mereka berpendapat bahwa proporsional terbuka telah menciptakan liberalisasi di bidang politik karena ditandai dengan maraknya politik uang, melemahnya peran partai politik, serta munculnya calon-calon anggota legislatif yang bermodal ketenaran dan uang tanpa disertai kapasitas dan pengalaman mumpuni di partai politik.

Advertisements

Di sisi lain, 8 partai politik di parlemen menolak perubahan sistem Pemilu tersebut, salah satunya Partai Demokrat, yang dipimpin Agus Harimurti Yudhoyono. Ada dua alasan mendasar yang disampaikannya: pertama, proporsional tertutup merampas kehidupan demokrasi rakyat. Sehingga, rakyat tidak bisa memilih wakil-wakil mereka secara langsung.

Kedua, partai politik secara internal perlu menjaga semangat yang tinggi dari para kader. Jika sistem Pemilu proporsional dilakukan secara terbuka, dapat membuat setiap kader memiliki peluang untuk menang secara adil.

Kelebihan dan Kelemahan

Pengamat ekonomi dan politik, Haidir, menjelaskan bahwa semula bangsa ini menggunakan proporsional tertutup, dari Orde Lama, Orde Baru, hingga di awal-awal Reformasi.

“Setelah Reformasi, barulah kita membuat alur undang-undang yang menggiring ke arah proporsional terbuka,” jelasnya kepada beritaalternatif.com baru-baru ini.

Kata dia, proporsional tertutup memiliki sejumlah kelemahan, di antaranya posisi pimpinan partai politik begitu dominan dalam menentukan posisi terbaik nomor urut calon anggota legislatif, membuka potensi transaksional, mendasarkannya kepada faktor like and dislike, dan faktor kedekatan lainnya. 

Pimpinan partai pun memegang otoritas besar terhadap wakil rakyat sehingga aspirasi masyarakat acap terkalahkan oleh kepentingan-kepentingan pimpinan partai politik.

“Terutama kepentingan-kepentingan petinggi partai. Itu menjadi persoalan yang selalu saja mencuat waktu sistem proporsional tertutup itu dilaksanakan,” terangnya.

Meski begitu, sambung dia, proporsional tertutup memiliki sejumlah kelebihan, salah satunya pengaderan di partai politik akan berjalan secara maksimal.

Seseorang yang hendak mencalonkan diri sebagai wakil rakyat, kepala daerah, ataupun presiden dan wakil presiden harus terlebih dahulu menjadi kader partai. “Biasanya partai akan mengatur sejauh itu,” katanya.

Jika terdapat kader baru di partai politik, lanjut Haidir, maka kansnya akan sulit menempati nomor urut strategis dalam pencalonan sebagai anggota legislatif, seperti nomor urut 1, 2, ataupun 3.

“Paling banter mereka akan menjadi semacam penggembira dalam Pemilu. Artinya apa? Ketika proporsional tertutup dilaksanakan, orang yang benar-benar menjadi kader partai, loyal terhadap pimpinan dan ideologi partailah yang akan mempunyai peluang besar mewakili partai politik menjadi anggota legislatif,” terangnya.

Selanjutnya, membandingkan Pemilu dengan sistem proporsional terbuka, Haidir menegaskan bahwa proporsional terbuka pun memiliki kelemahan. Praktik politik uang (money politic) terlalu dominan di masyarakat. Hal ini membuat orang-orang yang tanpa kapasitas, pengalaman politik atau non-kader partai politik, asal memiliki modal finansial, maka akan dengan mudah terpilih sebagai anggota legislatif.

Tanpa menjadi kader partai politik, kata Haidir, para pemilik modal pun lebih mudah meraih kekuasaan di parlemen. “Yang penting dia memiliki isi tas, maka akan bisa terpilih menjadi anggota legislatif. Karena apa? Itu karena dia bisa bermain di wilayah transaksional jual beli suara di tengah calon pemilih,” jelasnya.

Calon pemilih tidak lagi mau mempertimbangkan kapasitas, pengalaman dan bahkan integritas calon anggota legislatif. Padahal, hal-hal penting tersebut dibutuhkan oleh seorang calon anggota legislatif dalam memperjuangkan kepentingan dan aspirasi masyarakat di parlemen.

Sayangnya, hal itu tidak lagi dipertimbangkan oleh para pemilih. Semua itu digantikan oleh nilai nominal yang dapat diberikan calon anggota legislatif. “Joke publik, kucing pun bisa terpilih jadi anggota legislatif asal memiliki isi tas,” ungkap Haidir sambil tertawa.

