Search
Search
Close this search box.

Soal OTT Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi, Permintaan Maaf KPK Dinilai Keliru

(Istimewa)
Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Henri Alfiandi sebagai tersangka kasus suap pengadaan proyek alat deteksi korban reruntuhan.

Dalam kasus tersebut, Henri diduga menerima suap Rp 88,3 miliar.

Dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan di Cilangkap, KPK mengamankan delapan orang tersangka, termasuk tangan kanan Henri, yakni Afri Budi Cahyanto.

Advertisements

Sementara itu, Kepala Basarnas, Henri diumumkan sebagai tersangka oleh KPK pada jumpa pers.

Mendengar adanya jumpa pers terkait Henri, Puspom TNI kemudian mengirim tim ke KPK.

Afri Budi Cahyanto kemudian diserahkan ke Puspom TNI dengan status tahanan KPK beserta barang bukti uang sekitar Rp 1,4 miliar.

Belakangan ini, TNI yang mengaku tidak diberi tahu lalu menggelar jumpa pers tandingan di Mabes TNI, Cilangkap.

Sejumlah jenderal dipimpin komandan Puspom TNI, Marsekal Marsda R Agung Handoko, mendatangi KPK.

Pertemuan antara petinggi KPK dan TNI pun digelar.

Setelah selesai pertemuan tersebut, pihak KPK lalu mengaku khilaf dan meminta maaf kepada pihak TNI.

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak memahami mestinya penanganan kasus dugaan korupsi Henri ditangani oleh Polisi Militer.

Perbedaan pendapat antara KPK dan TNI tentang status tersangka Kepala Basarnas akhirnya ditutup dengan permintaan maaf oleh KPK.

Permintaan maaf itu pun disampaikan Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, di kantornya pada Jumat (28/7/2023).

Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Unmul Samarinda menyebutkan bahwa langkah KPK yang meminta maaf dan menyerahkan kasus dugaan korupsi di lingkungan Basarnas kepada Puspom TNI merupakan langkah yang keliru.

Permintaan maaf dan penyerahan perkara kedua prajurit kepada Puspom TNI tersebut hanya akan menghalangi pengungkapan kasus secara transparan dan akuntabel.

Lebih dari itu, penyerahan proses hukum kepada TNI berpotensi membuka jalan impunitas bagi Henri dan Afri Budi sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997.

Padahal dalam Pasal 65 ayat 2 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menyatakan bahwa prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan UU.

Keputusan KPK tersebut dinilai SAKSI dapat merusak sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia.

Sebagai kejahatan yang tergolong tindak pidana khusus, KPK sudah seharusnya menggunakan UU KPK sebagai pijakan dan landasan hukum dalam memproses militer aktif yang terlibat korupsi karena merupakan lex specialist derogat lex generalis.

Dengan demikian, kata SAKSI, KPK seharusnya mengusut kasus ini hingga tuntas dan tidak perlu meminta maaf.

Oleh karena itu, SAKSI Fakultas Hukum Unmul Samarinda menyatakan sikap sebagai berikut:

Pertama, meminta KPK untuk tetap menangani perkara ini dengan sistem peradilan koneksitas karena pelakunya melibatkan orang sipil dan orang yang berstatus anggota TNI.

Kedua, peradilan koneksitas harus dilakukan karena tindak pidana korupsi jelas merugikan kepentingan umum.

Ketiga, KPK sedianya memiliki wewenang luas dalam menangani setiap kasus dugaan korupsi tak terkecuali kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI sebagaimana diatur dalam Pasal 42 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Terakhir, kata SAKSI, pengusutan kasus korupsi yang melibatkan oknum militer harus dilakukan sampai tuntas. Tidak hanya terhadap pelaku tapi juga semua pelaku penyertaan yang aktif maupun pasif.

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA