BERITAALTERNATIF.COM – Bocah-bocah itu bergelantungan di belakang mobil yang berjalan lambat di sebuah jalanan kota Aleppo. Mereka tertawa-tawa dan berseru, “Baba Noel… Baba Noel..!” Penumpang mobil yang merekam adegan itu ikut tertawa dan menyuruh anak-anak itu melepaskan pegangan tangan mereka dari mobil. Anak-anak itu patuh. Masih dengan wajah berseri-seri, mereka melambaikan tangan.
Sudah sangat lama tawa ceria tak terdengar di Aleppo. Sebelum ini, Aleppo di bulan Desember selalu membawa keceriaan. Seperti di kawasan dunia lainnya, Desember juga berarti perayaan Natal bagi ummat Kristiani yang tinggal di Aleppo. Gereja-gereja mempercantik diri. Anak-anak muda mereka mengenakan pakaian sinterklas dan berkeliling kota sambil membagikan hadiah kepada anak-anak Muslim kota itu. Maka, bulan Desember bagi anak-anak Aleppo berarti waktu untuk berburu hadiah.
Empat tahun terakhir ini, angin dingin yang menusuk sumsum di bulan Desember hanya menambah muram suasana kota. Deru mesiu dan bau amis darah telah melenyapkan semua keceriaan. Kota Aleppo sudah lama seperti kota mati.
Maka, ketika di hari Natal tahun 2016 lalu ada orang yang muncul menaiki mobil sambil mengenakan pakaian sinterklas, ingatan bocah Aleppo melayang ke masa-masa beberapa tahun sebelumnya. Anak-anak pun berhamburan menyambut Sang Baba Noel (Bapak Natal), meneriakkan kegembiraan dan harapan.
Orang yang mengenakan pakaian Sinterklas itu bernama Pierre Le Corf. Le Corf adalah seorang pemuda Perancis (27) yang selama hampir setahun terakhir berada di Aleppo. Pada hari Natal kemarin dia berkeliling ke beberapa kawasan di Aleppo timur yang baru saja lepas dari penguasaan Al Nusra alias Al Qaida dan puluhan milisi lainnya. Dengan menggunakan baju Sinterklas, dia membagikan hadiah kepada anak-anak Aleppo. Foto-foto yang diunggah jurnalis independen, Vanessa Beeley, memperlihatkan ekspresi senang, sekaligus mengharukan, anak-anak itu saat menatap Sang Baba Noel.
Le Corf menggagas misi kemanusiaan “We Are Superheroes” yang mengumpulkan cerita orang-orang dari berbagai negara. Seperti ditulis di website resminya, “Semua orang memiliki sebuah cerita dan kita bisa belajar banyak satu sama lain.” Sudah sangat banyak negara yang dikunjungi Le Corf, dengan biaya pribadi dan sumbangan dari pembaca situsnya. Namun sepertinya, Aleppo-lah yang menguras emosinya. Di Aleppo, ia tinggal bersama sebuah keluarga Suriah di sebuah apartemen yang berlubang akibat tembakan petempur Al Nusra. Sehari-hari, Le Corf berkeliling mengunjungi keluarga-keluarga di Aleppo. Ia berjalan sambil sesekali berlari menghindari sniper. Ia mendengar dan mencatat kisah warga Aleppo, sambil menyerahkan kotak P3K dan mengajari mereka teknik pertolongan pertama jika sewaktu-waktu mereka kena tembakan atau ledakan bom.
Le Corf kerap mengunggah tulisan dan foto-foto bocah-bocah Aleppo di Facebook. Akibat tulisannya itu, ia mendapatkan banyak tekanan dan dituduh sebagai antek Assad atau orang bayaran Moskow. Pasalnya, cerita-cerita yang ditampilkannya mengguncang narasi yang disebarluaskan berbagai media arus utama bahwa warga sipil menjadi korban pembantaian Assad dan untuk itu dunia harus segera menggulingkannya. Cerita-cerita Le Corf justru memperlihatkan betapa orang-orang Aleppo menjadi sengsara setelah Al Qaida mengambil alih kota itu. Anak-anak dan orang tua menjadi cacat, bahkan tewas, akibat bom yang diledakkan oleh Al Qaida, bukan oleh gempuran rezim.
Kepada mereka yang mengintimidasinya, Le Corf menulis, “Siapa yang berada di posisi terbaik untuk memberitahu Anda apa yang terjadi di Suriah: warga Suriah, atau media yang belum pernah menempatkan orangnya di sini dan dengan penuh pengabaian, mereka justru menyuarakan [versi cerita] para teroris?”
Cerita versi para teroris (atau ‘pemberontak moderat’, menurut media massa arus utama) nyatanya memang lebih banyak disuarakan. Untuk liputan mengenai Aleppo timur yang selama empat tahun dikuasai Al Nusra, media arus utama banyak mengutip aktivis dan relawan yang berpihak kepada organisasi teror tersebut. Tak kurang dari media sekelas BBC, CNN, dan Aljazeera menjadikan beberapa selebriti media sosial seperti Lina Shamy, Bana Alabed, Mr. Alhamdo, atau Bilal Abdul Kareem sebagai narasumber berita, yang dari jejak digitalnya diketahui terkait dengan Al Nusra.
Perang Suriah memiliki keunikan dibandingkan dengan perang-perang lain sepanjang sejarah, yaitu penggunaan media online yang sangat masif. Foto-foto dan video disebarluaskan dengan tujuan menginformasikan kepada dunia bahwa rakyat Suriah tertindas oleh rezim Assad dan Rusia. Foto dan video itu memunculkan histeria massal, seruan Save Aleppo menggema di mana-mana. Acara-acara penggalangan dana dengan sigap dilakukan sejumlah ormas dengan mengumbar isu sektarian dan kebencian, agar orang semakin termotivasi merogoh kocek semakin dalam.
Namun, media online juga menyediakan ruang untuk perlawanan. Orang-orang seperti Le Corf menyuarakan jeritan warga biasa Suriah, sedangkan banyak netizen dari berbagai negara dunia aktif melacak berbagai foto, video, dan informasi hoax yang tersebar. Misalnya foto korban Aleppo yang disebar oleh akun Reem Medhhat, yang punya 133.000 follower, dalam waktu singkat dibantah oleh netizen karena foto itu ternyata korban kejahatan Israel di Gaza. Foto korban Aleppo yang diunggah oleh akun Dima Sadek yang punya 123.000 follower, ternyata adalah foto pengeboman di Pakistan.
Jati diri ‘seleb medsos Aleppo’ pun dengan cepat terbongkar. Bana Alabed, bocah berusia 7 tahun, yang aktif bercuit menyebut ada genosida di Aleppo, sehingga membuat JK Rowling pun terenyuh dan mengirimkan buku Harry Potter untuknya, ternyata anak teroris. Di akun Facebooknya, ibu Bana memasang foto perempuan bercadar yang memegang senapan; ayah Bana berpose bersama pasukan Al Qaida sambil memegang senjata. Bana pernah berpose akrab bersama seorang laki-laki, yang kemudian bisa dilacak bahwa orang ini punya kaitan dengan Nouruddin Al Zinki, tokoh Al Qaida legendaris yang di depan kamera menyembelih bocah Palestina di belakang sebuah mobil pick-up sambil bertakbir.
Di tengah gempuran informasi dari media arus utama yang memberi ruang besar kepada narasi Al Qaida, perlawanan ala Le Corf memberi harapan bahwa kebenaran pasti akan menemukan jalannya dan bocah-bocah Aleppo bisa kembali hidup tenang seperti di masa sebelum perang; menyaksikan Baba Noel yang berbagi hadiah dan kehangatan di tengah keceriaan turunnya salju harapan. (Sumber: Salju di Aleppo karya Dina Sulaeman)