Oleh Lukman A Salendra
” Beri kami garam!” serunya dalam isyarat. Lantaran minder, mereka gegas ke hutan
tak berbekas. Cuma saung yang dibikinnya dari tiang-tiang dari reranting, atap dari dedaun kering dan ilalang itu pun bersaksi. Dalam air rawa belantara tersimpan jejak muka sedih.
Juru kisah berkata: dulunya Portugis yang kalah lari ke belantara, perahu dirusak hingga tiada jalan selain bentangan kesunyatan kesunyian.
“Telah kami bangun rumah-rumah untuk mereka. Telah kami paksa mereka mendiami.
Telah kami bawa anak-anaknya ke meja-meja agar pandai menulis dan membaca bahasa,” ujar si Pendekar Tampan.
Juru kasih berkata: jiwa kami telah lama menyatu. Kembalikan kami ke hutan Halmahera! Biarkan atap langit menatap kami. Daun dan kulit kayu lezat rasanya buat kehidupan.
Satu pinta kami, awas jangan tebang pohon jangkung perlindungan keluarga kami!
Pohon jangkung tiangnya langit kami! Hati-hati dengan anak panah kami!
“Beri kami garam saja! Agar tambah asin perjalanan kami. Biarlah doa arwah moyang kami jaga adat anggrek semerbak mewangi.”
Maba, 2017-2024