BERITAALTERNATIF.COM – Baru-baru ini Presiden Jokowi mengumumkan pengurangan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) seperti solar, pertalite, dan pertamax.
Dikutip dari Detik.com, harga pertalite naik dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter. Kemudian, harga solar subsidi naik dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter.
Sementara harga pertamax mengalami kenaikan dari yang sebelumnya Rp 12.500 menjadi Rp 14.500 per liter, namun di beberapa provinsi luar Jawa ada yang harganya Rp 14.850 dan Rp 15.200.
Kebijakan ini mengundang reaksi penolakan dari sebagian masyarakat Indonesia. Mereka berpendapat bahwa keputusan yang diambil Presiden Jokowi tidak tepat di tengah kondisi masyarakat yang sedang berusaha memulihkan perekonomian mereka pasca pandemi Covid-19.
Dalam artikel ini, kami menyajikan hasil wawancara dengan pengamat ekonomi dan politik dari Kabupaten Kutai Kartanegara, Haidir. Berikut artikel hasil wawancara kami dengan politisi Partai Kebangkitan Bangsa tersebut pada Senin (5/9/2022) malam.
Apa pendapat Anda terkait kebijakan pengurangan subsidi BBM saat ini?
Terkait kebijakan pemerintah pusat mencabut subsidi dan menaikkan harga BBM ini memang hal yang paling sensitif, berpengaruh, dan fleksibel. BBM berada di posisi strategis di antara berbagai kebijakan yang bisa ditempuh dalam konsep pembangunan.
Kenapa BBM berposisi strategis? Karena BBM menjadi kebutuhan primer dalam aktivitas, kinerja, produksi, dan hampir seluruh kebutuhan di baliknya bergantung pada sumber daya energi, terutama BBM, sehingga sangat sensitif ketika ada kebijakan pemerintah terkait BBM.
Berikutnya, BBM subsidinya sangat besar. Di masa Orde Baru, BBM sampai menarik subsidi ribuan triliun. Kemudian, di Orde Reformasi, di awal-awal pemerintahan juga masih berhadapan dengan besarnya anggaran subsidi BBM, juga di angka ribuan triliun.
Di masa Pak Jokowi, dengan berbagai kebijakan BBM, misalnya mencabut subsidi premium, menghilangkan premium untuk mengurangi beban subsidi pada obyek premium, mengganti premium ke pertalite, kemudian mencabut subsidi pertamax, subsidi pertalite, ternyata tidak juga menghilangkan beban APBN untuk subsidi BBM, yang jumlahnya masih mencapai angka Rp 500 triliun setiap tahun.
Kemudian, kebijakan yang ada hari ini dari pemerintah tidak serta-merta mencabut subsidi BBM sampai 100 persen, karena harga pertalite di luar negeri itu kisarannya kalau dikonversi ke rupiah bisa mencapai Rp 17.000 per liter. Kalau hari ini ditetapkan harga pertalite Rp 10.000 per liter, berarti masih ada subsidi Rp 7.000 per liter yang ditanggung oleh negara.
Kebijakan harga pada BBM juga sangat berpengaruh sentral pada pergerakan kenaikan harga barang dan jasa. Sementara lazimnya kita di Indonesia ini, harga barang itu bisa naik, tapi hampir tidak pernah kita temui harga barang dan jasa akan turun ketika ada kebijakan yang seharusnya dapat mendorong penurunan harga barang dan jasa, seperti turunnya harga BBM.
Berbeda dengan barang-barang yang dikonversi ke dalam dolar dan mata uang asing lainnya, harga barang itu ketika terjadi fluktuasi kurs, maka akan berimbas pada naik dan turunnya harga barang.
Kalau di Indonesia enggak begitu. Misalnya hari ini BBM dicabut subsidinya sekian persen. Hal itu otomatis akan mendorong kenaikan harga barang. Tetapi, ketika nanti pemerintah menambah angka subsidi dan menurunkan harga BBM atau harga minyak dunia mengalami penurunan, maka harga barang dan jasa tidak akan berubah.
