Oleh: Ahmad Fauzi*
Sering kali kita bertindak seenaknya tanpa memperdulikan orang lain yang berada di sekeliling kita. Ada yang meminta hak namun tidak menjalankan kewajiban. Terdapat pula orang yang telah bekerja keras namun tidak mendapatkan imbalan; menganggap diri paling berkontribusi padahal tidak mempunyai prestasi; melakukan tindakan ceroboh dan merugikan orang lain. Sikap egois ini sering sekali ditemukan dalam kehidupan manusia.
Kesewenang-wenangan seperti ini terus dipraktikkan tanpa ia menyadari perbuatan itu keliru dan zalim. Jika hal ini terus diterapkan secara berkelanjutan maka akan merusak tatanan yang terbangun rapi dan menghancurkan ekosistem yang semestinya berjalan dengan baik.
Fenomena seperti ini muncul akibat ketidakmengertian kita tentang tanggung jawab: apa yang menjadi tugas dan bagaimana semestinya kita bertindak. Kegagalan kita memahami diri secara utuh juga menjadi alasan kita tidak memahami tanggung jawab kita. Akibatnya, kita mengabaikan nilai-nilai moral yang berlaku di tengah kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan perilaku kita terhadap alam ini.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggung jawab adalah keadaan untuk wajib menanggung segala sesuatu. Secara istilah, tanggung jawab adalah kesadaran seseorang terhadap kewajibannya untuk menanggung segala akibat dari sesuatu yang telah diperbuatnya.
Kita memahami bahwa manusia dilahirkan dan hidup di dunia ini tidak akan bisa terlepas dari hukum kausalitas (sebab-akibat) yang mengharuskan kita menerima konsekuensi atas setiap perbuatan kita. Apabila kita melakukan tindakan baik ataupun buruk maka cepat atau lambat kita akan menerima akibatnya. Segala sesuatu yang diperbuat mesti dipertanggungjawabkan.
Tanggung Jawab kepada Sesama Manusia
Hubungan antar-sesama manusia terlihat seperti hubungan transaksional, di mana antara satu dengan yang lain saling membutuhkan. Di dalam keluarga misalnya, seorang lelaki membutuhkan perempuan untuk dijadikan istri, begitu pula sebaliknya. Lalu, setelah menikah mereka membutuhkan anak. Seorang anak pun bergantung dari orang tua, hingga lahirlah struktur keluarga dengan berbagai istilah seperti ayah, ibu, anak, kakak, adik, sepupu, kakek, nenek, cucu, paman, tante dan lain sebagainya di mana hal itu melekat pula tanggung jawab.
Begitu pula dengan hubungan sosial lainnya. Manusia memerlukan sumber pendapatan untuk menghidupi dirinya sehingga mengharuskannya bekerja. Terbentuklah lingkungan kerja yang di dalamnya terdapat berbagai macam status seperti pimpinan, kepala biro, kepala cabang, unsur-unsur manajemen, tenaga profesional, dan jabatan-jabatan lainnya di mana semuanya merupakan rekanan kerja agar tercapai tujuan suatu perusahaan/institusi sehingga semua orang yang terlibat di dalamnya mendapatkan manfaat dari usaha-usaha yang dilakukannya. Dalam semua unsur itu melekat pula tanggung jawab.
Di era ini, masih banyak komunitas yang di mana kita menjadi bagian dari sebuah organisasi tersebut: organisasi kemasyarakatan, komunitas relawan, lembaga profesi dan lain-lain. Di dalamnya terdapat tanggung jawab, walau kita hanya sebatas anggota.
Yang lebih besar lagi tanggung jawabnya adalah pekerjaan yang menyangkut sektor publik yaitu pemerintahan, karena di dalamnya terdapat uang rakyat yang diambil dari pajak dan hasil bumi serta kekayaan negara lainnya. Di Indonesia, jabatan itu berjenjang. Di eksekutif ada presiden beserta menteri, gubernur dan bupati dengan organisasi perangkat daerah, kepala desa atau istilah lainnya. Di legislatif ada DPR, DPD, MPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota dan BPD. Dalam lembaga yudikatif terdapat Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial dan turunannya. Banyak lagi lembaga-lembaga lain yang masing-masing pekerjanya menggunakan uang rakyat/negara.
Baik proses pengelolaan ataupun pendistribusian anggarannya akan dipertanggungjawabkan oleh pimpinan dan segenap birokrasi di bawahnya. Begitulah gambaran tentang level tanggung jawab dalam hubungan antar-sesama manusia.
Seorang ayah dituntut untuk memberikan nafkah, menyiapkan kebutuhan sandang, pangan dan papan bagi keluarga. Seorang ibu bertugas untuk melahirkan dan mendidik generasi yang terdidik dengan baik. Sang anak juga bertanggung jawab untuk menjaga dan mengharumkan nama baik keluarga. Tanggung jawab seperti ini melekat pada setiap kita sesuai dengan pemahaman, tujuan dan program yang disepakati keluarga tersebut.
Begitu pula profesi lainnya. Seseorang yang telah menjalin komitmen antara sesama hendaknya memahami tanggung jawabnya. Ia harus menyelesaikan kewajibannya, baik ia berposisi sebagai bawahan apalagi sebagai pimpinan.
Jika kita merenung dan melihat kehidupan ini lebih dalam maka perlu disadari bahwa selain hubungan yang bersifat transaksional ini, terdapat pula dimensi lain yang besifat immaterial namun berdampak besar bagi hubungan antar-sesama, yaitu moral. Kita semestinya mengedepankan tanggung jawab moral.
Tanggung jawab moral adalah kesadaran seseorang terkait profesi, ilmu pengetahuan dan jabatan yang dimilikinya, di mana hal itu melahirkan integritas bagi penyandangnya. Apabila tanggung jawab moral ini diterapkan dalam kehidupan berkeluarga, lingkungan kerja dan aktivitas sosial lainnya, maka akan melahirkan lingkungan sosial yang sehat.
Seseorang yang semata berfikir dan bertindak transaksional akan berorientasi hanya pada penyelesaian pekerjaan secara normatif. Intinya tugas selesai. Ia tidak memikirkan terlalu dalam hasil pekerjaan/tindakan itu apakah berkualitas atau tidak. Tetapi, apabila kita menjadikan moral sebagai dasar bagi kita mengimplementasikan tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari, maka akan muncul aktivitas dan hasil yang berkualitas.
Orang-orang yang bertanggung jawab secara moral akan berfikir lebih dalam atas dampak yang akan timbul dari setiap pekerjaannya. Ia akan memberikan keputusan-keputusan yang adil walaupun terkesan menyakitkan.
Sebaliknya, seseorang yang tidak bertanggung jawab akan mengabaikan hal itu. Ia akan berjalan sesuai keinginannya, menunggu mood-nya baik, dan cenderung egois. Pada saatnya ia terdesak dan mengeluarkan keputusan yang sembarangan atau mungkin terlihat baik namun berefek buruk bagi lingkungan sosialnya. Ia bisa saja terlihat populis dengan memberikan sesuatu, namun bisa jadi hal itu adalah hasil rampok. Hal itu akan menyanderanya dalam persoalan hukum atau sanksi sosial yang membuatnya terkucilkan dan kehilangan kepercayaan. Di situlah kita perlu membatasi diri dengan mengikuti aturan yang telah ditetapkan.
Kadang kala kita merasa lelah dengan aturan di dunia ini. Kita dibatasi berbagai macam hal. Di keluarga kita terikat dengan norma-norma; dalam lingkungan kerja kita mesti menjalankan aturan yang ditetapkan perusahaan; jadi pejabat diatur oleh hukum; dalam kehidupan sehari-hari kita diatur oleh kesepakatan. Dunia ini bagaikan penjara bagi kita.
Orang-orang yang sering kita lihat di sosial media yang dengan mudah menghambur-hamburkan uang, makan sebanyak-banyaknya, melancong dari satu negara ke negara lainnya, pergi ke tempat hiburan dengan mudah, menginap di tempat yang nyaman, pamer rumah mewah, kendaraan yang banyak dan mahal juga terikat aturan-aturan tertentu. Mereka terikat kontrak dengan brand atau klien yang mengharuskan mereka memproduksi konten-konten secara masif. Ia kekurangan waktu bersama keluarga karena harus menyelesaikan pekerjaan, waktu tidur kurang, kehilangan ruang privasi, tidak bebas berperilaku dan berucap, kadang mereka berbohong tentang produk demi mendapatkan keuntungan (benefit). Intinya di belakang layar mereka sama seperti kita yang terikat aturan.
Tidak ada manusia di muka bumi ini yang tidak terikat aturan. Itulah sebabnya dunia merupakan penjara bagi kita yang ingin selamat. Semakin kita memahami dan menaati aturan serta tanggung jawab kita maka di situlah kita akan terjaga dari mara bahaya.
Tanggung Jawab kepada Tuhan
Bagi yang meyakini bahwa Tuhan itu ada dan Dia-lah Pencipta alam semesta, maka hendaknya memahami bahwa manusia hanyalah “makhluk” (yang dicipta). Karena statusnya sebagai makhluk, tentu ia mempunyai tanggung jawab terhadap anugerah yang diberikan Tuhan padanya. Pemberian raga dengan berbagai macam organ yang menyusunnya, pemberian akal pikiran yang membuatnya bisa berkreasi dan berinovasi, hingga anugerah berupa jiwa/roh/spirit yang membuat jasadnya hidup serta menenangkan dirinya dari berbagai gejolak kehidupan. Sebagai bentuk tanggung jawab atas pemberian itu, manusia wajib menjaganya dengan memberinya asupan yang tepat.
Memberi makan tubuh dengan nutrisi yang bergizi dan halal serta berolahraga dan berpuasa, memberi asupan fikiran dengan informasi-informasi yang berguna dan berinovasi, memberi makan jiwa yaitu dengan berbagai kata-kata bijak atau mutiara hikmah. Imam Ali bin Abi Thalib berkata, “Hiburlah hatimu, siramilah ia dengan percikan hikmah. Sebagaimana fisik, hati juga merasakan letih”.
Selain menjaga sesuatu yang diberikan Sang Pencipta terhadap dirinya, manusia juga mesti tunduk dan patuh terhadap aturan yang ditetapkan-Nya. Aturan berupa perintah, berbagai macam ilmu dan segala sesuatu yang dilarang itu disosialisasikan oleh utusan-Nya. Aturan berupa kitab-kitab, sedangkan utusan yang dimaksud adalah para nabi dan manusia suci.
Mekanisme Tuhan untuk menjalankan sistem kehidupan di muka bumi ini mempunyai desain tersendiri. Kita tidak mempunyai akses langsung kepada-Nya.
Begitu pula segala hal yang berkaitan dengan hubungan sosial antar-manusia dan hubungan manusia dengan alam semesta, semua diatur oleh Tuhan melalui perantara utusannya agar terjadi tatanan yang sempurna dengan berbagai produk hukum ilahiah berupa anjuran, kewajiban, larangan, perintah, hal-hal yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan.
Semua perbuatan kita akan dihisab dan diperhitungkan di Hari Akhir. Tentu kita akan mendapatkan konsekuensi atas perbuatan yang kita lakukan. Semakin berat tanggung jawab kita maka semakin besar konsekuensi yang harus kita terima. Jika baik maka kita akan diberikan imbalan (reward) namun apabila berdapat keburukan maka kita akan diberikan hukuman (punishment).
Kesimpulan
Manusia dan tanggung jawabnya mempunyai berbagai macam ciri. Pertama, memang terdapat orang yang tidak bertangung jawab karena tidak memahami kewajibannya. Kedua, ada orang yang diberikan tanggung jawab, mengerti kewajibannya tapi tidak bertanggung jawab. Ketiga, terdapat seseorang yang menjalankan tanggung jawab secara transaksional demi menggugurkan kewajibannya. Keempat, yang perlu ditiru adalah seseorang yang bertanggung jawab yang tidak hanya secara transaksional melainkan dengan moral, mengusung nilai-nilai yang berkaitan dengan kemaslahatan lingkungan dengan karya-karya melintasi ruang dan waktu.
Dari semua itu, yang lebih utama adalah menjalankan tanggung jawab yang diniatkan dan didedikasikan kepada Tuhan Pencipta Alam Semesta.
Sebagai penutup, terdapat kalimat-kalimat yang mencerahkan dikutip dari buku Enksiklopedia Ahlulbait Jilid 1 yang berkaitan dengan karakter seseorang agar bisa menjadi referensi bagi kita untuk menjalankan tanggung jawab sehari-hari.
Berikut saya sarikan secara lengkap: Karakter orang yang berakal adalah ia bersabar terhadap orang yang tidak mengerti, memaafkan orang yang menzaliminya, dan bersikap rendah hati terhadap yang di bawahnya, dan berlomba dengan siapa pun yang ada di atasnya demi mendapatkan kebaikan. Jika ia ingin berbicara ia merenung dahulu. Bila baik ia bicara hingga bermanfaat, dan bila ternyata buruk, dia diam hingga selamat. Jika menghadapi fitnah, ia berlindung kepada Allah dan menahan tangannya serta lisannya. Bila melihat keutamaan, ia memanfaatkannya. Ia selalu ditemani rasa malu, dan tidak tampak kerakusan padanya.
Sebaliknya, karakter orang yang bodoh adalah ia menzalimi orang yang bergaul dengannya, bersikap semena-mena terhadap bawahannya, dan bersikap kurang ajar terhadap orang yang berada di atasnya. Ia berbicara tanpa berfikir dahulu. Bila berbicara, ia berdosa dan bila diam, ia lalai. Bila terdapat fitnah, ia segera termakan. Bila melihat keutamaan, ia berpaling darinya dan lambat (menghindar) darinya. Ia tidak takut terhadap dosa-dosanya yang lalu, dan ia tidak berusaha menghentikan dosanya di usiannya yang tersisa. Ia meremehkan kebaikan dan berlambat-lambat darinya. Ia tidak peduli atas kebaikan yang ditinggalkannya atau disia-siakannya.
Kita semua berpotensi memiliki karakter orang berakal dan orang yang bodoh. Semoga Tuhan menjaga diri kita dari hal-hal yang buruk. (*CEO Berita Alternatif)