Nama asli Tan Malaka adalah Sutan Ibrahim. Sedangkan Tan Malaka adalah nama semi-bangsawan yang didapatkannya dari garis keturunan ibunya. Nama lengkapnya, Sutan Ibrahim dengan gelar Datuk Sutan Malaka.
Selama kuliah, pengetahuannya tentang revolusi mulai muncul dan meningkat setelah membaca buku De Fransche Revolutie yang didapatkannya dari seseorang sebelum keberangkatannya ke Belanda. Sejak saat itu, ia sering membaca buku-buku Karl Marx, Friedrich Engels, Vladimir Lenin, dan Friedrich Nietzsche.
Setelah lulus, ia kembali ke desanya. Kemudian menerima tawaran dari Dr. C. W. Janssen untuk mengajar anak-anak kuli di perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatera Utara. Ia tiba di sana pada Desember 1919 dan mulai mengajar anak-anak yang berbahasa Melayu itu pada januari 1920. Selain mengajar, Tan Malaka juga menulis beberapa propaganda subversif untuk para kuli, dikenal sebagai deli spoor.
Kesuksesan Revolusi Rusia 1917 sungguh impresif. Komunisme diterima dengan antusias oleh aktivis dan intelektual muda yang ingin membebaskan negaranya dari penjajahan kolonial.
Inilah yang melatar-belakangi Tan Malaka bergabung dengan pergerakan komunis internasional tersebut serta bergerak aktif membangun jaringan dengan tokoh-tokoh anti-imperialis Asia.
Dalam pengasingannya di Belanda pada 1922, Tan Malaka menyeberang dari Rotterdam, singgah dua bulan di Berlin, untuk datang menghadiri Kongres Komintern keempat di Moskow sebagai perwakilan Indonesia.
Dalam kongres yang dihadiri oleh tokoh-tokoh anti-imperialisme dunia itu, Tan Malaka berbicara tentang pembentukan aliansi antara pan-islamisme dan komunisme. Idenya terinspirasi dari pengalaman pergerakan di Hindia-Belanda ketika Sarekat Islam, yang beranggotakan sekitar satu juta orang, sangat revolusioner menentang kolonialisme Belanda. Proposal kerja sama yang diajukan Tan Malaka menimbulkan penolakan sebagian kalangan, meski pidatonya mendapat tepuk tangan riuh. Rupanya, dalam pengakuan Tan Malaka, “Kongres Komintern…menganggap pan-islamisme sebagai imperialisme corak lama”.
Setelah Indonesia merdeka, Tan Malaka juga sempat bergabung dengan Perjuangan Rakyat Surabaya untuk secara langsung berjuang mengusir tentara Belanda (Allied Force For Netherland East Indies-AFNEI) yang dipimpin oleh Lord Mountbatten dan wakilnya, Brigadir Aubertin Walter Sothern Mallaby dalam upaya mencoba lagi menyusup ke Indonesia.
Setelah memenangkan peperangan di Surabaya, pada bulan Desember 1945, Tan Malaka kembali berjuang di Purwokerto untuk menyusun strategi perlawanan total terhadap para penjajah barat yang akhirnya menjadi sebuah perkumpulan yang dinamakan “Persatuan Perjuangan” (PP).
Perkumpulan ini adalah sebuah bentuk kekecewaan rakyat Indonesia terhadap keputusan Pemerintah Republik Indonesia yang pada saat itu cenderung menempuh jalur perundingan untuk mendapatkan pengakuan internasional. Ternyata perkumpulan PP ini mendapatkan respons luas dari publik. Dalam waktu seminggu, terdapat ratusan organisasi bergabung dengan PP. Di sisi lain, pembentukan PP ini juga didukung Jenderal Sudirman, yang sedang sibuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia melawan sekutu di Jawa Tengah.
Pada 3 Juli 1946, Tan Malaka dianggap terlibat sebagai otak dari penculikan Sutan Syahrir yang merupakan Perdana Menteri pada waktu itu. Karena itu, ia dijebloskan ke dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun.
Setelah meletus pemberontakan Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang terdiri atas Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Buruh Indonesia (PBI), Pemuda Rakyat, dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) di Madiun September 1948, dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara.
Setelah pemberontakan FDR diMadiun ditumpas pada akhir November 1948, Tan Malaka menuju Kediri dan mengumpulkan sisa-sisa pemberontak PKI/FDR yang saat itu ada di Kediri. Dari situ ia membentuk Pasukan Gerilya Pembela Proklamasi. Pada Februari 1949, Tan Malaka ditangkap bersama beberapa orang pengikutnya. Mereka ditembak mati di sana pada 21 Februari 1949.
Atas jasa-jasanya, Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden RI No. 53 yang dikeluarkan pada 28 Maret 1963, menetapkan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional.
Selama perjalanan hidupnya, Tan Malaka sangat produktif menulis. Di antara buku yang sangat populer ialah Madilog dan Gerpolek. Dua buku ini acap kali dianggap merupakan karya penting Tan Malaka. Madilog (materialisme, dialektika, logika) merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia.
Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran yang terkandung dalam buku Gerpolek atau Gerilya-Politik dan Ekonomi 1948, maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-indonesia-an serta benang merah kemandirian yang merupakan sikap konsisten yang jelas pada gagasan-gagasan dalam perjuangannya. (*)
Sumber: Dilansir dari Berbagai Sumber