Lebih lanjut, dia menyampaikan, dengan sistem Pemilu sekarang, ideologi, visi-misi, dan program partai politik tidak lagi menarik bagi calon pemilih sebagai pertimbangan pilihan di bilik suara.

Sementara di proporsional tertutup, politik uang di masyarakat relatif kecil. Partai Politik dan para Caleg akan berfokus memperkenalkan ideologi, visi-misi dan program partai kepada masyarakat untuk meraih simpati. Kemampuan partai politik dalam mewujudkan visi-misi dan program menjadi nilai jual partai politik dan Caleg di tengah masyarakat sebagai calon pemilih.

Mereka akan lebih menonjolkan program, jargon, dan ideologi partai. “Money politic di masyarakat pasti akan rendah,” katanya.

Haidir mengungkapkan, pada saat proporsional tertutup diterapkan di Indonesia, masyarakat yang diberikan kaos partai pun akan loyal terhadap partai politik tersebut.

Dalam proporsional terbuka saat ini, pemberian cendera mata semacam itu tidak akan cukup mengikat pemilih untuk memilih anggota legislatif, bahkan masyhur terdengar keluhan di kalangan politisi bahwa dengan banyaknya realisasi program yang berhasil diperjuangkan oleh anggota legislatif tidak lantas memberikan jaminan bagi mereka akan dipilih kembali, jika pada saat hari pemilihan para Caleg tidak membuat transaksi kontan sejumlah rupiah.

“Kata mereka, walaupun Anda berhasil mengaspirasikan 1.000 kilometer jalan atau mengaspirasikan sampai 100 badan jembatan pun, kalau menjelang hari H tidak ada rupiah yang Anda berikan pada calon pemilih maka jangan harap Anda akan dipilih,” ucapnya.

Haidir menjelaskan bahwa anggota legislatif akan mengikat pemilih dengan melakukan transaksi menjelang pemilihan.

“Orang tidak akan melihat figur siapa yang akan dicoblos. Tapi berapa dia mau memberi uang. Figur itu tidak dilihat dari programnya, tapi berapa dia mampu memberi uang,” terangnya.

Dalam proporsional tertutup, jelas Haidir, mekanisme partai politik bisa dijalankan secara maksimal dibandingkan proporsional terbuka. Orang-orang yang telah mengabdi kepada partai memiliki harapan untuk mewakili partainya dalam memperjuangkan kepentingan politis pribadinya dan masyarakat.

Sementara dalam proporsional terbuka, orang-orang yang bermodal ketenaran dan isi tas tanpa harus bersusah payah menjadi kader dan loyalis partai politik, bisa terpilih sebagai anggota legislatif. “Yang penting sejauh mana popularitas dan isi tasnya,” jelas Haidir.

Pada sistem Pemilu saat ini, gonta ganti dan pindah partai menjadi hal yang biasa. Dengan modal popularitas dan isi tas, seseorang bebas mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dari partai politik mana pun, dan para calon pemilih tidak terlalu mempertimbangkan hubungan para Caleg dengan partai politiknya untuk memilih calon anggota legislatif.

“Idealnya, harapan kita, ketika sistem terbuka, maka publik tetap harus mempertimbangkan hubungan Caleg dan partai politiknya, ideologi partai politik, program partai, dan janji setiap figur kepada publik jika nanti terpilih sebagai anggota legislatif. Itu yang harus dilihat oleh publik sebagai calon pemilih,” sarannya.

Dalam praktiknya, konsep tersebut sangat sulit diterapkan dari output Pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Pasalnya, praktik transaksional lebih dominan antara Caleg dengan para pemilih.

Terlepas dari hal-hal yang telah disampaikan tersebut, secara umum mana yang lebih baik antara sistem proporsional terbuka atau tertutup, Haidir menjelaskan bahwa dalam proporsional tertutup, visi, misi, dan program partai lebih dominan ditampilkan dibandingkan menonjolkan figur calon anggota legislatif.

Sebaliknya, dalam proporsional terbuka, seseorang tak perlu mengampanyekan jargon partainya. Ia cukup mempromosikan gagasan dan program pribadinya.

“Dan orang-orang bisa percaya itu. Kenapa? Karena ia bisa melampaui kepentingan partai politik. Karena ikatan emosionalnya dengan konstituen lebih erat,” bebernya.

Dalam proporsional tertutup, ikatan emosional konstituen terbentuk dengan partai politik. Dalam pelaksanaan program pun perwakilan partai di parlemen akan mengikuti program dan kebijakan partai. Meskipun terdapat aspirasi dari masyarakat, ketika tidak dikehendaki partai, maka aspirasi tersebut akan terkalahkan dengan kebijakan partai.

Kata dia, dalam proporsional terbuka, kedekatan emosional anggota legislatif dengan konstituen jauh lebih erat. Wakil rakyat kerap tidak “tersandera” oleh kepentingan partai politik.

Sedangkan dalam proporsional tertutup, konstituen akan lebih banyak terikat secara emosional dan aspiratif kepada partai politik.

Karena itu, kata Haidir, dua sistem ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Dalam proporsional tertutup, kepercayaan kepada partai politik relatif tinggi. “Partai bisa menggerakkan secara maksimal potensi-potensi wakilnya di parlemen, sehingga harapan untuk menggolkan aspirasi masyarakat bisa lebih maksimal,” ujarnya.

Menurut dia, fungsi-fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan dari anggota legislatif sejatinya tetap berjalan dalam dua sistem tersebut.

“Mau proporsional terbuka ataupun tertutup, fungsi-fungsi itu tidak ada pengaruhnya. Tetap saja ada kompromi antara legislatif dan eksekutif,” jelasnya.

Politik Uang dan Oligarki

Haidir mengakui bahwa proporsional terbuka membuka celah menjamurnya politik uang di tengah masyarakat. Hal ini tidak semasif dalam proporsional tertutup.

Dalam proporsional tertutup, politik uang memang kerap terjadi di level elite partai politik. Karena itu, loyalitas kepada partai dan pemimpinnya tergolong dominan.

Masyarakat pun memiliki ikatan emosional dan ideologis dengan partai politik yang mereka pilih. “Karena apa? Orang-orang sudah punya kepercayaan pada partai itu,” sebutnya.

Kondisi demikian tidak didapatkan dalam proporsional terbuka. Sebab, setiap orang yang mewakili partai politik di parlemen mempunyai gagasan dan kepentingan yang bahkan acap kali berseberangan dengan partainya.

Haidir menguraikan bahwa dua sistem tersebut sama-sama membuka celah maraknya oligarki. Saat ini, setiap anggota legislatif, baik di daerah maupun pusat, punya potensi diikat oleh oligarki.

“Artinya, adanya oligarki itu tidak dipengaruhi proporsional terbuka atau tertutup,” tegasnya.

Menurut dia, penerapan proporsional tertutup tidak akan merampas hak demokrasi masyarakat. Sebab, para pemilih masih tetap bisa menyalurkan hak pilihnya. “Hak demokrasi yang seperti apa yang dirampas?” tanyanya.

Partai-partai besar, lanjut dia, akan diuntungkan dengan proporsional tertutup. Meski begitu, partai-partai kecil pun akan mendapatkan ceruk pemilih sesuai dengan kepercayaan publik terhadap mereka.

Dalam proporsional terbuka pun kekuasaan tak terbagi secara merata. Partai-partai besar tetap mendapatkan kekuasaan tanpa disertai dengan penerapan proporsional tertutup.

Kekuasaan dominan penguasa kepada partai pun bisa terbentuk dalam sistem proporsional terbuka. “Hari ini pendukung pemerintah di parlemen besar sekali,” katanya.

Ia menyimpulkan, dengan menerapkan sistem Pemilu proporsional terbuka, Indonesia sudah melangkah maju, memperbaiki beberapa kelemahan pada sistem proporsional tertutup dan penting untuk tetap mempertahankannya.

Namun, syaratnya semua pihak harus mampu mengatasi persoalan-persoalan yang selama ini muncul dalam sistem proporsional terbuka dengan memperbaiki dasar regulasi dan memperkuat sistem pelaksanaannya agar tercipta Pemilu yang jujur dan adil.

“Jika kita merasa tidak mampu memperbaiki kelemahan sistem Pemilu proporsional terbuka, maka mau tidak mau kembali pada sistem proporsional tertutup menjadi opsional karena ada sebagian pihak juga menyadarkan hal tersebut sebagai solusi dari problem Pemilu kita saat ini,” sarannya. (*)

Penulis: Ufqil Mubin

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements

BERITA ALTERNATIF

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA