Search
Search
Close this search box.

Tanggal 19 Ramadan: Khawarij Bunuh Ali bin Abi Thalib Menggunakan Pedang Beracun

Imam Ali bin Abi Thalib terbunuh di tangan Ibnu Muljam. (Ahlulbait Indonesia)
Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – Imam Ali pada waktu sahur 19 Ramadhan tahun 40 Hijriah di saat sedang sujud di Masjid Kufah terkena sabetan pedang Ibnu Muljam Muradi, dan dua hari berikutnya pada 21 Ramadhan menemui kesyahidannya dan dikuburkan dengan sembunyi.

Terpukulnya Ali bin Abi Thalib terjadi dalam suatu kondisi di mana beliau setelah perang Nahrawan berusaha mengkoordinir masyarakat Irak untuk berperang kembali dengan Muawiyah, namun hanya segelintir orang yang sudi menolong beliau.

Dalam kondisi seperti ini, Muawiyah yang mengetahui situasi dan kondisi Irak menginvasi berbagai sisi pemerintahan Imam Ali di jazirah Arab dan Irak.

Advertisements

Menurut sumber-sumber sejarah, tiga orang dari Khawarij bersepakat untuk membunuh tiga orang, yaitu Imam Ali, Muawiyah, dan Amr bin Ash. Ibnu Muljam ditugaskan membunuh Imam Ali.

Imam pertama Syiah setelah syahid, sesuai wasiatnya, dikuburkan secara sembunyi di Najaf (dahulu bernama Gharyain) oleh Imam Hasan, Imam Husain, Muhammad bin Hanafiyah dan Abdullah bin Jakfar.

Disembunyikannnya makam Imam Ali adalah untuk mengantisipasi terjadinya pembongkaran makam beliau dan ketidakhormatan Bani Umayah terhadapnya.

Imam Shadiq pada tahun 135 Hijriah, pada masa pemerintahan Mansur Abbasi, menunjukkan tempat pemakaman Imam Ali di Najaf.

Berdasarkan beberapa riwayat, Imam Ali terkait masalah pemandian, pengafanan, penyolatan dan penguburan dirinya mewasiatkan beberapa wasiat kepada anak-anaknya.

Demikian juga beliau meminta kepada Imam Hasan dan Imam Husain jika meninggal karena tebasan pedang Ibnu Muljam, untuk mengkisas dia hendaknya memukulnya sekali saja.

Begitu juga selain beliau berwasiat untuk memperhatikan Alquran, salat, amar makruf, nahi mungkar, jihad di jalan Allah dan haji, juga berwasiat kepada anak-anaknya untuk takut kepada Allah, disiplin dalam segala urusan dan harmonis dengan orang lain serta meminta mereka untuk perhatian kepada hak-hak anak yatim dan tetangga.

Makam Imam Ali

Imam Ali syahid pada tahun 40 Hijriah dan sesuai wasiatnya dikuburkan secara sembunyi. Ketersembunyiaan pusara Imam Ali berlangsung selama sekitar satu abad.

Setelah kekuatan kaum Umawi melemah, faktor ketersembunyian pusaranya terangkat dan tersedia ruang untuk menampakkan kuburannya.

Zaman tersingkapnya makan Imam tidak diketahui secara detail oleh Syiah. Sebagian ahli sejarah meyakini bahwa berdasarkan banyak riwayat dan juga peristiwa-peristiwa sejarah, khususnya pertemuan Imam Shadiq dengan Saffah, khalifah pertama dinasti Abbasi (masa khilafah dari 131-136 H) di Kufah, Imam Shadiq pada masa itu menziarahi makam Imam Ali di Najaf, dan dari ziarah ini orang-orang Syiah mengetahui tempat makamnya.

Sebagian lagi meyakini bahwa tersingkapnya makan Imam Ali terjadi di masa Mansur (masa khilafah dari 136-158), khalifah kedua dinasti Abbasi. Namun semua sejarawan sepakat bahwa orang yang mengungkap makan Imam Ali adalah Imam Shadiq.

Kelahiran dan Nasab

Ali bin Abi Thalib lahir pada 23 tahun sebelum Hijrah atau tahun 40 Hijriah/661 Masehi adalah imam pertama seluruh mazhab Syiah dan khalifah keempat dari empat Khulafa al-Rasyidin di kalangan Ahlusunah.

Ia sepupu dan menantu Nabi Muhammad Saw, suami Sayidah Fatimah dan ayah serta kakek dari sebelas imam Syiah.

Ayahnya bernama Abu Thalib dan ibunya bernama Fatimah binti Asad.

