Oleh: Prof. Nurcholish Madjid
Apa yang dialami umat manusia 5.000 tahun yang lalu diulang lagi sejak dua abad terakhir ini, meski dengan tingkat intensitas dan ukuran yang jauh lebih hebat. Laju perkembangan peradaban umat manusia berkat “Sumerisme” sedemikian tingginya, sehingga sesuatu yang sebelumnya terselesaikan dalam hitungan waktu ribuan tahun kini dapat rampung hanya dalam ratusan tahun.
Jauh lebih tinggi adalah laju perkembangan peradaban manusia setelah timbulnya Abad Modern: apa yang dulu memerlukan ribuan tahun untuk diselesaikan, sekarang dapat tuntas hanya dalam jangka waktu puluhan atau malah ratusan tahun.
Dengan kata lain, Abad Agraria dari Sumeria itu mempercepat perkembangan peradaban umat manusia secara deret hitung, sedangkan Abad Modern ini melecutnya secara deret ukur.
Karena itu, amat logis bahwa krisis umat manusia secara keseluruhan akibat Abad Modern ini jauh lebih berlipat ganda daripada gejolak akibat timbulnya pola kehidupan baru dari Sumeria dalam bentuk peradaban kota berdasarkan keagrarian 5000 tahun yang lalu.
Para peninjau yang westernistik mengira bahwa Abad Modern dan teknikalismenya itu merupakan sesuatu yang secara istimewa hanya bisa lahir di Barat, yakni Eropa, dan dengan nada simplistik kemudian mereka menariknya ke belakang sampai ke peradaban Yunani dan Romawi kuno (“Graeco Roman Civilizations”). Lebih tidak benar lagi ialah pandangan bahwa Modernisme merupakan “genius” peradaban Yahudi-Kristen (“Judeo Christian Civilizations”).
Seperti halnya Abad Agraria yang dimulai oleh bangsa Sumeria yang tidak mungkin ada tanpa lebih dahulu terdapat kebudayaan pertanian (tanpa kota) pada kelompok-kelompok manusia di Mesopotamia dan sekitarnya, tinjauan dengan menggunakan wawasan sejarah kemanusiaan sejagat, seperti dilakukan oleh Hodgson, membuktikan bahwa Abad Modern ini, sekalipun sangat radikal, masih merupakan kelanjutan wajar perkembangan peradaban dunia seluruhnya.
Karena itu Modernisme, jika toh tidak timbul di suatu tempat tertentu seperti di Eropa Barat Laut, tentu akan timbul di tempat lain. Seandainya tidak timbul di Eropa Barat Laut seperti telah terjadi, Abad Modern itu diperkirakan sangat mungkin muncul setidaknya di dua tempat lain, yaitu Cina (di bawah Dinasti Sun yang menemukan kompas dan mesiu serta melancarkan program industrialisasi pertanian) dan negeri-negeri Islam, yang memiliki kesiapan intelektual paling tinggi.
Lebih-lebih berkenaan dengan Dâr Al-Islâm, Abad Modern dapat dengan mantap dipandang sebagai kelanjutan langsungnya, terutama dilihat dari segi pola kehidupan sosial-ekonominya sebagai masyarakat berkota (citied society).
Tetapi, karena watak dasar dan dinamikanya, Abad Modern ini, sekali dimulai di suatu tempat, tak mungkin lagi bagi tempat lain untuk juga memulainya dari titik tolak kosong. Pertanyaan mengapa Abad Modern tidak timbul dari lingkungan negeri-negeri Muslim (atau Cina) melainkan di Eropa Barat Laut, memang merupakan suatu pertanyaan besar.
Hodgson menduga bahwa masyarakat Islam gagal memelopori kemodernan karena tiga hal: konsentrasi yang kelewat besar terhadap penanaman modal harta dan manusia pada bidang-bidang tertentu, sehingga pengalihannya kepada bidang lain merupakan suatu kesulitan luar biasa; kerusakan hebat, baik material maupun mental-psikologis, akibat serbuan biadab bangsa Mongol; kecemerlangan peradaban Islam sebagai suatu bentuk puncak Abad Agraria membuat kaum Muslim tidak pernah secara mendesak merasa perlu kepada suatu peningkatan lebih tinggi. Dengan kata lain, dunia Islam berhenti berkembang karena kejenuhan dan kemantapan kepada dirinya sendiri.
Ketika disadari secara amat terlambat bahwa bangsa lain, yakni Eropa, benar-benar lebih unggul dari mereka, bangsa-bangsa Muslim itu terperanjat luar biasa dalam sikap tak percaya. Tidak ada gambaran yang lebih dramatis tentang psikologi umat Islam itu seperti keterkejutan mereka ketika Napoleon datang ke Mesir dan menaklukkan bangsa Muslim itu dengan amat mudah.
Abad Modern merupakan perkembangan lebih lanjut masyarakat berkota negeri-negeri Islam. Ironisnya, kaum Muslim pulalah yang paling parah menderita menghadapinya. Ini bisa diterangkan paling tidak oleh adanya tiga hal: pertama bersifat psikologis, yaitu sebagai kelompok manusia paling unggul selama ini, kaum Muslim tidak mempunyai kesiapan mental sama sekali untuk menerima kenyataan bahwa bangsa lain non-Muslim bisa lebih maju dari mereka.
Kedua, sejarah interaksi bermusuhan yang lama antara dunia Islam dengan dunia Kristen (orang-orang Eropa tetap menyimpan dendam atas penaklukan Spanyol di barat dan negeri-negeri Balkan di timur oleh kaum Muslim, begitu juga Perang Salib yang berkepanjangan dan berakhir dengan kekalahan tentara Kristen); dan ketiga, letak geografis dunia Islam yang berdampingan serta bersambungan dengan Eropa, yang memperbesar arti hal kedua tadi.
Penderitaan dunia Islam menghadapi Abad Mo-dern memuncak ketika secara tak terelakkan, seperti orang-orang Sumeria dulu, bangsa-bangsa Eropa mendapati diri mereka mampu dengan gampang sekali mengalahkan bangsa-bangsa lain, khususnya umat Islam yang selama ini dikagumi dan ditakuti namun juga dibenci.
Bangsa-bangsa Eropa Barat itu, seperti bangsa Sumeria 5.000 tahun yang lalu, menggunakan keunggulan peradaban baru mereka untuk melancarkan politik imperialisme dan kolonialisme, di mana negeri-negeri Muslim secara sangat wajar menjadi sasaran utamanya.
Dalam keadaan terkejut dan tak berdaya, kaum Muslim di seluruh dunia memberi reaksi yang beraneka ragam kepada gelombang serbuan kultural dari Barat itu.
Pertanyaan yang terberat pada para penganut agama Islam ialah, bagaimana mungkin umat Islam yang merupakan para pemeluk kebenaran Ilahi yang final bisa terkalahkan oleh kelompok lain? Apakah Tuhan tidak lagi berpihak kepada hamba-hamba-Nya yang saleh? Jika masih berpihak, lalu apa yang sebenarnya terjadi pada umat sehingga berdosa dan dihukum dengan kekalahan dan kehinaan?
Apakah ada yang salah pada umat dalam memahami dan mengamalkan agamanya itu? Jika ada, di mana letak kesalahannya, dan bagaimana memperbaikinya (pertanyaan serupa juga pernah muncul ketika terjadi serbuan bangsa Mongol, tapi tak seprinsipil menghadapi Barat sekarang). (*)
Sumber: Ensiklopedi Nurcholish Madjid Jilid I