BERITAALTERNATIF.COM – Pada akhirnya, saya harus bicara tentang negeri tercinta kita, Indonesia. Apa pun yang saya tuliskan tentang Suriah, dan tentang negeri-negeri lainnya yang berada nun jauh di sana, akan terasa absurd jika tak ada hubungannya dengan situasi di Indonesia, dan masa depan negeri ini; masa depan anak bangsa ini.
Selama lima tahun menulis tentang Suriah ini, saya selalu mencoba menghubungkan apa pun yang saya tulis itu dengan Indonesia. Saya menulis tentang penyebaran hoaks yang kelihatannya makin dianggap sebagai hal yang jamak. Saya juga menulis tentang kesalahan-kesalahan berpikir, ataupun kesalahan data yang makin dianggap biasa oleh anak bangsa.
Sebagian tulisan yang saya buat itu merupakan tanggapan. Ada tanggapan terhadap artikel, pernyataan, hingga status di Facebook. Berikut ini adalah beberapa tulisan tanggapan tersebut.
Suriah di Republika
Pemberitaan harian Republika online terlihat plin-plan. Terkadang pro-narasi ‘mujahidin’ (bahwa Suriah adalah konflik Sunni-Syiah dan Assad adalah diktator Syiah yang harus digulingkan). Namun terkadang juga memberikan pengimbangan berita (misalnya, memuat wawancara dengan Duta Besar Indonesia untuk Suriah, Djoko Harjanto, yang benar-benar mematahkan narasi mainstream itu).
Namun, ada sebuah artikel di Republika yang tak pernah bisa saya lupakan karena judulnya yang ekstrem, “Apakah Musuh itu Hanya Zionis Israel?” Artikel itu dimuat pada tanggal 11 Februari 2013, di kolom Resonansi. Penulisnya adalah seorang jurnalis senior dan mantan pemimpin redaksi di harian besar di Indonesia itu, bernama Ikhwanul Kiram Mashuri.
Ia memulai tulisannya dengan menceritakan seorang anak bernama Hamzah Al Khatib (13) yang mengikuti rapat anti-pemerintah di Daraa, lalu dibunuh tentara Assad. Berikut ini kutipan bagian-bagian yang saya soroti.
“Beberapa hari kemudian, keluarga Hamzah mengirimkan foto-foto dan gambar video bocah yang mati mengenaskan itu ke sejumlah jurnalis dan aktivis. Yang terakhir ini kemudian mengunggahnya ke internet”.
“Minimnya kepedulian dunia pada nasib Hamzah boleh jadi karena peristiwa mengenaskan seperti itu sudah dianggap lumrah di Suriah. Hampir setiap hari puluhan atau bahkan ratusan anak tewas terkena peluru militer rezim Assad. Menurut catatan media Al Sharq Al Awsat, anak-anak yang meninggal dunia terkena peluru tentara sejak Suriah yang bergejolak, Januari 2011 hingga kini, berjumlah 4.678. Perinciannya, 70 persen anak laki-laki dan 30 persen perempuan. Ini belum termasuk mereka yang terluka dan cacat yang jumlahnya lebih besar lagi”.
“Bahkan, para pemimpin negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKSI) yang baru bersidang di Kairo hanya sebatas mengecam kebrutalan sang penguasa di Suriah itu. Tidak ada tindakan konkret, misalnya, dengan mengirim pasukan untuk menghentikan kebiadaban rezim Assad. Negara-negara Barat setali tiga uang”.
“Yang mengherankan justru sikap masyarakat internasional, termasuk rakyat Indonesia. Tidak seperti serangan Zionis Israel ke Palestina atau kekerasan yang dilakukan negara Burma terhadap suku Rohingya yang segera direspons dengan aksi demonstrasi dan pengumpulan bantuan oleh lapisan masyarakat, kekerasan terhadap rakyat Suriah dihadapi dengan adem ayem saja. Seolah yang dianggap musuh bebuyutan itu hanya Zionis Israel saja”.
Seperti sudah saya ungkapkan di bab-bab sebelumnya, propaganda soal Suriah sejak awal selalu menggunakan sumber sepihak yang belum terverifikasi (dan cara ini, sekali lagi, dikritik oleh Robert Fisk, ‘suhu’ jurnalis dunia). Perhatikan bahwa penulis artikel Republika juga mengakui bahwa sumber berita soal Al Khatib adalah keluarganya, yang memberikan informasi itu kepada ‘aktivis’, dan mereka mengunggahnya di internet.
Bagaimana mungkin seorang jurnalis senior sampai tidak tahu bahwa perang Suriah sangat diwarnai perang propaganda dan bahkan disebut-sebut sebagai “A Photoshoped Revolution” karena saking banyaknya rekayasa informasi foto yang diunggah melalui internet untuk memprovokasi opini publik? Berkali-kali pihak oposisi mengunggah foto berdarah-darah di internet dan menyebutnya sebagai ‘korban Assad’.
Lalu, biasanya para blogger-lah (sayang sekali, mengapa bukan para jurnalis yang melakukannya?) yang berjasa menemukan bukti bahwa foto-foto itu mengabadikan kejadian berdarah di negara lain. Bahkan kantor berita sekelas BBC ketahuan menggunakan foto korban perang Irak dan menyebutnya itu korban pembantaian tentara Assad.
Kaum oposisi Suriah pun membuat sangat banyak rekaman video amatir lalu diunggah di internet. Video dari pihak oposisi ini dengan sangat cepat disebarluaskan ke seluruh dunia, bahkan di-relay dan disiarkan ulang oleh media massa mainstream.
Video-video itu terbagi ke dalam beberapa jenis: pembantaian sadis yang disebut sebagai korban kebrutalan Assad, pembantaian sadis yang diiringi takbir (dilakukan oleh pasukan oposisi), dan video berisi propaganda religius, yang sepertinya dibuat untuk membangkitkan semangat jihad Islam.
Video seperti ini biasanya memperlihatkan para pemberontak sedang menembakkan senjata dengan diiringi takbir, tayangan para pemberontak sedang salat berjamaah, atau demo sejumlah massa yang menginginkan khilafah di Suriah.
Penulis menyodorkan video berisi foto Hamzah Al Khatib yang (konon) disiksa dan dibunuh oleh tentara Assad, tanpa memberi bukti apakah secara jurnalistik foto itu sudah terverifikasi.
Sebagai jurnalis, penulis seharusnya sangat banyak membaca, sehingga memahami betapa seringnya propaganda palsu terjadi di seputar konflik Suriah. Misalnya, Tragedi di Houla Mei 2012, yang sedemikian brutalnya sampai-sampai Kofi Annan menyebut situasi di Suriah saat itu sebagai ‘tipping point’ (titik balik).
Tanpa menunggu investigasi PBB, hanya berdasarkan laporan telepon dari aktivis oposisi, media mainstream menyebut bahwa telah terjadi pembantaian di Houla oleh tentara Assad, dengan cara dibombardir senjata berat.
Tim investigasi PBB datang keesokan paginya dan menemukan bukti yang sangat jelas bahwa pembantaian itu dilakukan dengan cara-cara nonmiliter: ditusuk, digorok, dan ditembak jarak dekat. Juga tidak ada bukti kehadiran tentara Suriah di sana.
Laporan Associated Press (AP) terkait Tragedi Houla adalah dengan melakukan wawancara pada Ali Al Seyyed, bocah 11 tahun. Wawancara itu dilakukan jarak jauh melalui internet (Skype) dan Ali dihadirkan oleh aktivis oposisi.
AP berterus-terang mengakui ‘sulit untuk memverifikasi cerita Ali secara independen’, tetapi, dalam laporannya itu AP tetap menyebut rezim Assad sebagai pelaku. Modus ini selalu dipakai media massa mainstream, meski mencantumkan frasa kesaksian ini tidak bisa kami verifikasi secara independen, sambil tetap menjatuhkan tuduhan kepada tentara Suriah. Seorang jurnalis yang jujur dan independen pastilah akan kritis dalam membaca laporan seperti ini.
Yang menggelikan, penulis bahkan membawa-bawa Taliban dalam tulisannya. Dia menyayangkan, mengapa ketika Taliban membunuh Malala Yousafzai reaksi dunia sangat keras, sementara untuk korban Suriah, dunia internasional bereaksi biasa-biasa saja. Ada dua hal yang ingin saya komentari dari pernyataannya ini.
Pertama, terkait Taliban dan Al Qaeda. Bukankah sebenarnya pelaku teror di Suriah adalah milisi-milisi yang terafiliasi dengan Al Qaeda? Bagaimana mungkin sang penulis tidak membaca laporan-laporan dari berbagai media mainstream yang menyebutkan bahwa pasukan jihad dari Libya (Al Qaida Libya) dan berbagai negara Arab datang ke Suriah? Bahkan Mustafa Al Sheikh (Ketua Dewan Tinggi Militer FSA) saat diwawancarai Mona Mahmoud (The Guardian, 2012) mengakui hal ini, “Al Qaeda saat ini ada di berbagai penjuru Suriah.”
Dan seorang jurnalis yang cerdas seharusnya akan dibuat heran oleh situasi ini: bagaimana mungkin AS yang di Afghanistan memburu Al Qaeda dan Taliban, tetapi di Suriah malah mendukung dan memfasilitasi kehadiran mereka? Bukankah laporan-laporan bahwa CIA terlibat dalam pengiriman senjata dan pasukan jihad dari Libya dan negara-negara Arab sudah banyak diungkapkan oleh berbagai media? Apalagi, bukankah Republika juga merilis berita bahwa Israel pun kini sudah mulai terjun ke medan perang di Suriah? Tidakkah fakta ini membuat sang penulis curiga: ada kelompok yang berjihad Islam, tapi kok malah didukung Barat dan Israel?
Bila ingin menulis sesuai kaidah ilmiah, seharusnya sang penulis menggali lebih dalam, tidak hanya membaca Syarq Al Awsat, tetapi mau membaca laporan-laporan PBB.
Menarik untuk dicermati bahwa Sekjen PBB dalam suratnya kepada Dewan Keamanan (Mei 2012) menyebutkan dengan tegas bahwa sangat banyak aksi teror yang dilakukan milisi bersenjata yang menimpa warga sipil, tentara, dan termasuk anggota misi PBB sendiri (UNSMIS).
“Ada peningkatan jumlah pengeboman, yang paling banyak di Damaskus, Hama, Aleppo, Idlib, dan Deir El Zor. Ini termasuk pengeboman ganda di Damaskus pada 10 Mei 2012, ketika dua kendaraan yang membawa bom rakitan yang diperkirakan beratnya masing-masing 1.000 kilogram, diledakkan di dekat gedung pemerintah”.
“Ukuran bom ini menunjukkan bahwa bom ini dirakit oleh ahli tingkat tinggi, yang bisa mengindikasikan keterlibatan kelompok teroris yang mapan (established terrorist groups). Pemerintah telah menegaskan adanya kelompok-kelompok seperti ini di dalam negeri, demikian pula dinyatakan oleh beberapa kelompok oposisi. Front Al-Nusra telah mengklaim bertanggung jawab atas minimalnya enam pengeboman terakhir.”
Pada Desember 2012, ketika kebrutalan aksi teror milisi Al Nusra sudah tidak bisa lagi ditutupi, AS melakukan cuci tangan dan menyatakan ‘kiriman senjata untuk pihak oposisi ternyata jatuh ke pihak yang salah’, lalu menyebut Al Nusra adalah bagian dari Al Qaeda dan menaruhnya ke dalam daftar organisasi teroris internasional.
Kedua, terkait reaksi internasional. Sang penulis, yang adalah jurnalis senior, seharusnya sudah tahu betapa sangat kerasnya reaksi dunia internasional terhadap Suriah. Karakter Assad sudah habis-habisan dihancurkan oleh media-media mainstream dan media lokal yang merujuknya (antara lain, Republika sendiri).
Kalimat sang penulis, “Tidak ada tindakan konkret, misalnya, dengan mengirim pasukan untuk menghentikan kebiadaban rezim Assad” menunjukkan dukungannya pada Humanitarian Intervention sebagaimana yang dilakukan NATO dalam menggulingkan Qaddafi.
Lalu, apa yang terjadi setelah pasukan asing masuk ke Libya? Apakah Libya kini aman dan makmur? Tidak. Libya, yang dulu negara makmur tanpa utang, pendidikan, dan kesehatan gratis, kini menjadi negara yang hancur lebur akibat bombardir NATO. Pemerintah baru Libya menyerah pada jeratan utang kepada lembaga-lembaga keuangan internasional dan rekonstruksinya diserahkan kepada perusahaan-perusahaan Barat.
Seandainya sang penulis pernah membaca buku John Perkins, dia akan melihat polanya dengan sangat jelas: perangi sebuah negara yang independen (setidak-tidaknya, ‘sulit diatur Barat’) dengan kedok Humanitarian Intervention. Lalu, setelah negara itu hancur, sodori utang, dan rampaslah minyak dan emasnya.
Dan bila dilacak ke belakang: siapa pemilik kontraktor-kontraktor AS, pemilik perusahaan-perusahaan senjata, pemilik saham dari lembaga keuangan yang bagi-bagi hutang itu; yang semuanya mengeruk keuntungan dari perang? Tak lain adalah orang-orang Zionis. Ini bukan teori konspirasi. Segalanya sangat jelas dan terang-benderang. Hanya dibutuhkan kejelian membaca data yang berserakan di internet.
Jadi, sungguh aneh, sangat aneh, pertanyaan yang diajukan sang penulis, “Apakah Musuh itu Hanya Zionis Israel”? (Sumber: Dina Sulaeman dalam buku Salju di Aleppo)