Inilah yang membuatnya sensitif ketika pemerintah mengambil kebijakan pengurangan subsidi BBM dengan alasan mengurangi beban APBN. Hal ini hanya akan berpengaruh pada kenaikan harga barang dan jasa. Jika nanti ada perubahan kebijakan pemerintah menambah subsidi BBM atau karena pergerakan harga minyak dunia mengalami penurunan sehingga pemerintah akan menurunkan harga BBM, maka saya yakin itu tidak akan diikuti oleh penurunan harga barang dan jasa. Harga barang dan jasa akan cenderung tetap. Tak berubah.
Para pelaku ekonomi tidak akan mau mengevaluasi dan mengadaptasi penurunan biaya produksi yang disebabkan oleh penurunan harga BBM, dengan menurunkan harga barang dan jasa yang mereka produksi. Mereka menganggap penurunan biaya produksi dan selisih antar harga jual dan biaya produksi sebagai laba, meskipun ada kontribusi turunnya harga BBM sebagai salah satu faktor produksi dalam laba tersebut. Keuntungan yang demikian hanya dinikmati oleh pihak produsen, dan tidak akan dinikmati oleh konsumen. Dalam hal ini masyarakat.
Ketika kita mencoba menghemat APBN dengan cara memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau apa pun bentuk program lainnya, itu agak sulit. Hal ini akan tetap menimbulkan efek kenaikan harga yang membebani masyarakat.
Ketika harga BBM naik, masyarakat akan menghadapi dua persoalan utama. Pertama, beban langsung mereka terhadap penambahan biaya beli harga BBM karena adanya kenaikan tarif. Kedua, daya beli masyarakat akan turun karena akan ada kenaikan harga barang dan jasa secara umum. Itulah mengapa posisi BBM ini sensitif.
Tetapi dalam posisi yang lain, pemerintah juga memiliki analisis tambahan dalam menentukan kebijakan pencabutan subsidi BBM. Meskipun pemerintah memahami persoalan yang saya sampaikan di atas. Saya yakin pemerintah memahami dampak ekonomi terkait pengurangan subsidi BBM yang akan berpengaruh jangka panjang terhadap perekonomian nasional.
Tetapi, di sisi lain, pemerintah juga menghadapi kesulitan bagaimana memastikan bahwa subsidi diterima langsung oleh masyarakat miskin. Kalau mereka memberikan langsung subsidi melalui BBM, maka memilah dan memilih siapa yang berhak menikmati subsidi tersebut, siapa yang boleh menggunakan BBM bersubsidi, tidak dapat terkontrol secara maksimal.
Lagi-lagi pihak-pihak yang punya kebutuhan BBM besar yang akan banyak menikmati subsidi, terutama kalangan ekonomi menengah ke atas, industri, dan pihak-pihak yang berproduksi massal dan besar. Merekalah yang paling diuntungkan, karena mereka yang paling banyak mengonsumsi BBM dibandingkan masyarakat biasa.
Apakah subsidi yang dikonversi dalam bentuk BLT untuk masyarakat miskin sudah tepat?
Pemerintah berusaha memikirkan bagaimana subsidi yang sebesar itu bisa diterima langsung oleh masyarakat. Makanya ada istilah mencabut subsidi, kemudian menjadikannya sebagai program BLT.
Tetapi niat baik pemerintah ini harus dihitung betul-betul. Misalnya saja beban ekonomi masyarakat akibat kenaikan harga BBM, apakah bantuan yang dikonversikan ke BLT akan cukup menutupi kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat ketika harga barang dan jasa naik disebabkan kenaikan harga BBM? Jangan sampai nanti BLT Rp 600 ribu itu tidak cukup menutupi biaya kebutuhan tambahan masyarakat akibat kenaikan harga barang dan jasa lainnya.
Jika ini terjadi, maka kebijakan mencabut subsidi dan mengonversinya dalam program BLT sama saja tidak akan banyak membantu masyarakat, bahkan pemerintah telah mengambil langkah tidak populis tanpa memberikan pengaruh signifikan bagi perbaikan keadaan masyarakat. Pada perhitungan break even point saja antara beban tambahan masyarakat akibat kenaikan harga barang jasa dan nilai BLT sebesar Rp 600 ribu, maka kebijakan ini jelas tidak menguntungkan.
Saya mendengar Pak Presiden meminta kepada seluruh menteri-menteri terkait untuk mencermati dan menghitung betul-betul plus minus kebijakan itu, sehingga Presiden sampai mengambil kebijakan tersebut. Garansinya ada pada keakuratan perhitungan para pembantu Presiden, dalam hal para menteri.
Dalam mengukur ketepatan kebijakan ini, kita bicara dalam wilayah prediksi. Kenyataannya nanti bagaimana, apakah dengan pengurangan subsidi itu tidak berpengaruh pada perkembangan industri, yang sebenarnya menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi di Indonesia atau sebaliknya akan ada lonjakan-lonjakan produksi yang efektif dan efisien yang dilakukan oleh pihak-pihak pengusaha dan investor terhadap perekonomian Indonesia? Ini belum bisa kita ukur. Saya juga secara pribadi belum mengukur efek plus minus dari kenaikan harga BBM ini.
Yang pasti akan ada beban tambahan bagi masyarakat, terutama masyarakat yang nanti tidak bisa menikmati langsung BLT. Nanti misalnya Rp 200 sampai Rp 300 triliun yang akan digulirkan untuk BLT. Apakah angka itu akan mampu menjangkau seluruh masyarakat ekonomi lemah? Apakah akan langsung disalurkan secara riil kepada masyarakat? Kalau sudah sampai ke tangan masyarakat, apakah sudah tepat atau tidak BLT dengan besaran Rp 600 ribu per bulan? Apakah diperlukan perubahan angka BLT menjadi Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta untuk bisa menutupi kebutuhan masyarakat?
Pemerintah punya data jumlah penduduk miskin, jumlah masyarakat tidak mampu, dan seterusnya. Itu menjadi ranahnya pemerintah. Kita hanya bicara dalam tataran prediksi saja. Selebihnya saya pikir akan kita lihat langsung dampaknya dalam beberapa waktu terakhir ini.
Apa solusi yang tepat selain mengurangi subsidi BBM agar subsidi ini tepat sasaran?
Kalau pertimbangan dari pengurangan subsidi ini supaya dinikmati dengan tepat oleh masyarakat, sebenarnya itu urusan teknis. Jadi, caranya bisa saja bukan melalui pengurangan subsidi BBM. Kalaupun mau, beberapa pihak yang dianggap memiliki ekonomi lemah, mereka diberikan langsung subsidi lewat BBM. Pendataannya bisa dari RT dan kelurahan, khususnya siapa-siapa yang layak mendapatkan subsidi. Nah, kelompok masyarakat itu saja yang harus dibiayai oleh pemerintah. Apakah nanti melalui kupon atau kartu subsidi BBM. Tinggal nanti harus ada kontrol terhadap penggunaan kupon atau kartu subsidi BBM. Harus dimanfaatkan langsung oleh pemegang kupon atau kartu subsidi.
Artinya, masyarakat yang tidak punya kartu atau kupon tidak boleh menggunakan BBM bersubsidi. Tetapi kartu atau kupon itu memiliki limit volume. Misalnya setiap hari hanya mengisi 1 liter atau dalam seminggu maksimal 4 liter.
Ketika subsidi diberikan dalam bentuk kartu dengan limit pemakaian BBM, nanti yang menggunakannya bukan masyarakat di bawah garis kemiskinan, tentu tidak boleh menggunakan kartu itu.
Pemberian BLT juga bisa jadi solusi. Tapi, angkanya yang harus dianalisis matang-matang. Hendaknya pemerintah pusat menentukan nilai yang berbeda untuk wilayah-wilayah tertentu. Misalnya di Jawa, BLT Rp 600 ribu itu bisa jadi cukup memenuhi kebutuhan tambahan masyarakat terdampak terhadap kenaikan harga BBM, karena inflasi di Jawa relatif kecil.
Sementara di Kalimantan, Papua, Aceh, dan daerah-daerah lain, angka itu kurang berarti bagi masyarakat. Kenapa? Inflasinya tinggi. BLT Rp 600 ribu hanya untuk beberapa kali belanja saja, apalagi daerah-daerah yang tidak terkena kebijakan satu harga BBM.
Lalu, apa urgensi pengurangan subsidi ini? Apalagi di tengah kondisi masyarakat yang juga tidak sangat membutuhkan adanya konversi dari subsidi ke BLT. Mereka lebih cenderung berharap pemerintah mengurusi peluang kerja, mendorong bagaimana peningkatan pendapatan per kapita, ke arah situ sebenarnya yang diharapkan dari pemerintah.
Kemudian, pemerintah melalui kementerian harusnya menjamin ketersediaan pupuk, sarana dan prasarana produksi pertanian, perkebunan, nelayan, dan seterusnya. Ke arah itu sebenarnya yang diharapkan dari pemerintah saat ini dibandingkan dengan mengusik persoalan subsidi BBM.
Beberapa bulan sebelum mengurangi subsidi itu, kita menghadapi kelangkaan pertalite di SPBU. Sering kali kita temukan di SPBU tertulis “pertalite dalam perjalanan”. Akhirnya kita terpaksa mengisi BBM di SPBU Mini yang harganya sama dengan harga BBM setelah pengurangan subsidi saat ini.
Setelah subsidi dikurangi, seolah-olah di SPBU semua jenis BBM tersedia. Pola-pola seperti ini patut kita pertanyakan. Mengapa model-model ini muncul? Sebelum subsidi BBM dikurangi, kita sudah terbiasa menggunakan BBM non-subsidi, karena kelangkaan BBM di SPBU, dan terpaksa membeli BBM di SPBU Mini dengan harga sekitar Rp 9.000 sampai Rp 10.000 per liter.
Jadi, sangat mungkin juga ada kepentingan lain dari kebijakan pencabutan subsidi itu. Di samping digunakan untuk BLT, sebagian dari dana subsidi BBM juga digunakan untuk kepentingan-kepentingan lain.
Castro (pengamat dari Universitas Mulawarman Samarinda) kan menyebutnya untuk membiayai pembangunan IKN. Mungkin saja begitu. Saya lebih cenderung berpendapat bahwa kebutuhan pemerintah sangat luas. Tidak hanya terkait IKN. Banyak hal yang harus dibiayai oleh pemerintah.
Tanpa ada IKN, pemerintah pusat sudah terbebani dengan subsidi pemeliharaan kestabilan Jakarta sebagai ibu kota, bahkan rata-rata setiap tahun mencapai Rp 500 triliun yang harus ditanggung oleh pemerintah pusat.
Kalau mau menyelesaikan pembangunan IKN, subsidi untuk Jakarta saja yang dikonversi untuk pembangunan IKN. IKN ini kan hanya butuh sekitar Rp 460 triliun. Sementara Jakarta membutuhkan dana sampai Rp 500 triliun setiap tahun. Biarkan Jakarta mandiri dengan APBD-nya sendiri. Kalaupun subsidi untuk Jakarta tidak bisa dikurangi sepenuhnya, paling tidak dikurangi dan dialihkan untuk kebutuhan lain yang lebih berdampak bagi masyarakat umum. (um)