Oleh: Dina Sulaeman*
Terlebih dulu saya ingin melakukan disclaimer: saya bukan ahli agama, dan sama sekali tidak ada niat sedikit pun merendahkan ulama. Jadi, saya harap, yang tidak setuju dengan isi tulisan saya, tidak usah marah-marah. Tunjukkan akhlak sufi yang diajarkan para ulama sufi. Sebaliknya, mereka yang setuju dengan saya, harap komen dengan santun, jangan merendahkan ulama. Ingat, komenmu menunjukkan kualitas dirimu.
Beliau di video ini adalah Syekh Yusri, ulama sufi dari Mesir. Video ini tersebar di grup-grup WA, lalu rekan saya memberi subtitle (karena terjemahan yang dilakukan oleh si penerjemah yang ada di samping beliau kurang akurat).
Dua poin utama yang beliau sampaikan: Pertama, poin teologi: ajaran Syiah adalah mencaci maki sahabat, hanya mengakui 12 sahabat, hanya mengakui 12 imam, representasi Syiah adalah Iran, Iran membuat kerusakan di muka bumi.
Kedua, poin geopolitik: Pertama, Iran merusak Yaman melalui Houthi, Houthi membunuhi saudara-saudara mereka sendiri dengan senjata dari Iran
Kedua, di balik Iran ada ekstremis Yahudi terbesar di dunia; ekstremis Yahudi terbesar tinggal di Iran.
Ketiga, Iran membuat kerusakan di Lebanon melalui Hizbullah (karena menyebut kata ini di Facebook berpotensi di-ban, saya biasa menyingkat jadi ‘Hez’).
Keempat, kaum Syiah juga “mewakili” Hamas di Gaza dan kaum Ikhwanul Muslimin di dunia, di mana mereka (IM) melakukan kerusakan dan mengejar dunia dengan dalih membela agama, menyuruh masyarakat untuk tidak patuh pada pemerintah mereka masing-masing.
Untuk poin teologis, silakan merujuk pada ulama-ulama lain sebagai pembanding. Dalam berpikir ilmiah, ada yang disebut “triangulasi data,” yaitu kita melakukan cek dan ricek data. Di video saya taruh juga pernyataan Grand Syaikh Al Azhar, Dr. Ahmad Thayeb, mengenai Syiah.
Karena saya akademisi/pengamat geopolitik, yang saya komentari adalah poin geopolitik. Menurut saya, kajian geopolitik sangat tidak tepat jika dianalisis dengan kaca mata agama. Karena, penafsiran agama itu kan banyak versi, sehingga kalau dipakai untuk menganalisis geopolitik akan memunculkan hasil analisis yang bias, dan sering terjebak dalam “mencocok-cocokkan.”
Berikut ini tanggapan saya: Pertama, konflik di Yaman utara yang sedang terjadi sejak 2015 adalah transisi politik internal, tapi kemudian Arab Saudi—yang mendukung salah satu faksi—melakukan intervensi dengan membombardir Yaman utara (btw, Yaman tengah, yaitu Hadramaut, bebas, enggak dibom; makanya ada Habib-Habib dari sana yang aman berkunjung ke Indonesia).
Apakah ini Houthi berperang melawan non-Houthi? Jelas tidak. Houthi adalah nama klan/kabilah, dan umumnya anggota klan ini bermazhab Syiah Zaidiyah. Memang ada tokoh-tokoh yang berasal dari klan Houthi (sehingga nama belakangnya adalah Al Houthi, misal “Badruddin Al Houthi) yang menjadi inspirator gerakan perlawanan di Yaman. Tapi, silakan cek siapa presiden Yaman dan menteri-menterinya, ada berapa yang bernama Al Houthi? Presiden Yaman de facto saat ini adalah Mahdi Al Mashat.
Apa yang mereka lawan? Yaitu, kekuasaan elite yang meminggirkan dan memiskinkan banyak warga Yaman (bukan hanya klan Houthi). Penguasa yang terguling melalui aksi-aksi demo anti pemerintah bernama Ali Abdullah Saleh, seorang Syiah Zaidiyah juga, ia berkuasa 30 tahun dan sangat pro AS, dan menerima uang sangat besar dari AS dengan alasan “melawan terorisme.”
Jadi, jelas ini bukan perlawanan atas dasar kebencian mazhab (klan Houthi dan Saleh kan satu mazhab). Setelah Saleh terguling, ia digantikan oleh presiden interim Mansour Hadi. Nah, masalahnya, Hadi ini membawa pesan sponsor dari Saudi (di belakangnya ada AS dan Inggris) untuk menyingkirkan faksi Houthi dari pemerintahan yang akan dibentuk. Ketika deadlock, Mansour Hadi mundur (sehingga muncul vacuum of power).
Menurut kesaksian utusan PBB, Jamal ben Omar, yang mengawal proses negosiasi, sesungguhnya, semua faksi-faksi Yaman (minus Mansour Hadi yang sudah kabur ke Saudi) sudah menjalin kesepakatan mengenai distribusi kekuasaan, tapi Arab Saudi, UAE, dkk, malah memulai serangan bom ke Yaman.
Jangan lupakan, sebelum dimulainya agresi itu, Menlu Saudi saat itu Adel Al Jubeir sowan dulu ke AS; dan si Menlu juga secara terbuka mengakui bahwa “ada pejabat AS dan Inggris di ruang komando kami.”
Lalu, kenapa “ajaran Syiah” Iran yang dipandang sebagai akar masalah di Yaman? Bukankah Syiah di Iran juga beda aliran dengan Syiah di Yaman? Bukankah yang berjuang di Yaman terdiri dari berbagai faksi, ada yang Sunni, ada yang Syiah Zaidiyah?
Tuduhan bahwa Iran mengirim senjata ke Yaman sama sekali belum pernah terbukti. Lagi pula, Yaman diblokade sangat ketat oleh Saudi dkk, sehingga tidak mungkin senjata Iran masuk ke sana.
Lalu dari mana kelompok Ansharullah (pejuang Yaman; terdiri dari berbagai faksi, lintas mazhab) bisa punya senjata melawan Saudi dkk? Pertama, karena militer Yaman memang punya persenjataan lengkap (kan dibiayai terus oleh AS, selama era Ali Abdullah Saleh). Kedua, ilmuwan-ilmuwan Yaman mampu merakit sendiri persenjataannya. Dari aspek ini, Iran memang kasih bantuan berupa transfer teknologi. Secara diplomatik, Iran juga secara terbuka mendukung perjuangan bangsa Yaman melawan Saudi dkk.
Mengapa Iran dianggap salah karena membantu sebuah bangsa yang tertindas, yang dibombardir masif sejak 2015; mengapa Saudi dan UAE yang jelas-jelas membombardir Yaman sejak 2015 tidak disalahkan?
Kedua, siapa sih “ekstremis Yahudi terbesar” di balik Iran? Di Iran ada 8.000-an orang Yahudi (total populasi 81 juta), tapi jelas mereka bukan ekstremis (lha buktinya, mau saja hidup di bawah pemerintahan Islam, karena hak-hak mereka dilindungi). Yahudi ekstrem itu cuma 1, yaitu Zionis. Mereka menjustifikasi pembunuhan, perampasan, penjajahan terhadap bangsa Palestina atas landasan klaim kitab suci “tanah yang dijanjikan.” Kebijakan luar negeri Iran sangat anti-Zionis dan ini bukan sekedar klaim (banyak sekali bukti dan kajian akademik soal ini).
Ketiga, Iran mendukung Hizbullah, ya memang benar. Tapi, perlu diketahui bahwa Hizbullah berdiri tahun 1980-an di kawasan Lebanon Selatan (ini kawasan yang populasinya mayoritas Syiah), dengan tujuan untuk mengusir Israel yang menduduki tanah air mereka.
Tahun 2000, Hizbullah berhasil memenangkan perang dan mengusir Israel setelah 20 tahun bercokol di Lebanon. Kemenangan Hizbullah adalah kemenangan pertama pasukan Arab di hadapan Israel (sebelumnya, selalu Israel yang menang melawan Arab).
Apa mengusir penjajah itu salah? Apa membantu bangsa terjajah untuk mengusir penjajah adalah salah?
Israel sampai sekarang masih terus berusaha menginvasi Lebanon, makanya perbatasan Lebanon-Israel dijaga PBB; sehingga Hizbullah tetap beroperasi untuk menjaga tanah air mereka. Hizbullah ikut terlibat dalam perang melawan ISIS di Suriah. Kalau Hizbullah (bersama Iran dan Rusia) tidak membantu Suriah, saat ini khilafah ISIS masih digdaya di sana. Apa melawan ISIS itu salah?
Keempat, Iran membantu Hamas, benar. Tapi, itu dalam konteks membantu perjuangan Palestina melawan Israel. Hamas adalah Sunni. Jadi, fokus Iran adalah “melawan Israel” bukan “apa mazhabmu.” Bahwa Hamas punya ideologi IM, ya benar. Tapi orang IM di Palestina beda status dengan IM di negara-negara lain. Konteksnya jauh beda. Bangsa Palestina adalah bangsa terjajah, pejuang di sana muncul dari berbagai faksi, bahkan faksi komunis pun ada. Bangsa terjajah berhak berjuang melawan penjajahan.
Hamas punya dosa besar berkhianat pada Suriah (yang setia membantu perjuangan Palestina), tapi mereka sudah tobat (Hamas secara resmi sudah menyatakan akan fokus di perjuangan melawan Israel, tidak mencampuri lagi konflik Suriah).
IM di negara-negara lain, memang bermasalah. Kata-kata Syekh Yusri “IM menyuruh masyarakat untuk tidak patuh pada pemerintah mereka masing-masing” itu ada benarnya untuk banyak kasus (tapi harus ditelaah satu-satu ya). Misalnya, di Suriah, IM-lah yang angkat senjata melawan pemerintahan yang sah. Kalau IM di Indonesia? Cek-cek sendiri, mereka ngapain aja selama ini.
Akhirul kalam. Kalau sufisme berakar pada tazkiyah nafs (penyucian jiwa), agaknya kita juga perlu “sufisme geopolitik” yaitu membersihkan/meluruskan pemahaman geopolitik kita. Ingat, gagal paham geopolitik-lah yang menyebabkan banyak orang bergabung dalam gerakan terorisme; mereka salah paham siapa kawan siapa lawan; dan akhirnya menjadi alat adu domba di berbagai negeri. Demikian. Mohon maaf, nyuwun sewu. (*Pengamat Geopolitik Timur Tengah)