Oleh: Leonita Lestari*
Ketika bangsa penjajah itu berkabar bangga tentang pencapaian para nakhodanya yang telah mampu menemukan Tanjung Harapan, itu tanda tak baik bagi dunia timur. Itu seperti kabar bahwa bencana akan segera datang.
Ketika kemudian para rakus dan tamak itu telah menaklukkan Lankadeepa atau Sri Lanka, Malaka hanya menunggu saat dan tak jauh dari jarak waktu tersebut, serta-merta wajah Nusantara akan berubah untuk selamanya.
Kini, cerita yang hampir sama dalam urutan tempat terjadi. Sri Lanka tumbang. Resesi global telah mulai membakar setiap tempat yang dilaluinya.
Apakah Malaka juga kelak akan tumbang dan Indonesia juga akan turut berubah wajahnya, itu jelas bukan apa yang kita harapkan. Dulu, saat kita masih dalam sebutan Nusantara, persatuan kita koyak.
Kini, meski ada sedikit orang berteriak senang atas kisah jatuhnya Sri Lanka dan serta-merta membuat ilustrasi bahwa rakyat negara itu yang menyerbu Istana Presiden akan juga terjadi di Indonesia, itu memang ada kita dengar.
Segelintir bangsat yang seharusnya tak pantas dan pernah boleh tinggal di negara kita itu mulai berteriak melalui banyak kanal. Bila ada ikrar bersama yang saat ini harus kita lakukan, itu hanya bersatu.
Tak ada yang lain. Sudah jatuh dan lalu tertimpa tangga, mungkin itulah gambaran kisah sedih dan tak menyenangkan yang menimpa negara dan rakyat Sri Lanka.
Dimulai pada 2019, negara itu dilanda serangan bom. Konon ledakan yang terjadi di bulan April di Kolombo dan kota-kota lain itu telah meminta korban 250 orang.
Sebagai negara yang memiliki delapan situs warisan dunia dan bahkan pada 2010 The New York Times menyebut Sri Lanka sebagai tujuan wisata nomor 1 di dunia, bisa ditebak bahwa pariwisata adalah sumber devisa utama negara tersebut. Bom itu telah membuat turis takut.
Sialnya, satu tahun kemudian, sebelum mereka dapat meyakinkan para turis untuk kembali datang, pandemi Covid-19 melanda. Kita tahu bagaimana jahatnya pandemi itu pada sektor pariwisata. Sri Lanka mulai terlihat sempoyongan.
Bukan hanya membuat pariwisata rontok, devisa dari 1,5 juta rakyatnya yang bekerja di luar negeri pun dirampok oleh pandemi itu. Ekonomi Sri Lanka menuju titik tak baik bagi 20 juta lebih warga negaranya.
Seperti melengkapi penderitaan, perang Rusia dan Ukraina menjadi pukulan telak, dan negara itu TKO. Harga komoditas hingga minyak yang melonjak sangat tinggi tak lagi dapat menahan marah rakyat, mereka menyerbu istana tempat pemimpin mereka kemarin menjadi nakhoda.
Bukankah itu juga karena sebab jebakan hutang pada China?
Seperti tempat transit sangat strategis dalam hubungan dagang antara barat dan timur, letak negara yang berada di utara Samudera Hindia itu telah menarik banyak pedagang singgah. Bahkan, demi mencari sumber rempah dunia di masa kolonial, Portugis, Belanda dan Inggris tercatat secara bergantian menjajah negara kecil di selatan India itu. Nusantara dituju, Sri Lanka dijadikan titik antara.
Tidak bagi China, dalam sejarah ingin diakui, Sri Lanka adalah bagian melekat dari jalur sutera. Konon rempah bagi dunia barat oleh para pedagang pengguna jalur sutera, diangkut dari pulau itu.
Saat menuju ke tempat sangat jauh di barat, pelaut Nusantara menurunkan sebagian angkutannya di Lankadeepa (Sri Lanka), yang berarti tanah bersinar dalam bahasa sanskerta, dan melalui jalur darat, kelak rempah-rempah itu memenuhi India dan dibawa makin ke barat hingga Eropa Timur.
Pada sejarah itulah posisi Sri Lanka menjadi salah satu tujuan China hadir saat mereka ingin kembali menggelorakan gemilang sejarah jalur sutera.
Sri Lanka menjadi salah satu target untuk diajak serta dalam menghidupkan kembali sejarah masa lalu dan China hadir sambil menawarkan hutang.
Berarti terkait erat dengan jalur rempah kuno? Dokumen-dokumen sejarah menunjukkan bahwa Sri Lanka memiliki sejarah lebih dari 3.000 tahun. Sangat tua bukan?
Pernah dengar kata keling? Meski terdengar cenderung bernada rasis dan tak baik digunakan, itu adalah sebutan untuk etnis India yang berkulit hitam khususnya Tamil.
Hari ini, jejak keberadaan masyarakat itu masih ada. Kampung Madras atau yang dahulu disebut Kampung Keling merupakan kampung India terbesar yang masih ada di Medan Sumatera Utara.
Tapi, kata keling juga sering merujuk pada kerajaan Kalingga. Nama Ho-ling yang muncul dari catatan Tiongkok di abad ke-7 adalah tentang kerajaan Kalingga yang diperkirakan telah ada pada abad ke-5 dan diperkirakan terletak di utara Jawa Tengah.
Ratu Shima adalah pemimpinnya yang paling terkenal. Kelak, candi Borobudur, Prambanan dan banyak candi spektakuler yang lainnya dibangun oleh para keturunannya.
Pun Raja Airlangga merupakan penguasa Kahuripan pada 1019-1042 yang juga masih dapat ditarik silsilahnya dari ratu Shima.
Pada masanya, dia telah membuat aturan terkait pajak bagi orang asing. Pada aturan ini, nama keling kembali muncul.
Pada zamannya, jumlah orang asing yang datang ke negaranya dicatat. Buktinya adalah Prasasti Kamalagyan (1037). Di sana ada disebut orang dari Arya, Srilangka, Pandikira, Dravida, Campa, Khmer, dan Remin.
Untuk keperluan itu, Sang raja pun merasa perlu menunjuk petugas khusus untuk mengurusnya. Di antaranya ada petugas yang dinamai juru kling, juru hunjeman, dan paranakan. Tugas mereka adalah untuk menarik pajak dan melakukan pencatatan atau sensus terhadap orang asing.
Juru hunjeman terkait mengurusi kelompok pendatang dari Yahudi, Muslim, Kristen, Siria, dan orang Persia yang masih beragama Zarathustra yang biasanya bermukim di kota-kota pesisir.
Sementara, juru kling adalah petugas untuk mengurusi masalah pedagang dari India Selatan atau Sri Lanka. Kling di sana sering bermakna keling itu sendiri.
Ya, mereka kebanyakan adalah para pedagang rempah dan para pendatang yang mengadu nasib dan datang ke Nusantara jauh sebelum bangsa Portugis merasa sebagai penemu pertama tanjung harapan dan kemudian Sri Lanka demi mencapai Nusantara.
Mereka telah lama terhubung dengan Nusantara dan Sri Lanka sebagai titik hubung, bukan mustahil, ini adalah penyebabnya.
Bila Sri Lanka memiliki catatan lebih dari 3.000 tahun, adakah itu tak terhubung sama sekali dengan rempah kita yang telah mencapai Mesir bahkan Ratu Sheba dan Salomo yang dalam kitab suci tercatat dengan jelas menyebut rempah dan kayu cendana?
Untuk mencapai Mesir bahkan negeri Yunani seperti kisah penunggang gelombang yang diceritakan oleh Ptolomeus, Sri Lanka adalah tempat transit paling masuk akal.
Dari pelabuhan besar Barus, jangkar pun diangkat. Angin Timur bertiup dan layar pun mengembang. Lankadeepa atau “Tanah Bersinar”, dituju.
Kelak sebagian dari para penumpang akan berpisah di pelabuhan itu. Ada yang menuju utara ke Chennai, Kolkata dan Chittagong untuk bergabung dengan rombongan pedagang lainnya yang hendak pergi ke New Delhi, Tajikistan hingga mencapai kelompok pedagang mancanegara lainnya di Jalur Sutera.
Dalam penelitian sejarah, itu adalah benang merah yang tak boleh diabaikan. Dan etnis terbesar di Sri Lanka adalah etnis Sinhala yang beragama Buddha, yang diperkirakan baru datang di pulau itu mulai abad ke-5 SM.
Tak terlalu kebetulan adalah karena sebab pulau itu telah ramai, telah menjadi tempat transit para pelaut Nusantara yang akan menuju ke Mesir atau bahkan Yunani misalnya.
Seperti gula mengundang semut, pulau itu menjadi hidup dan mengundang siapa pun yang ingin merasakan manis hidup yang diakibatkan oleh perdagangan itu.
Kelak, etnis terbesar kedua yakni Tamil yang beragama Hindu yang datang mulai awal masehi di pulau itu, adalah bukti lain yang bukan mustahil karena pada pulau itu memang makin ramai.
Bahwa kedua etnis itu kemudian juga ramai datang dan tercatat ada di Nusantara, kenapa tidak tentang rasa ingin mencari sumber langsung? Sejarah mencatat bahwa Sri Lanka sangat dekat dengan keseharian Nusantara.
Sejak negara itu merdeka dari Inggris tahun 1947, dan menjadi bagian dari negara persemakmuran, gesekan dua etnis mulai terjadi. Setelah selalu terjadi saling serang secara terbuka selama lebih dari 20 tahun, pada 2009 pertikaian itu dapat dihentikan.
Karena sebab catatan sejarahnya yang sangat panjang dan komplit, secara perlahan negara itu berubah menjadi negara tempat tujuan wisata paling menarik di dunia.
Sayang, pada 2019 bom yang membawa korban kembali terdengar setelah selama 10 tahun negara itu damai. Sialnya, itu dilanjutkan dengan pandemi. Jadwal pembayaran hutang pun terganggu dan ekonomi negara itu dalam siaga merah.
Luka lama yang belum terlalu kering dan mulai terbuka itu makin menganga atas dampak perang Rusia Ukraina. Komoditas dan BBM yang berdampak langsung pada rakyat itu telah melampaui titik tegang dan kini putus. Kerusuhan tak lagi dapat dihindari.
Resesi global yang sangat ditakuti oleh banyak negara itu telah mulai memakan korban. Seperti kisah para penjajah saat menuju Nusantara harus memangsa Lankadeepa, resesi global itu pun seolah semakin mendekati kita.
Anehnya, sebagian dari saudara kita itu justru berharap kejadian yang sama di Sri Lanka terjadi di negeri ini.
Namun dengan menggunakan salah satu data ekonomi di mana tingkat inflasi negara kita yang adalah sebagai salah satu yang terendah di dunia, bahkan lebih baik dari banyak negara super maju seperti Amerika serikat, Jepang dan negara-negara di kawasan Eropa, potensi resesi global yang menghancurkan itu seharusnya tak terjadi.
Sama seperti Sri Lanka, kita akan tetap terdampak atas resesi itu. Tidak sama dengan Sri Lanka, Indonesia dengan fundamental ekonomi yang mantap, kita terlalu jauh dari makna chaos.
Terlalu arogan bila over optimis kita berkata tak mungkin akan memberi dampak pada negeri kita. Ya, kita tetap akan terluka, namun seharusnya bukan dengan jenis luka parah.
Robek tubuh kita yang tak seberapa parah itu kelak baru akan mematikan bila menjadi infeksi parah misalnya. Dan itu hanya terjadi bila di antara kita ada yang sengaja merobek luka itu lebih lebar dan kemudian menaburi luka itu dengan kuman atau racun.
Dan itu terjadi. Para bangsat itu telah dan sedang mencari cara melakukan tindakan tak masuk akal demi predikat sesat pengkhianat bangsa.
Mereka ingin rakyat Indonesia menyerbu Istana Presiden seperti rakyat Sri Lanka telah melakukan itu. Mereka ingin Indonesia rusuh hanya demi kekuasaan yang tak mampu mereka dapat dari proses demokrasi. Saatnya kita bersatu. (*Penulis Indonesia yang kerap menulis berbagai tema terkait Nusantara. Artikel ini bersumber dari utas yang ditulisnya di Twitter)