Search
Search
Close this search box.

Sumber Perbedaan Akhlak

Ilustrasi. (ibudanbalita)
Listen to this article

Oleh: Ibrahim Amini*

Di antara individu-individu manusia terdapat berbagai perbedaan sifat dan kondisi kejiwaan. Sebagian orang bersifat tergesa-gesa dan sebagian lagi cermat dan teliti, sebagian pemarah sebagian lagi penyabar, sebagian cekatan dan sebagian lagi pemalas, sebagian penakut dan sebagian lagi tidak punya rasa takut, sebagian dermawan dan sebagian lagi kikir, sebagian selalu berkata benar dan sebagian lagi pembohong, sebagian bersifat amanah dan sebagian lagi bersifat khianat, sebagian rendah hati dan sebagian lagi sombong, sebagian mau mendengarkan perkataan orang dan sebagian lagi keras kepala, sebagian pemberani dan sebagian lagi lemah, sebagian bersikap disiplin dan sebagian lagi tidak disiplin, sebagian percaya diri dan sebagian lagi tidak percaya diri, sebagian senang bergaul dan sebagian lagi senang menyendiri, sebagian banyak gerak dan sebagian lagi tenang, sebagian egois dan sebagian lagi suka berkorban, sebagian mempunyai sifat tegar dan sebagian lagi cepat menyerah, yang mana semua itu merupakan sifat-sifat yang dapat kita temukan pada individu-individu manusia.

Perbedaan-perbedaan akhlak (kondisi kejiwaan) ini juga dapat kita saksikan pada anak-anak dan bahkan pada bayi. Bahkan, pada individu-individu yang mempunyai sifat-sifat yang sama, biasanya mereka berbeda dalam intensitas sifat-sifat tersebut.

Advertisements

Sekarang, timbul pertanyaan, apa yang menjadi sumber perbedaan-perbedaan perilaku? Apakah semua perbedaan ini bersifat genetis, dalam arti bahwa seorang anak mewarisi semua sifat-sifat ini dari ayah ibunya atau dari kakek-kakeknya, dan kemudian secara perlahan-lahan sifat-sifat ini menampakkan dirinya? Atau sebaliknya, sebenarnya seluruh manusia pada awal penciptaannya sama dan yang menjadi sumber semua perbedaan kondisi kejiwaan (akhlak) adalah kondisi lingkungan dan pendidikan yang berbeda-beda? Atau kemungkinan yang ketiga, yaitu sebagian dari sifat-sifat tersebut telah tertanam pada tabiat manusia melalui jalan genetis sementara sebagian lainnya sebagai akibat dari faktor pendidikan dan lingkungan?

Khajah Nashiruddin Thusi menulis, “Mereka berbeda pendapat apakah akhlak masing-masing individu itu tabiat, artinya tidak dapat hilang, seperti panas pada api, atau bukan tabiat. Sekelompok orang berpendapat, sebagian akhlak bersifat tabiat dan sebagian lagi diakibatkan sebab-sebab lain. Di sisi lain, ada kelompok yang mengatakan bahwa seluruh akhlak itu tabiat dan tidak dapat hilang. Sementara sekelompok yang lain mengatakan, tidak ada satu pun akhlak yang tabiat atau bertentangan dengan tabiat, melainkan manusia diciptakan sedemikian rupa sehingga dapat menerima setiap akhlak, baik dengan mudah maupun susah. Akhlak yang sejalan dengan temperamennya maka dengan mudah dapat ia terima sementara yang tidak sejalan dengan temperamennya dengan susah ia terima. Adapun yang menjadi sebab sebuah akhlak menang atas tabiat sekelompok manusia, pada awalnya ia hanya berupa kehendak namun karena dilakukan secara terus menerus maka akhirnya menjadi sifat yang mendarah daging.”

Meskipun dalam redaksi di atas tidak ada penyebutan kata genetik atau turunan namun sebagai gantinya digunakan ungkapan “akhlak tabiat” yang mengandung arti yang sama.

Para ahli ilmu jiwa dan pakar genetik juga menyinggung masalah genetik dalam akhlak. Salah seorang dari mereka menulis, “Adapun teori genetik mengatakan, manusia adalah makhluk yang terlahir ke dunia ini dengan sifat-sifat dan potensi-potensi yang tetap dan tidak dapat berubah. Apa yang mereka mampu laksanakan pada masa hidupnya maupun yang tidak mampu mereka lakukan telah ditetapkan sebelumnya.”

Pakar lain menulis, “Sekarang ini sudah tidak diragukan bahwa hukum genetik tidak hanya berpengaruh pada pembentukan cikal bakal janin tetapi juga secara pasti berpengaruh pada kondisi kejiwaan janin yang akan lahir, dan anak-anak akan mewarisi kejiwaan dan sifat-sifat kedua orang tuanya, namun begitu lingkungan pun berpengaruh padanya.”

Pakar lain mengatakan, “Perkembangan sosial anak dapat dijelaskan dari dua sisi: turunan dan lingkungan. Dengan kata lain, sebab perbedaan masing-masing anak dari sisi perkembangan sosial bisa karena faktor genetik, seperti dalam temperamennya, atau karena faktor lingkungan, tempat anak-anak yang dilahirkan dalam keluarga akan berbeda dalam reaksi sosialnya dibandingkan anak-anak yang dilahirkan dalam keluarga miskin, demikian juga antara anak-anak yang dibesarkan di panti asuhan dengan anak-anak yang dibesarkan dalam pelukan orang tuanya.”

Aristoteles berkata, “orang-orang yang terlahir dari orang tua yang lebih baik akan menjadi orang-orang yang lebih baik, karena asal keluarga adalah keunggulan keluarga.”

Penjelasan tentang Pewarisan Akhlak

Sebagaimana yang Anda lihat, para ahli ilmu jiwa dan para ulama akhlak mengakui bahwa masalah genetik merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada perbedaan akhlak, namun hal ini masih perlu dibahas, dengan cara apa pewarisan di atas memberikan pengaruhnya? Apakah ini terjadi dengan perantaraan gen-gen? Dalam arti, gen-gen yang dengan perantaraan ayah dan ibu pindah ke anak membawa semua atau sebagian karakteristik akhlak yang terdapat pada diri mereka berdua atau kakek-kakek mereka?

Sampai sejauh ini yang saya ketahui masalah ini belum dibahas dalam buku-buku genetika, dan saya belum melihat ada seseorang yang mengetahui gen-gen pembawa karakteristik akhlak, namun ini tidak dapat meniadakan kemungkinan yang seperti ini. Meski demikian di dalam buku-buku psikologi, masalah pewarisan akhlak dapat dijelaskan melalui dua jalan:

Jalan pertama: pewarisan insting. Seorang ilmuwan menulis, “Setiap anak dilahirkan dengan membawa sejumlah insting, seperti insting takut, insting seksual, insting keibuan, insting taat, insting egois, rasa ingin tahu, ingin dikenal dan insting-insting lain yang sampai kepada mereka secara genetik. Masing-masing dari insting-insting ini ada yang lemah ada yang kuat, dan manakala sebuah insting bertemu dengan faktor-faktor lingkungan maka akan tercipta kondisi kejiwaan tertentu. Oleh karena itu, kondisi kejiwaan terbentuk dari dua faktor: Pertama, lingkungan yang terjadi sehari-hari dan kecenderungan-kecenderungan individu. Kedua, genetik yang dinamakan dengan insting.”

Oleh karena itu, ilmuwan ini meyakini bahwa pewarisan terjadi pada insting. Dalam arti, semua insting yang ada pada diri seorang anak, yang menjadi sumber dari akhlak dan sifat kejiwaannya ia warisi dari ayah ibunya dan kakek-kakeknya. Semua anak manusia—dalam kondisi normal—sama dalam dasar pewarisan insting-insting ini, namun menurut keyakinan ilmuwan ini insting-insting di atas, dalam kuat dan lemahnya, tidak sama pada setiap individu, dan inilah yang menjadi sumber semua perbedaan di antara individu-individu manusia. Lantas, muncul lagi pertanyaan yang sama, apa yang menjadi faktor perbedaan kuat dan lemahnya insting-insting ini? Apakah faktor genetik atau faktor-faktor lain?

Jalan kedua: perbedaan-perbedaan jasmani. Seorang ilmuwan menulis, “Perilaku buruk seorang anak di sekolah bisa bersumber dari ketidaknormalan kelenjar-kelenjar yang ada dalam tubuhnya atau dari lingkungan keluarga yang tidak mengajarkan perilaku-perilaku baik. Ketidakmampuan seorang anak dalam menangkap pelajaran bisa disebabkan karena kekurangan beberapa jenis vitamin dan nutrisi yang diperlukan atau karena tidak adanya motivasi yang cukup untuk belajar.”

Ilmuwan lain menulis, “Kerusakan sistem kerja kelenjar tiroid akan menyebabkan rangsangan pada saraf dan kejiwaan atau kelesuan dan kebodohan.”

Almarhum Khajah Nashiruddin Thusi menulis, “Sebagian anak mempunyai kesiapan menerima etika dengan mudah dan sebagian lainnya menerimanya dengan susah.”

Almarhum Mullah Muhammad Mahdi Naraqi mengatakan, “Watak manusia mempunyai pengaruh besar terhadap sifatnya. Sebagian watak dari sejak awal memiliki kesiapan menerima akhlak-akhlak tertentu sementara sebagian yang lain cenderung kepada kebalikannya. Kami yakin ada pribadi-pribadi yang memiliki watak mudah marah, mudah takut, mudah sedih atau mudah tertawa meski karena sebab-sebab kecil sekalipun, namun sebagian lagi sebaliknya. Namun terkadang disebabkan keseimbangan pada berbagai kekuatan yang ada dalam diri, kekuatan akal dan keutamaan-keutamaan akhlak telah sampai pada tahap kesempurnaan dan telah mampu mengalahkan kekuatan marah dan syahwat, sebagaimana yang terjadi pada para nabi dan para imam. Hal yang sebaliknya terjadi pada sebagian orang, di mana mereka telah keluar dari batas-batas keseimbangan, yaitu kekuatan akal mereka melemah, akhlak mereka buruk, dan kekuatan akal mereka dikalahkan oleh kekuatan syahwat mereka.”

Dari semua paparan di atas kita dapat menyaksikan para ilmuwan mengakui adanya faktor keturunan pada sifat dan kondisi kejiwaan seseorang, namun itu terjadi melalui karakteristik-karakteristik yang terdapat pada bangunan tubuh seseorang. Dari sisi bahwa faktor keturunan merupakan salah satu faktor terpenting dalam pembentukan dan penyusunan tubuh seorang anak para ilmuwan tidak ragu sedikit pun.

Alasan yang Diajukan

Klaim para ilmuwan di atas didasarkan kepada dua alasan: Alasan pertama: Bentuk tubuh, karakteristik saraf, karakteristik otak, karakteristik kelenjar, dan anggota-anggota utama badan mempunyai pengaruh terhadap bentuk akhlak dan kejiwaan seseorang.

Alasan kedua: Faktor keturunan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan berpengaruh pada bentuk dan susunan tubuh anak.

Dari alasan pertama dapat disimpulkan bahwa meskipun akhlak termasuk sifat dan karakteristik jiwa, dan jiwa merupakan sebuah maujud yang terbebas dari materi, namun keterkaitan jiwa dengan badan tidak dapat diingkari. Para peneliti filsafat Islam meyakini bahwa jiwa bukan sebuah hakikat abstrak yang tercipta lepas dari tubuh lalu bersatu dengan tubuh, melainkan jiwa adalah rupa spesifik tubuh yang dengan gerak substansial dan gerak kesempurnaan bertahap sampai ke tahapan abstrak dan melampaui batas materi (tajarud). Rupa spesifik (shurat nau`iyyah) terkait dengan materi dan bahkan menyatu baik sebelum maupun sesudah terbebas dari materi.

Pada tahapan ini jiwa manusia mempunyai dua dimensi atau dua peringkat wujud: satu sisi dia adalah sebuah hakikat yang lebih tinggi dan terlepas dari materi dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh materi, sementara dari sisi lain dia bersatu dengan badan dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaannya.

Di antara dua peringkat wujud ini terjadi hubungan yang sempurna. Peringkat wujud yang lebih tinggi berpengaruh kepada peringkat yang lebih rendah dan memanfaatkannya untuk pekerjaan-pekerjaannya. Manakala jiwa manusia memahami hal-hal yang bersifat universal maka premis-premisnya diperoleh melalui saraf dan otak dan dengan menggunakan indra.

Saling pengaruh mempengaruhi di antara jiwa dan badan sebagaimana yang dibuktikan dalam ilmu jiwa adalah sesuatu yang tidak dapat diingkari. Sebagai contoh, manakala seseorang sedang sangat emosi dan sedih, akan timbul reaksi-reaksi tertentu pada badan: nafsu makan menjadi berkurang dan begitu juga daya pencernaan tubuh menjadi melemah. Sebaliknya ketika seseorang sedang gembira—yang merupakan salah satu suasana kejiwaan—nafsu makannya menjadi bertambah dan alat pencernaannya dapat mencerna makanan dengan lebih cepat dan lebih baik. Atau, ketika seseorang sedang berpikir, yang merupakan pekerjaan jiwa, terjadi reaksi tertentu pada tubuh, yaitu lebih banyak membutuhkan makanan jenis tertentu.

Dari sisi lain, kesehatan berbagai organ tubuh mendatangkan ketenangan jiwa dan kemampuan lebih menghadapi berbagai ketidaknyamanan dan keteguhan dalam melakukan berbagai pekerjaan. Kesehatan badan dan saraf memberikan pengaruh dalam berpikir sehingga seseorang dapat berpikir dengan lebih baik dan lebih teliti. Sebagaimana disebutkan dalam ungkapan yang sangat terkenal “akal yang sehat terdapat dalam jiwa yang sehat”. Oleh karena itu, individu-individu yang tidak memiliki pancaindra dan saraf yang sehat, maka dalam sifat-sifat kejiwaan dan bahkan dalam cara berpikir pun mereka kacau.

Dengan demikian, bentuk saraf dan otak seseorang sangat berpengaruh terhadap bentuk sifat kejiwaan dan akhlaknya dan bahkan berpengaruh kepada cara berpikirnya. Ini merupakan alasan yang pertama.

Sementara dari alasan kedua dapat disimpulkan bahwa sebagaimana seorang anak dalam kebanyakan sifatnya, karakteristik badannya dan karakteristik anggota-anggota utama tubuhnya seperti saraf dan otak, paru-paru, lever, jantung, lambung, ginjal dan kelenjar-kelenjar dalam tubuh mewarisi dari kedua orang tuanya, begitu juga bentuk watak, kesehatan dan penyakit, kekuatan dan kelemahan fisik, dan bentuk organ-organ penting tubuh mewarisi dari ibu bapak atau salah seorang kakek yang bersangkutan. Para ilmuwan telah melakukan penelitian yang mendalam dalam masalah ini dan telah menyebutkan beberapa penyakit turunan.

Kesimpulan

Dengan diterimanya kedua alasan ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa bisa saja sebagian sifat ayah dan ibu berpindah kepada anak melalui faktor turunan. Artinya, bahwa sebagian sifat dan karakteristik ayah dan ibu merupakan akibat dari bentuk bangunan fisik mereka, dan bisa saja bentuk bangunan fisik mereka ini berpindah kepada anak mereka, sehingga dengan begitu sifat dan karakteristik mereka pun berpindah kepada anak mereka.

Akhlak (Perangai) Dapat Diubah

Dari berbagai penjelasan di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa perbedaan-perbedaan akhlak (perangai) yang dapat disaksikan pada anak-anak dapat terjadi disebabkan perbedaan watak tubuh mereka, yang perbedaan ini pun bersumber dari perbedaan watak tubuh ayah ibu mereka. Sebagian anak ada yang cepat marah sebagian lagi penyabar, sebagian tergesa-gesa dan sebagian lagi tenang, mungkin saja sifat ini sebagai akibat dari perbedaan bentuk bangunan fisik mereka.

Namun, ini bukan berarti bahwa sifat dan perangai tersebut tidak dapat diubah, karena watak tubuh tertentu tidak lebih hanya berfungsi memberi lahan untuk tumbuh dan berkembangnya sifat-sifat tersebut. Dalam arti, bahwa sebagian anak mempunyai watak dan saraf tertentu yang dengan mudah tersulut emosinya sehingga ia kehilangan kontrol atas dirinya. Dari sisi seberapa cepat tersulut emosinya, orang-orang yang seperti ini tidak berada pada tingkatan yang sama melainkan mempunyai tingkatan-tingkatan.

Demikian juga kemungkinan seberapa besar dapat diubah akhlak dan perangai mereka pun berbeda-beda, tergantung di tingkatan mana mereka berada, namun secara umum dapat dikatakan dapat diubah. Kalau pun pada beberapa kasus mengubah secara keseluruhan tidak dapat dilakukan namun setidaknya dapat dikurangi, dan seorang pendidik tidak boleh putus asa.

Para pendidik harus mengenal secara baik anak-anak yang hendak dididik, dan benar-benar memperhatikan berbagai potensi watak dan perangai masing-masing mereka, kemudian bersungguh-sungguh dalam mendidik dan memperbaiki akhlak dan perangai mereka.

Oleh karena dari sisi potensi watak dan perangai masing-masing anak berbeda-beda maka jalan yang harus ditempuh untuk memperbaikinya pun berbeda-beda. Seorang pendidik tidak boleh mempunyai anggapan semua anak sama dalam kemampuan menerima perbaikan. Potensi watak sebagian anak berkaitan dengan beberapa perangai sedemikian kuatnya sehingga untuk mengubah dan meluruskannya diperlukan pengetahuan yang cukup, kesabaran dan kesungguhan. Bahkan terkadang sangat diperlukan berkonsultasi kepada seorang psikiater atau pun dokter ahli saraf. (*Tokoh Pendidikan Islam)

Sumber: Buku Ayatullah Ibrahim Amini berjudul Agar Tidak Salah Mendidik Anak

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA