Search
Search
Close this search box.

“Kambing Hitam” dalam Perang Suriah

MOSCOW, RUSSIA- JANUARY 25: Syrian President Bashar Assad and his wife Asma Assad are seen during a visit to Moscow's State Institute for Foreign Relations on January 25, 2005. Assad was awarded with a honorary doctorate. (Photo by Salah Malkawi/ Getty Images) *** Local Caption *** Bashar Assad;Asma Assad
Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – Ada apa dengan Syiah? Mengapa kelompok takfiri sedemikian bencinya kepada Syiah sehingga beramai-ramai ‘berjihad’ ke Suriah dengan niat ‘menggulingkan rezim Syiah Assad’?

Bahkan, yang menulis pengimbangan informasi tentang Suriah di media sosial pun mereka intimidasi dengan cara-cara yang amat kasar (character assasination). Saya pun pernah mengalaminya.

Misalnya, ada seorang dosen jurnalistik di sebuah universitas negeri yang menulis di Facebook, menyebut saya Syiah, sesat, dan pembohong sehingga tulisan-tulisan saya soal Suriah tak bisa dipercaya.

Advertisements

Ia sepertinya tak paham kaidah jurnalisme yang benar sehingga tulisan-tulisannya tentang Suriah sangat berpihak pada Al Qaeda  (alias ‘mujahidin’). Dan kalau ada yang membantahnya, yang bisa dia katakan cuma Syiah, Syiah, Syiah.

Padahal, jurnalis yang sangat terkemuka, Robert Fisk, sudah mengakui pada Desember 2016 bahwa cara media Barat dalam menyajikan berita tentang Aleppo menyalahi kaidah jurnalisme karena hanya berdasarkan info dari media sosial dan menyajikan satu sisi cerita, sementara tidak ada satu pun jurnalis media Barat yang mengorfimasi langsung cerita tersebut. Ia bahkan mengakui bahwa media massa Barat telah membohongi publik selama bertahun-tahun.

Mengapa Syiah sedemikian menjadi kambing hitam dalam konflik Suriah? Untuk sisi politiknya, sebagian sudah saya jawab dalam tulisan Ikhwanul Muslimin di Suriah.

Untuk sisi teologis, biasanya yang dijadikan alasan adalah: Syiah memiliki syahadat yang berbeda, Syiah melaknat Ummul Mukminin Aisyah ra dan para sahabat mulia Rasulullah, Syiah memiliki Alquran yang berbeda, Syiah menyembah Ali, para Imam Syiah bebas menikahi anak perempuan jamaahnya, dan segala hal perilaku menjijikkan lainnya yang ditempelkan pada Syiah.

Jawaban teologis sudah banyak disampaikan oleh orang-orang yang memiliki keilmuan di bidang ini. Jawaban logis pun sebenarnya bisa dipikir dengan mudah, misalnya, tuduhan tentang Alquran yang berbeda.

Bisa di-googling, hafiz Quran asal Iran sering menang dalam berbagai lomba internasional dan jurinya berasal dari mazhab Sunni. Apakah logis menyangka bahwa mereka menghafal dua Quran yang berbeda? Lalu, apa kita mau mendustakan ayat Allah yang menjamin keotentikan Quran sampai akhir zaman?

Lalu tuduhan tentang para Imam Syiah menista perempuan, juga bisa dipikir dengan logika. Bila benar demikian, tentunya bangsa Iran (negara mayoritas Syiah) sangat rendah kualitas hidupnya.

Namun rangking Human Development Index di Iran bahkan lebih bagus daripada Indonesia; indeks tersebut juga mencakup Gender Empowerment Measures. Bisa dicek datanya di website UNDP.

Terkait Inggris dan Syiah, ada hal yang menarik. Negerinya Ratu Elizabeth ini konsisten memberikan suaka dan perlindungan kepada tokoh-tokoh Muslim yang jadi “pengacau”. Misalnya, Salman Rushdie yang bikin buku menghina Nabi Muhammad, sampai hari ini mendapat perlindungan keamanan dari pemerintah Inggris. Inggris juga melindungi tokoh yang sering dijadikan rujukan untuk membuktikan “kekafiran Syiah”, namanya Yasir Habib (YH).

YH tinggal di London, punya stasiun televisi, media cetak, website, dan madrasah. YH aktif tampil di televisi dan rekamannya banyak diunggah di media sosial, yang isinya persis seperti yang dituduhkan sebagian orang tentang Syiah. Misalnya, ada siaran di mana ia membimbing seseorang yang konon mau ‘masuk’ Syiah, lalu bersyahadat yang berbeda dari syahadat biasa; sambil melaknat-laknat sahabat.

Ia juga terang-terangan melaknat Ummul Mukminin. Rekaman aksi YH ini sedemikian masif disebarluaskan ke seluruh dunia melalui internet, sampai-sampai Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatullah Khamenei, mengeluarkan fatwa bahwa haram hukumnya melaknat tokoh-tokoh yang disucikan oleh kaum Ahlus-Sunnah.

YH adalah menantu dari Mojtaba Shirazi, yang juga jadi ‘ulama’ Syiah di London. Mojtaba Shirazi adalah adik dari Ayatullah Sadeq Shirazi (tinggal di Iran, tapi aktivitasnya sudah banyak dicekal karena bertentangan dengan fatwa pemimpin tertinggi Iran).

Keluarga Shirazi punya 13 stasiun televisi yang dipancarkan lewat satelit dari luar Iran dan biaya operasional stasiun televisi mereka mencapai 1,235 juta dolar per bulan.

Ayatullah Khamenei (pemimpin tertinggi di Iran) pernah menyebut istilah ‘Syiah London’ untuk ulama-ulama kaya raya yang tinggal di London ini.

Dari manakah uang mereka? Dalam sebuah wawancara, YH menyatakan secara terbuka bahwa pemerintah Inggris akan memberikan suaka politik, apartemen di kawasan elit Hyde Park, pinggiran kota London, plus uang saku gratis sebesar 750 Poundsterling (kurang lebih Rp 13 juta) per pekan (atau sekitar Rp 50 juta per bulan), bagi siapa saja yang bersedia untuk melaknat Aisyah r.a.

Fakta ‘unik’ lainnya: Inggris (Eropa) memblokir siaran Press TV milik Iran dan Al Manar milik Hizbullah Lebanon, sambil memberi kebebasan kepada televisi-televisi pemecah-belah kaum Muslimin.

Lalu, di saat yang sama, Inggris adalah sponsor utama proyek penggulingan Assad, menyuplai dana dan senjata. Dana yang digelontorkan Inggris antara lain untuk membentuk LSM White Helmets (WH). Mantan Menteri Luar Negeri Inggris, Boris Johnson, pernah mengakui telah menggelontorkan dana 32 juta Poundsterling untuk WH, sebagai bagian dari paket bantuan sebesar 65 juta Poundsterling.

Bukti lain bahwa Inggris mendukung ‘mujahidin’ adalah kata-kata dari mantan Dubes Inggris untuk Suriah, Peter Ford, dalam wawancaranya dengan BBC pasca pembebasan Aleppo timur Desember 2016.

Ford mengatakan bahwa yang harus dilakukan Inggris sekarang adalah tiga hal: hentikan dukungan pada ‘oposisi yang gagal’; bantu rakyat Suriah dengan cara menghapus sanksi ekonomi; dan bekerja sama dengan pemerintah Rusia dalam penyelesaian konflik melalui langkah politik.

Efek yang mengerikan dari fenomena ini: narasi kebencian dan hate speech terhadap Syiah menjalar ke semua lini di Indonesia. Anda pasti pernah dengar atau lihat ada orang-orang yang dengan entengnya berkata di depan publik ‘gantung’ atau ‘penggal’ pada tokoh yang dianggap kafir. Quo vadis Indonesia? (*Sumber: Dina Sulaeman dalam buku Salju di Aleppo)

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT