BERITAALTERNATIF.COM – Penafsiran Alkitab mengenai kepulangan kaum Yahudi ke tanah airnya semula dikembangkan oleh orang-orang Kristen, yang diistilahkan sejarawan Yahudi Ilan Pappe dalam bukunya yang berjudul Ten Myth About Israel sebagai Kristen Zionis.
Para teolog Kristen menyebutkan bahwa kaum Yahudi yang kembali ke tanah yang dijanjikan akan menjadi awal terwujudnya janji Ilahi terkait akhir zaman.
Menurut Pappe, di balik klaim-klaim teologis tersebut justru tersimpan misi anti-Yahudi. Penafsiran ini bertujuan mendorong komunitas-komunitas Yahudi untuk pindah ke Palestina.
“Demi apa? Demi terciptanya Eropa tanpa Yahudi. Jadi, memang sentimen anti Yahudi itu sangat kuat di Eropa. Sehingga mereka ingin semua orang Yahudi angkat kaki dari Eropa,” ungkap pengamat Timur Tengah Dina Sulaeman sebagaimana dikutip beritaalternatif.com dari kanal YouTube pribadinya pada Selasa (7/6/2022) siang.
Klaim-klaim teologis ini kemudian diterima oleh para politisi Inggris kala itu. Kesempatan ini pun dijadikan sebagai alat oleh para politisi Inggris untuk memanfaatkan komunitas Yahudi sehingga bisa menguasai sumber daya alam di Timur Tengah.
Tahun 1840, Perdana Menteri Inggris kala itu menulis surat kepada Duta Besar Inggris di Turki, yang isinya meminta agar duta besar tersebut mendorong Sultan Turki untuk mendukung program pengembalian kaum Yahudi Eropa ke Palestina.
Pertimbangan yang diberikan Perdana Menteri Inggris tersebut adalah pertimbangan geo-politik dan kekuasaan.
Setelah gerakan Zionis semakin kuat, terutama setelah Theodor Herzl meninggal pada tahun 1904, semakin menguat pula upaya memanfaatkan agama sebagai alat pembelaan diri bagi proyek pendirian negara baru di Palestina.
Buku-buka yang menafsirkan kitab suci soal hak Yahudi atas Palestina pun dibuat dan disebarluaskan dengan masif. Cara ini pun berlangsung hingga saat ini.
Pada tahun 2014, Kementerian Pendidikan Israel mengirim surat ke semua sekolah di Israel yang isinya menerangkan bahwa “Alkitab menyediakan infrastruktur budaya negara Israel, di dalamnya ada fondasi hak kita atas tanah ini (Palestina)”.
Pada 1937, sebelum Israel didirikan, seorang tokoh Zionis yang kemudian menjadi Perdana Menteri pertama Israel, David Ben-Gurion melambaikan Alkitab serta menyebut kitab suci tersebut sebagai dasar kepemilikan atas tanah Palestina.
“Dari penjelasan singkat ini terlihat bagaimana kaum Zionis memanfaatkan agama dan kitab suci untuk menjustifikasi penjajahan, pengusiran, pembombardiran, dan berbagai kejahatan kemanusiaan lain terhadap bangsa Palestina,” jelas Dina.
Kelompok Kristen Zionis di Amerika Serikat (AS), yang merupakan faksi politik paling kuat di Negeri Paman Sam, mendorong Kementerian Luar Negeri AS agar selalu berpihak pada Israel.
“Mereka ini tidak peduli pada fakta bahwa sebagian penduduk Palestina adalah umat Kristiani,” ujarnya.
Dina menyimpulkan, bila ingin melihat krisis Palestina-Israel dari sisi agama, maka perlu dipilah secara obyektif, seperti penyamaan antara Zionis dan Yahudi, yang sejatinya berbeda, sebab tak sedikit kaum Yahudi yang anti terhadap Zionis.
Umat Kristen pun banyak yang mendukung Israel. Di sisi lain, ada pula umat Kristen di Palestina yang menderita karena penjajahan Israel.
“Ketika bangsa Palestina yang mayoritas Muslim melakukan perlawanan terhadap penjajahan Israel, tentu tidak bisa disempitkan analisisnya bahwa ini adalah kebencian Islam pada Yahudi…Itu pernyataan-pernyataan yang salah,” tegasnya. (*)