Sesuai dengan penuturan para sejarawan Syiah dan kebanyakan ulama Ahlusunah, ia terlahir di dalam Ka’bah.

Ia adalah orang yang pertama beriman kepada Rasulullah.

Dalam pandangan Syiah, ia adalah khalifah langsung setelah Rasulullah Saw wafat berdasarkan firman Allah SWT dan penegasan Rasulullah.

Banyak keutamaan telah disebutkan terkait Imam Ali. Pada Yaum al-Dar, Nabi memilihnya sebagai washi dan penggantinya.

Tatkala suku Quraisy hendak membunuh Nabi Muhammad, ia rela tidur di pembaringan Rasulullah untuk mengelabui pihak musuh sehingga dengan demikian Rasulullah dapat secara diam-diam melakukan hijrah.

Nabi pun mengikat akad persaudaraannya dengan Imam Ali. Berdasarkan sumber-sumber Syiah dan sebagian sumber Ahlusunah, terdapat kurang-lebih 300 ayat yang diturunkan berkenaan dengan keutamaannya, misalnya ayat Mubahalah, ayat Tathir, dan beberapa ayat lain menunjukkan tentang kemaksuman dan kesuciannya dari segala jenis kekotoran dan kenistaan.

Imam Ali ikut serta pada seluruh perang Nabi Muhammad kecuali perang Tabuk, itu pun atas perintah Rasulullah untuk tinggal di Madinah menggantikan posisinya.

Pada perang Badar Imam Ali mampu menewaskan sejumlah besar orang-orang musyrik. Pada perang Uhud ia pun menjaga jiwa Nabi.

Pada perang Khandaq ia dapat mengalahkan ‘Amru bin Abdiwad dan mengakhiri peperangan, dan pada perang Khaibar dengan menjebol pintu benteng Khaibar, ia pun menuntaskan peperangan.

Setelah Nabi menunaikan hajinya, setelah turun ayat Tabligh, beliau mengumpulkan jamaah haji di kawasan Ghadir Khum.

Kemudian menyampaikan khutbah Ghadirnya dan mengangkat tangan Imam Ali seraya bersabda, “Barangsiapa yang aku pemimpimnya, maka Ali juga pemimpinnya. Ya Allah! cintailah orang yang mencintai Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya.”

Setelah itu, sebagian sahabat seperti Umar bin Khattab mengucapkan selamat kepada Imam Ali dan memanggilnya dengan lakab “Amirul Mukminin” (pemimpin orang-orang mukmin).

Menurut pandangan para mufasir Syiah dan sebagian Ahlusunah, ayat Ikmal turun pada hari itu. Berdasarkan keyakinan muslim Syiah, ungkapan من کنت مولاه فعلیٌ مولاه yang disampaikan oleh Nabi di hari Ghadir Khum bermakna menentukan penerus dan pengganti Nabi.

Paska wafatnya Rasulullah, sekelompok orang di Saqifah membaiat Abu Bakar sebagai khalifah. Persaingan di antara suku, kedengkian dan rasa hasud diyakini sebagai sebab utama penentangan dengan perintah Nabi terkait penunjukan Imam Ali setelahnya.

Menurut catatan beberapa sumber, Imam Ali telah melakukan perdebatan-perdebatan yang serius dengan Abu Bakar.

Oleh karenanya, Abu Bakar dikecam oleh Imam Ali lantaran penyimpangannya terkait peristiwa Saqifah dan penyepelean hak Ahlulbait Nabi.

Sesuai dengan sumber-sumber Syiah dan sebagian sumber Ahlusunah, para pendukung khalifah menyerang rumah Imam Ali untuk mengambil baiat.

Penyerangan ini menyebabkan Sayidah Fatimah mengalami cedera dan keguguran putranya. Tak lama kemudian Sayidah Fatimah mati syahid.

Dalam berbagai peringatan dan pidato, Imam Ali menyampaikan protesnya terkait peristiwa Saqifah dan mengingatkan kembali akan haknya berkenaan dengan kekhalifahan paska Nabi di mana khutbah Syiqsyiqiyah termasuk di antara pidato-pidatonya yang paling terkenal.

Pada periode 25 tahun kekhalifahan tiga orang khalifah, Imam Ali jauh dari urusan politik serta pemerintahan dan hanya sibuk berkecimpung dalam masalah keilmuan dan sosial, misalnya mengumpulkan Alquran yang dikenal dengan Mushaf Imam Ali dan menggali sumur.

Demikian juga para khalifah mengadakan konsultasi dengannya khusus dalam pelbagai masalah pemerintahan seperti peradilan.

Setelah khalifah ketiga, Imam Ali atas desakan kaum Muslimin menerima kursi khilafah dan pemerintahan. Pada masa pemerintahannya, ia menaruh perhatian khusus pada masalah keadilan dan memerangi metode para khalifah yang membagi baitul mal berdasarkan pengalaman dan masa lalu individu-individu.

Ia memerintahkan supaya setiap orang dari Arab, non Arab dan setiap orang muslim dari keturunan dan golongan mana pun untuk mendapatkan baitul mal secara sama, dan semua tanah yang diserahkan Usman kepada orang-orang untuk dikembalikan lagi ke baitul mal.

Pada masa pemerintahannya yang begitu singkat, ia menghadapi tiga perang saudara: Jamal, Shiffin, dan Nahrawan.

Imam Ali pada akhirnya harus gugur di mihrab masjid Kufah, selagi ia menunaikan salat di tangan salah seorang Khawarij bernama Ibnu Muljam Muradi dan dikuburkan secara diam-diam di Najaf. Haram Imam Ali di kota Kufah termasuk dari tempat-tempat suci dalam budaya Syiah dan selalu diziarahi.

Kebanyakan silsilah disiplin ilmu kaum Muslimin di antaranya Sastra Arab, Teologi, Fikih, Tafsir berujung padanya dan beragam firkah (kelompok) menyampaikan mata rantai sanadnya kepada Imam Ali.

Imam Ali senantiasa mendapat kedudukan dan derajat khusus di kalangan muslim Syiah, dan setelah Nabi ia merupakan manusia yang paling utama, bertakwa dan pintar serta menjadi pengganti sahnya.

Atas dasar ini, sekelompok sahabat sejak masa hidup Nabi mengikuti dan mencintai Imam Ali, mereka itu dikenal dengan sebutan Syiah.

Kitab Nahj al-Balāghah merupakan pilihan dari kata-kata dan surat-surat Imam Ali. Ada beberapa tulisan juga dinisbatkan kepada Imam Ali as yang mana tulisan-tulisan itu hasil diktean dari Rasulullah yang ditulis olehnya. Banyak karya dalam berbagai bahasa yang ditulis berkenaan dengannya.

Kedudukan Imam Ali

Imam Ali senantiasa mendapat kedudukan dan posisi khusus di kalangan Muslim Syiah, dan setelah Nabi ia merupakan manusia yang paling utama, bertakwa dan pintar serta menjadi pengganti sahnya.

Atas dasar ini, sekelompok sahabat sejak masa hidup Nabi mengikuti dan mencintai Imam Ali, mereka itu dikenal dengan Syiah.

Muslim Syiah ialah orang-orang yang meyakini bahwa Imam Ali adalah pengganti langsung Nabi atas perintah Allah. Sementara Ahlusunah meyakini bahwa pengganti Nabi merupakan hasil pilihan masyarakat.

Heinz Halm, pengamat Islam kontemporer Jerman, berkata bahwa menurut keyakinan Muslim Syiah, sampainya Imam Ali kepada kursi kekhilafahan pada 19 Dzulhijjah tahun 35 H/18 Juni 656 merupakan implementasi akhir dari perjanjian yang dengannya Nabi telah memilihnya sebagai penggantinya dan pemimpin umat Islam dalam beberapa kesempatan, khususnya di Ghadir Khum.

Syiah meyakini bahwa ungkapan “barangsiapa yang aku pemimpinnya maka Ali pemimpinnya” yang disampaikan oleh Nabi pada hari Ghadir adalah penentuan pengganti Nabi, karena orang-orang yang hadir di Ghadir Khum mengucapkan selamat kepada Ali bin Abi Thalib  dan memanggilnya dengan lakab “Amirul Mukminin” (pemimpin orang-orang yang beriman)”.

Berdasarkan keyakinin ini, Imam Ali adalah satu satunya khalifah yang sah dan gelar “Amirul Mukminin” hanya layak untuknya dan pemerintahannya dalam masa yang singkat merupakan satu-satunya pemerintahan yang legal yang dirasakan umat Islam sejak zaman Nabi.

Nasab Imam Ali

Imam Ali terkenal dengan Hasyimi dan Qurasyi. Ayah Imam Ali, Abu Thalib adalah seorang yang sangat dermawan dan menjunjung tinggi keadilan. Ia mendapatkan penghormatan dari seluruh suku Arab.

Abu Thalib adalah paman dan pelindung Rasulullah serta merupakan salah seorang pembesar Quraisy.

Ibunya bernama Fatimah binti Asad. Saudara-saudaranya antara lain adalah, Thalib, Aqil dan Ja’far. Saudari-saudarinya di antaranya Hindun atau Ummu Hani, Jumanah, Ritha atau Ummu Thalib dan Asma.

Para sejarawan mengatakan bahwa pernikahan Abu Thalib dengan Fatimah binti Asad adalah pernikahan pertama antara laki-laki dan perempuan dari Bani Hasyim.

Oleh karena itu, Imam Ali adalah orang pertama yang memiliki darah Hasyimi baik dari pihak ayah maupun ibu.

Julukan, Gelar, dan Sifat-sifatnya

Di antara julukan-julukan Imam Ali adalah Abu al-Hasan, Abu al-Husain, Abu al-Sibthain, Abu Raihanatain, Abu Turab, dan Abu al-Aimmah.

Demikian juga di dalam sumber-sumber disebutkan banyak gelar dan sifat untuk beliau, antara lain adalah: Amir al-Mukminin, Ya’sub al-Din wa al-Muslimin, Mubir al-Syirk wa al-Musyrikin, dan Qatil al-Nakitsin wa al-Qasithin wa al-Mariqin.

Selain itu, ia memiliki julukan Maula al-Mu’minin, Syabih Harun, Haidar, Murtadha, Nafs al-Rasul, Akhu al-Rasul, Zauj al-Batul, Saifullah al-Maslul, Amir al-Barārah, Qātil al-Fajārah, Qasim al-Jannah wa al-Nar, Shahib al-Liwā, dan Sayid al-‘Arab.

Kemudian, Kassyāf al-Kurab, al-Shiddiq al-Akbār, Dzu al-Qarnain, Hādi, Fāruq, Dāi’, Syahid, Bāb al-Madinah, Wali, Washi, Qādhi Din Rasulullah, Munjiz Wa’dah, al-Nabā al-‘Azhim, al-Shirat al-Mustaqim, dan al-Anza’ al-Bathin.

Menurut keyakinan Syiah, gelar ‘Amirul Mukminin’ yang bermakna pemimpin, panglima dan pemimpin kaum Muslimin hanya dimiliki dan dikhususkan kepada Imam Ali.

Berdasarkan beberapa riwayat, kaum Syiah meyakini bahwa gelar ini pada zaman Nabi Muhammad digunakan untuk Imam Ali dan khusus kepadanya.

Bagi mereka, gelar ini bukan hanya tidak boleh digunakan untuk Khulafa al-Rasyidin dan selain Rasyidin, tetapi penggunaan gelar ini bahkan untuk imam-imam mereka yang lain pun tidak benar.

Imam Ali adalah seorang dengan perawakan sedang. Matanya hitam dan lebar. Alis matanya melengkung dan menyatu, dan wajahnya tampan berwarna kecokelatan. Janggutnya tebal dan bahunya lebar.

Menurut beberapa sumber, Nabi Muhammad memberikan gelar ‘Bathin’ kepadanya dan atas dasar ini sebagian peneliti mengatakan dia gemuk.

Namun demikian, beberapa peneliti meyakini bahwa maksud perkataan Nabi dari ‘Bathin’ adalah ‘al-Bathin min al-Ilmi’, yakni gemuk dari ilmu.

Dalam sebuah riwayat dari Nabi terkait Imam Ali: ia bersih dari syirik dan gemuk dari ilmu. Dipujinya Imam Ali dengan sifat ‘Bathin’ dalam beberapa teks ziarah juga membuktikan bahwa maksud perkataan Nabi adalah bukan sifat ‘gemuk’ (secara fisik).

Mengenai kekuatan fisik Imam Ali dikatakan bahwa ia tidak melawan siapa pun kecuali lawannya akan tersungkur ke bumi.

Ibnu al-Hadid di dalam Syarh Nahj al-Balaghah berkata, “Kemampuan fisik Imam Ali telah menjadi perlambang kesatria. Dialah yang menaklukkan benteng Khaibar, sementara sekelompok orang lain ingin mengembalikannya (atau mengangkatnya), namun gagal. Ia juga yang menurunkan berhala hubal—berhala yang berukuran raksasa—dari atas Ka’bah dan melemparkannya ke bumi”.

“Ia yang memindahkan batu raksasa dari tempat duduknya dengan tangannya pada hari kekhlalifahannya kemudian dari bawah batu itu mengalir air yang mendidih, sementara semua pasukan yang ada tidak mampu untuk melakukan hal itu”. (*)

Sumber: Wikishia

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT