Search
Search
Close this search box.

Syiah dalam Perjalanan Sejarah

Imam Khomeini merupakan salah satu ulama terkemuka yang menjadi simbol kebangkitan Islam di era modern. (Suara.com)
Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – Para sejarawan dan peneliti telah menyatakan pelbagai pandangan yang berbeda-beda berkenaan dengan kelahiran Syiah dan kemunculan pertamanya di panggung sejarah. Ahli-ahli lain juga mencoba mengevaluasinya, mendekatinya dari sudut pandang sesuai dengan ideologi dan intelektual mereka. Sebagian percaya bahwa Syiah lahir setelah meninggalnya Nabi Muhammad Saw, dan ia menampakkan jati dirinya ketika para sahabatnya merencanakan pemilihan bagi pengganti beliau.

Karena itu sejarawan Ya’qubi menulis, “Beberapa orang Anshar dan Muhajirin menolak untuk berbaiat setia kepada Abu Bakar, mereka cenderung untuk memberikan baiatnya kepada Ali bin Abi Thalib as. Abbas bin Abdul Muthalib, Fadhl bin Abbas, Zubair, Khalid bin Sa’id, Miqdad, Salman, Abu Dzar, Ammar, al-Barra’, Ubai bin Ka’ab adalah termasuk anggota kelompok ini.” (AI-Ya’qubi, at-Tarikh, Vol. II, hal. 114)

Al-Mas’udi, salah seorang sejarawan terkemuka juga menuliskan, “Salman al-Farisi adalah Syiah mulai sejak pertama, dan Ammar bin Yasir dikenal sebagai Syiah sepanjang hidupnya. Ketika Utsman terpilih sebagai khalifah, ia menyatakan (kepada Abu Dzar) ‘Ini bukan pertama kali kamu menolak kekhalifahan kepada orang yang berhak atas jabatan itu!’. Abu Dzar juga merupakan tokoh utama pendukung Syiah.” (Al-Masudi, Muruj az-Zahab)

Advertisements

Kelompok ulama lain menempatkan kelahiran Syiah pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib as, sementara kelompok yang lain menyatakan bahwa ia mulai menampakkan akarnya menjelang akhir kekhalifahan Utsman. Kelompok yang lain lagi beranggapan bahwa Imam al-Baqir adalah pendiri Syiah. Sebagian orang kembali beranggapan bahwa Syiah lahir sebagai dampak keinginan melakukan balas dendam oleh orang-orang Iran, sehingga kemunculannya dianggap mempunyai warna politik yang sangat kental.

Kemudian ada orang-orang yang beranggapan bahwa Syiah adalah rangkaian fenomena dalam masyarakat dan sejarah Islam tanpa ada maksud atau substansi tertentu. Mereka beranggapan bahwa Syiah telah meluas secara beragam sebagai dampak perkembangan sosial dan politik tertentu mengalami kemajuan sampai pada titik relatif sejarah Islam. Bahkan ada sekelompok orang yang menegaskan bahwa kelompok umat Islam (Syiah) ini merupakan rekayasa yang dilakukan seorang tokoh imajiner (fiktif) bernama Abdullah bin Saba, dengan mendasarkan pada asumsi ini seluruh keputusan dan kesimpulan mereka berkenaan dengan Syiah mengarahkan pada sebuah kesimpulan bahwa Syiah tak lebih daripada sebuah anomali (sesuatu yang cacat).

Teori-teori seperti ini tidak menghasilkan apa-apa kecuali fitnah yang besar. Teori yang dilakukan untuk menyembunyikan kebenaran; atau kesimpulan yang paling jujur adalah bahwa mereka tidak mengetahui secara komprehensif budaya Syiah yang sesungguhnya dan kekayaan warisannya.

Dr. Taha Husain, salah seorang tokoh ulama Mesir dan termasuk pengikut Ahlussunah menulis, “Fakta bahwa para sejarawan tidak menyebutkan kehadiran Ibnu as-Sauda—julukan lain Abdullah bin Saba—dalam Perang Shiffin bersama para pengikutnya setidaknya membuktikan bahwa seluruh gagasan tentang kelompok yang dipimpinnya (dipimpin Abdullah bin Saba) adalah sebuah pemikiran yang sama sekali tidak berdasar. Ini merupakan sebuah tuduhan yang bergulir bersama waktu ketika konflik antara Syiah dan kelompok Islam lain memuncak.

“Demi menegaskan permusuhan mereka, musuh-musuh Syiah mencoba untuk memasukkan seorang tokoh Yahudi itu ke dalam asal­-usul Syiah. Seharusnya, kalau saja kisah Abdullah bin Saba punya landasan kebenaran dalam sejarah, maka kelicikan dan rekayasanya pasti akan muncul ketika terjadi Perang Shiffin. Saya hanya bisa memikirkan satu alasan mengapa namanya tidak terkait dalam perang itu: bahwa ia sepenuhnya hanya satu tokoh fiktif yang direkayasa oleh musuh-musuh Syiah demi menghancurkan reputasi mereka.” (Thaha Husain, al-Fitnah al-Kubra, Vol. II, hal. 90)

Ini sama halnya dengan apa yang ditulis oleh Dr. Ali al-Wardi, profesor sejarah di Universitas Baghdad, “Apakah Abdullah bin Saba benar-benar eksis atau ia hanya sosok imajiner? Bagi mereka yang hendak mengkaji sejarah sosial Islam dan menarik kesimpulan yang layak, ini adalah suatu pertanyaan yang sangat penting. Dinyatakan bahwa Abdullah bin Saba adalah pribadi yang selalu menebarkan hasutan, namun orang itu sama sekali tidak pernah ada. Seluruh sejarah telah mengindikasikan klaim yang dibuat oleh orang-orang Quraisy pada permulaan misi Nabi Muhammad Saw, bahwa beliau menerima ajaran-ajarannya dari seorang budak Kristen yang bernama Jabir, dan mendasarkan dakwah-dakwahnya atas instruksi yang ia terima dari Jabir.” (Dr. Haikal, Hayat Muhammad, hal. 136)

Muhammad Kurdi Ali, salah seorang ulama Ahlussunah yang lain menulis, “Sebagian sahabat utama yang sejak awal sejarah Islam telah mengikuti Ali as, akhirnya dikenal sebagai Syiah. Apa yang bisa disimpulkan dari sumber-sumber tertulis adalah bahwa orang-orang tertentu yang memiliki pandangan sempit menganggap Syiah sebagai sekumpulan bid’ah dan pemalsuan yang dikaitkan bersama-sama dengan orang yang dikenal dengan Abdullah bin Saba atau Ibn as-­Sauda. Namun tidak diragukan lagi bahwa pandangan ini benar­-benar merupakan takhayul dan fantasi belaka, karena sang Yahudi, Abdullah bin Saba, hanya ada dalam dunia imajinasi. Usaha apa saja yang mengaitkan asal-usul Syiah kepadanya mesti dianggap sebagai tanda kebodohan sejati.” (Kurd Ali, Hitan asy-Syam, Vol. VI, hal. 246)

Bertentangan dengan semua pendapat yang telah dibahas secara panjang lebar tadi, sekelompok ulama justru percaya bahwa Syiah pertama kali tidak dikemukakan oleh orang lain kecuali oleh Nabi Muhammad Saw sendiri, dan soal ini dipertegas dengan perintahnya.

Hasan bin Musa an-Naubakhti dan Sa’ad bin Abdullah menulis, “Kelompok Ali bin Abi Thalib as adalah kelompok yang pertama kali muncul pada masa Nabi Muhammad Saw, kemudian terkenal dengan Syiah (pengikut) Ali. Telah diketahui bahwa mereka cenderung memilih Ali untuk mengemban tugas kepemimpinan umat, dan mereka terdiri dari sahabat-sahabat yang setia kepadanya. Al-Miqdad, Salman, Abu Dzar dan Ammar termasuk anggota kelompok ini, mereka adalah orang-orang pertama yang disebut dengan Syiah. Penggunaan kata syiah sendiri bukanlah sesuatu yang baru. Ia telah digunakan untuk menyebut para pengikut nabi-nabi terdahulu, seperti Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa.” (An-Naubahkti, al-Maqalat wa al-Firaq, hal. 15)

Pandangan ini telah ditegaskan oleh sejumlah ulama Syiah, dan ada sejumlah hadis yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw menggunakan nama Syiah bagi sahabat dan pengikut Ali bin Abi Thalib as.

Ketika mendiskusikan turunnya ayat berikut, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal salih mereka itu adalah sebaik-baik makhluk di dunia ini.”(QS. al-Bayyinah: 7)

Para ahli tafsir (mufasirin) serta para ahli hadis (muhadisin) Ahlussunah meriwayatkan bahwa Jabir bin Abdullah telah mengatakan, “Suatu hari aku datang di majelis Rasulullah Saw, kemudian Ali masuk ke ruangan, sehingga Nabi Saw pun bersabda, Saudaraku telah tiba. Demi Tuhan, aku bersumpah bahwa orang ini dan syiahnya (pengikutnya) adalah termasuk di antara orang-orang yang diselamatkan oleh Allah di Hari Kebangkitan kelak.” (Ibn Hajar, as-Sawa’iq, bab 1; al-Khawarizmi, al-Manaqib, hal. 66; al-Hamawini, Fara’id as-Simtain, vol. I. Bab XIII; al-Qunduzi, Yanabai al-Mawaddah, bab 56)

Sehubungan dengan ayat yang sama, ath-Thabari, sejarawan dan ahli tafsir Ahlussunah, juga menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw menggunakan kata syiah ketika merujuk kepada para pengikut Ali bin Abi Thalib as. Dengan demikian, di sana terdapat otoritas kenabian untuk menetapkan para pengikut Ali as, orang-orang yang secara khusus mengabdi kepadanya, sebagai Syiah. Karena itu, kita menyaksikan bahwa kata syiah mempunyai batasan yang sama dengan kata Islam itu sendiri, karena Nabi Saw sendiri menggunakan kata itu.

Sehubungan dengan esensi Syiah, Muhammad Fikri Abu an-­Nasr, salah seorang penulis terkemuka Mesir dari kelompok Ahlussunah mengatakan, “Dalam prinsip-prinsip teologisnya, Syiah berbeda dengan Abu Hasan al-Asy’ari, dan dalam detil ketetapan-ketetapan hukumnya, ia sama sekali tidak berkaitan dengan satu pun di antara keempat mazhab Ahlusunah. Karena mazhab yang ditegakkan oleh para imam Syiah lebih tua umurnya, karena itu lebih bisa dipercaya dan lebih layak untuk diikuti dibandingkan mazhab lain. Semua orang Islam mengikuti mazhab mereka pada tiga abad pertama dari abad Islam. Mazhab hukum Syiah juga lebih berhak untuk diikuti karena di dalamnya pintu ijtihad (penalaran hukum secara mandiri) tetap terbuka sampai Hari Kiamat, dan karena pembentukannya sama sekali tidak dipengaruhi oleh berbagai faktor dan perjuangan politik.” (al-Muraja’at, hal. 10)

Abu Wafa’ al-Ghunaimi at-Taftazani, salah seorang ulama Ahlussunah lainnya menyatakan, “Banyak peneliti di masa lalu dan sekarang, baik di Timur mau pun di Barat telah mengekspresikan pandangan-pandangan yang keliru tentang Syiah. Orang-orang kemudian mengulang-ulangnya tanpa berusaha mempertanyakan pandangan-pandangan ini, tanpa sedikit pun mengemukakan bukti yang nyata. Salah satu alasan yang menyebabkan Syiah diperlakukan secara tidak adil adalah karena orang-­orang yang menyebarkan dan mendakwahkan pandangan-pandangan [yang keliru] itu tidak mendasarkan karya mereka dari tulisan orang Syiah sendiri, melainkan hanya mengandalkan tulisan musuh-­musuh Syiah. Dalam masalah ini imperalisme Barat juga memainkan peran dengan berupaya terus menerus untuk menebarkan benih pertentangan di antara Syiah dan Ahlussunah serta melakukan propaganda tesis-tesis yang tidak jujur dan kontroversial atas nama obyektifitas penelitian ilmiah. (Ar-Radawi, Ma’a ar-Rijal al-Fikr dalam al-Qahirah, hal. 40-41)

Pernyataan-pernyataan ini memungkinkan kita untuk memahami dengan baik mendalamnya penyimpangan yang terjadi, melebarnya pembelokan dari kebenaran, juga mentalitas orang-orang yang telah terinspirasi oleh motif-motif kotor atau terpengaruh oleh faktor-faktor politik. Alih-alih dari memberikan perhatian kepada Alquran, Islam dan qiblat yang menyatukan seluruh umat Islam, mereka justru saling berkompetisi dengan orang lain untuk menebarkan benih-benih pertentangan dan membuat perpecahan. Islam telah dikorbankan demi meraih tujuan-tujuan mereka, sehingga musuh-musuh umat Islam yang beruntung. (*)

Sumber: Dikutip dari buku karya Sayyid Mujtaba Musawi Lari – Imam Penerus Nabi Muhammad Saw via Safinah Online

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements

BERITA ALTERNATIF

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA