Search
Search
Close this search box.

Siswo Cahyono Desak Perusahaan di Kukar Lebih Peka terhadap Masyarakat Lokal

Listen to this article

Beritaalternatif.com – Wakil Ketua DPRD Kukar Siswo Cahyono menyikapi pro kontra pengalokasian dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Kukar.

Pada prinsipnya, ia tidak ingin mengomentari dan mencampuri manajemen keuangan perusahaan. Siswo hanya menekankan bahwa perusahaan apa pun yang beroperasi di Kukar harus menjalankan kewajiban pembinaan terhadap masyarakat di sekitar perusahaan.

Pembinaan masyarakat, lanjut dia, dapat dilakukan melalui bidang pendidikan, budaya, tata kelola lingkungan, dan fasilitas masyarakat. Hal ini merupakan ruang lingkup program CSR yang diamanatkan UU Minerba.

Advertisements

Dia menjelaskan, kewajiban menjalankan program CSR merupakan amanah paling kecil yang dibebankan oleh undang-undang kepada semua perusahaan yang beroperasi di suatu daerah.

Sejatinya, sambung Siswo, akan lebih baik dan sah secara hukum jika ada perusahaan yang mau melaksanakan program-program pembinaan yang lebih besar kepada masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab moril atas sumber daya alam daerah yang dinikmati oleh perusahaan.

Program CSR merupakan kewajiban paling kecil yang dibebankan UU kepada perusahaan, tetapi secara moril perusahaan sah dan perlu diberi penghargaan jika mau melakukan pembinaan kepada masyarakat lebih besar dari kewajiban yang diamanatkan UU.

“Mereka eksplorasi SDA daerah, harusnya juga punya beban moral lebih kepada masyarakat dan daerah,” ucap Siswo sebagaimana dikutip beritaalternatif.com dari rilis resminya, Jumat (20/5/2022).

Diketahui, pemilik PT Bayan telah menyumbangkan dana pribadinya ke beberapa perguruan tinggi di Pulau Jawa. Menurut Siswo, hal ini sah-sah saja.

“Hanya saja patut dipertanyakan, apakah pembinaan kepada masyarakat sekitar operasi PT Bayan di mana perusahaan tersebut mengeruk hasil sudah mendapat perlakuan yang seimbang?” ujarnya.

“Agar jangan ada kesan bahwa masyarakat dan daerah di mana perusahaan beroperasi tidak dianggap penting untuk diperhatikan. Jika demikian, maka apa bedanya pola demikian dengan perilaku jaman penjajahan? Sumber daya dikeruk, hasilnya dinikmati di negara penjajah,” lanjutnya.

Terkait masalah ini, Siswo berkeyakinan bahwa hal tersebut terjadi sebagai akibat komunikasi antara pemerintah daerah dengan pihak perusahaan yang tergolong minim.

Kata dia, pemerintah daerah harus melibatkan perusahaan dalam program-program daerah agar perusahaan bisa turut serta menyuplai SDM ataupun pembiayaan pada program-program daerah.

Siswo mengajak semua pihak untuk mempertimbangkan ide yang pernah muncul pada masa pemerintahan almarhum Syaukani HR. Pada masa itu, muncul pemikiran agar program CSR masuk dalam batang tubuh APBD.

Pemikiran seperti itu sempat mengemuka sebagai akibat program CSR yang kurang terbuka kepada publik dan pemerintah daerah. Sementara dalam penghitungan pemerintah, program-program yang dijalankan perusahaan jauh dari kewajiban yang diamanahkan undang-undang.

Pada masa itu, jika dihimpun secara keseluruhan, besaran dana CSR yang harus dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan di Kukar hampir menyamai besaran APBD, yakni antara Rp 1,3 triliun hingga Rp 2 triliun.

Menurut Siswo, meski besaran dana CSR saat ini tidak lagi sama seperti dulu, tapi jika dikerjakan secara optimal dan serius oleh perusahaan-perusahaan, pasti akan sangat membantu masyarakat dan daerah.

“Terutama bisa mengurangi beban sosial dan lingkungan yang harus ditanggung oleh pemerintah daerah sebagai akibat beroperasinya perusahaan-perusahaan di Kutai Kartanegara,” imbuh Siswo. (*)

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT