BERITAALTERNATIF.COM – Setelah tentara Suriah, dengan dibantu tentara Rusia dan Hizbullah, memulai operasi pembebasan Aleppo timur, dengan serempak muncul pemberitaan masif dari media Barat dan media Islam pro ‘mujahidin’ bahwa warga sipil Aleppo dibantai secara massal oleh rezim Assad.
Seruan ‘Save Aleppo’ pun bergema di media sosial, termasuk di Indonesia. Sponsor propaganda ini adalah ormas-ormas tertentu yang sejak awal perang Suriah sudah aktif berkeliling Indonesia untuk menggalang dana demi ‘membantu saudara Sunni yang dibantai Syiah di Suriah’.
Ketika sebuah mortar menimpa bangunan, bangunan itu akan berlubang besar dan dapat membunuh lima orang seketika. Mengapa tidak ada satu pun foto anak-anak yang menjadi korban mortar dan bom yang dilempar teroris yang menjadi headline di media mainstream dan diviralkan di media sosial? Mengapa tidak ada ‘Save Aleppo’ ketika yang menjadi korban bom atau mortar adalah warga Aleppo barat? Apakah nyawa warga di Aleppo timur berbeda nilainya dengan nyawa warga di Aleppo barat?
Le Corf, sang Baba Noel, yang setahun terakhir bermukim di Aleppo barat, menjadi saksi dari ketimpangan informasi ini. Pada 17 April 2016, di akun facebooknya, ia menulis sebagai berikut:
“Di manakah kalian? Dua hari yang lalu, aku bertemu dengan beberapa keluarga di Khaldié. Mereka tinggal [menggelandang] di sebuah taman di pusat Aleppo, dalam kondisi yang sangat-sangat buruk, karena mereka terpaksa pergi dari rumah mereka akibat perang”.
“Sebelum ini, mereka hidup nyaman, punya rumah, apartemen, ruangan… mereka punya kehidupan. Mereka tidak ingin pindah dari sini [taman] supaya bisa tetap bersama-sama. Di taman ini, mereka pernah menerima gempuran sebuah bom besar dan tiga mortar, namun untungnya, tidak meledak”.
“Kemarin, sekitar pukul 14.30, Al Nusra mengirim bom. Mereka menembakkan kaleng gas yang diisi dengan material peledak propel (gas canisters). Anak-anak melihatnya berputar di udara. Semua orang mulai berlarian. Seorang ayah menyuruh anak-anak perempuannya berlindung ke dalam tenda. Tapi bom itu justru jatuh di tenda itu. Semua hancur dan terbunuh. Potongan daging yang terbakar, tengkorak, dan rambut anak-anak gadis itu terserak-serak, penuh darah, hingga beberapa meter jauhnya”.
“Hari ini, aku membersihkan sepatuku. Di solnya tertempel potongan daging manusia. Tidak ada yang akan menulis tentang mereka, tidak ada media, tidak ada organisasi semisal UNICEF, UNHCR, … Tidak ada orang di sini. Gadis-gadis itu bernama Diana (17), Batul (13), dan Hiba (15)”.
“Aku orang Perancis dan aku mengambil banyak risiko untuk berada di sini, demi berbagi harapan dengan orang-orang. Ini bukan perangku, tetapi aku di sini; di mana orang-orang yang berkhutbah soal ‘penyelamatan rakyat Suriah’, mengabaikan kondisi kemanusiaan, dan bicara tentang perang”.
“Aku membaca banyak artikel hari ini. Dari 100 artikel, 95-nya ditulis oleh orang-orang yang tidak pernah ke sini dan tidak pernah menaruh tangannya di tengah kotoran ini agar bisa memahami apa arti semua ini. Namun mereka seolah tahu segalanya… jadi aku bertanya, di manakah kalian?”
Ya, media mainstream (yang kemudian dikutip oleh media-media seluruh dunia) melulu memberitakan Aleppo timur yang dibombardir tentara Suriah dan Rusia. Itu pun, narasumber yang dikutip adalah dari kalangan ‘mujahidin’.
Kembali ke pertanyaan: mengapa mereka mendadak heboh soal Aleppo? Mengapa ada gerakan global “Save Aleppo” (Selamatkan Aleppo) ketika Aleppo timur hendak dibebaskan oleh tentara Suriah? Untuk menjawabnya, penting untuk melihat, siapa sponsor para milisi bersenjata itu?
Sponsor perang Suriah adalah negara-negara yang mendanai dan menyuplai senjata kepada para milisi bersenjata. Mereka antara lain AS, Inggris, Perancis, Arab Saudi, Qatar, Turki, dan Yordania. Israel pun membantu dengan cara melakukan serangan sporadis ke wilayah Suriah dan merawat milisi bersenjata yang terluka. Mereka sudah mengeluarkan sangat banyak dana demi penggulingan Assad. Kini mereka hampir kehilangan ‘aset’ terbesar dan terpentingnya, Aleppo timur. Di sana, hampir seluruh faksi ‘mujahidin’ berkumpul. Kekalahan di Aleppo merupakan kekalahan terbesar pasukan proxy (kaki-tangan) negara-negara NATO dan Teluk.
Karena itulah, usaha terakhir para sponsor perang, lewat kekuatan media yang mereka miliki, mempropagandakan narasi ‘Assad melakukan genosida di Aleppo’ dengan harapan PBB segera menyetujui pengiriman pasukan NATO untuk menggulingkan Assad. Namun, perlawanan dari media alternatif sudah cukup kuat, demikian pula netizen pengguna media sosial seluruh dunia. Mereka mengungkapkan bahwa sama sekali tidak ada bukti yang bisa ditunjukkan oleh siapa pun soal genosida di Aleppo. Bahkan Robert Fisk ikut serta memprotes pemberitaan media Barat dengan menulis:
“Penggunaan media sosial dalam memberitakan pertempuran di timur Aleppo menjadi luar biasa, aneh, berbahaya, dan bahkan mematikan, ketika tidak ada satu pun jurnalis Barat yang melaporkannya dari tangan pertama, dari lapangan. Kredibilitas jurnalisme—dan politisi—telah sangat rusak akibat penerimaan pada satu sisi cerita karena tidak ada satu pun reporter yang bisa mengonfirmasi dengan matanya sendiri atas hal-hal yang mereka laporkan. Kita [masyarakat Barat] menyerahkan jurnalisme kepada media sosial, dan kepada milisi bersenjata yang mengontrol wilayah itu…”
Menarik untuk diamati, para teroris di Aleppo timur dan keluarga mereka (serta sebagian warga yang memilih bergabung dengan teroris) dievakuasi (diantar dengan bus-bus berwarna hijau) ke Idlib yang berbatasan dengan Turki. Ada beberapa analisis yang bisa dikemukakan untuk menjawab, mengapa tentara Suriah ‘berbaik hati’, membiarkan para teroris pergi begitu saja?
Pertama, karena akan sangat merepotkan pemerintah bila mereka ditawan (bagaimanapun, biaya memenjarakan manusia dalam jumlah besar akan menjadi beban berat). Kedua, ini adalah bagian dari negosiasi, teroris membebaskan warga sipil mengungsi ke Aleppo barat, namun mereka juga difasilitasi pergi ke Idlib.
Ketiga, ini justru strategi tingkat tinggi pemerintah Suriah, yaitu agar kelompok-kelompok teroris semakin terpecah-belah karena tidak bisa berkoordinasi dengan anggota mereka di kawasan lainnya. Dan keempat, secara alamiah, ketika kelompok-kelompok haus darah berkumpul di satu lokasi, pastilah akan terjadi konflik. Mereka akan saling bunuh di antara sesama mereka. Dan hal ini sudah terbukti. Farsnews pada 17 Januari memberitakan, Jabhat Fathah Al Syam (alias Al Nusra) bertempur melawan Ahrar Al Sham. Begitu juga di antara kelompok-kelompok teror lainnya. (Sumber: Dina Sulaeman dalam buku Salju di Aleppo)