Search

Tantangan dan Peluang Energi Baru Terbarukan

Penulis. (Istimewa)

Oleh: Drs. Mukhtarudin*

Tahun 2023 Indonesia memasuki masa yang penting terkait tata kelola energi nasional terutama mengenai Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT). Ada beberapa hal yang membuat isu ini menjadi krusial.

Pertama, terkait konsumsi energi fosil Indonesia yang masih sangat tinggi. Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tahun 2022 yang menyentuh angka 87,4 persen, sedangkan penggunaan EBT masih kecil di angka 12,6 persen. Padahal, Indonesia memiliki target setidaknya sudah mencapai 15,7 persen pada akhir Tahun 2022 dan mencapai Zero Emission Carbon di Tahun 2060. Tentu hal ini menjadi tugas krusial bagi pemerintah mengingat energi fosil adalah sumber energi yang sudah menipis dan tidak terbarukan (non-renewable energy) serta dianggap tidak ramah lingkungan.

Advertisements

Kedua, terkait ketergantungan produk impor Indonesia yang masih cukup tinggi dengan energi migas terutama untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di dalam negeri. Pada Tahun 2021 angka konsumsi bahan bakar minyak (BBM) nasional mencapai 430 juta barel per tahun atau 1.2 juta barel per hari, sedangkan produksi minyak mentah Indonesia hanya 240 juta barel per tahun atau 666 ribu barel per hari, sehingga setiap hari kita mengalami defisit sebanyak 550-600 barel per hari (Tempo, 2022).  Hal ini berkonsekuensi menjadi beban APBN untuk biaya subsidi impor migas yang menyentuh angka Rp 502,4 T (Kemenkeu, 2022). Padahal, dengan anggaran sebesar itu bisa dimanfaatkan untuk pembangunan pada hal-hal yang sifatnya lebih strategis, seperti pembangunan refinery baru, infrastruktur, pendidikan dan lain-lain.

Ketiga, selain berbiaya tinggi dan isu pencemaran lingkungan, sumber energi fosil dan batu bara Indonesia juga sudah semakin menipis. Padahal, kedua energi tersebut tidak bisa diperbaharui. Menurut data BPS (2022) diprediksi energi minyak bumi akan habis dalam 20 tahun, kemudian gas bumi dalam 35 tahun dan batu bara 62 tahun lagi. Karena itu sudah selayaknya Indonesia mengembangkan sektor energi baru dan terbarukan sebagai alternatif pengganti energi fosil dan batu bara yang semakin menipis dan akan habis.

Indonesia Pasca Kekayaan Sumber Daya Alam

Tahun 2023 ini sudah seharusnya Indonesia memiliki blueprint atau rancangan strategis jangka panjang dalam mempersiapkan kondisi di tengah mulai menipis dan habisnya cadangan energi utama Indonesia, seperti energi minyak dan gas serta batu bara, terutama di sektor konsumsi BBM yang masih tinggi serta ketergantungan pembangkit listrik dari sumber energi migas dan batu bara yang masih sangat besar.

Dari data yang disampaikan oleh Direktur Mega Project PLN, Muhammad Ikhsan Asaad saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI menunjukkan bahwa kontribusi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara masih mendominasi yakni mencapai 50,4 persen atau sebesar 31.827 megawatt (MW). Terbesar kedua berbahan bakar gas dari pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU) sebesar 19,2 persen atau 12.137 MW, kemudian disusul pembangkit listrik tenaga gas/ mesin gas sebesar 10,7 persen atau 6.765 MW, dan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) sebesar 7,1 persen atau 4.487 MW. Dengan demikian, subtotal untuk pembangkit listrik berbahan bakar fosil atau non EBT mencapai 87,4 persen atau 55.216 MW (CNBC, 2020).

Berkaca dari data tersebut, seharusnya Indonesia sudah mulai berfikir dan bergerak untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan, baik itu untuk menghadapi kebutuhan konsumsi BBM untuk kendaraan maupun kebutuhan pembangkit listrik.

Dengan angka ketergantungan yang tinggi pada sektor energi fosil dan batu bara, maka hal ini akan mengancam dan membahayakan energy security Indonesia apabila suatu waktu kita dihadapkan pada kondisi sumber energi tersebut habis atau sulit untuk didapatkan. Maka dampaknya bisa meluas yang tidak hanya mengancam kebutuhan energi rumah tangga dan industri, melainkan juga bisa masuk ke fase krisis energi dan ekonomi.

Sudah saatnya segenap elemen dan stakeholder bangsa merencanakan, menyiapkan dan menjalankan energi alternatif yang dimiliki oleh Indonesia sebagai penopang energi untuk menggantikan ketergantungan pada energi fosil dan batu bara.

Energi Baru Terbarukan Masa Depan Indonesia

Melihat fakta yang ada, maka pengembangan dan perpindahan dari energi fosil dan batu bara beralih menggunakan energi baru terbarukan bukan lagi sekadar alternatif, melainkan sudah menjadi kewajiban. Perlahan tapi pasti menjadi sumber energi domestik, baik itu untuk kebutuhan bahan bakar minyak maupun kebutuhan listrik. Hal ini harus diupayakan segera agar Indonesia terhindar dari ancaman kelangkaan maupun krisis energi yang bisa mengancam kedaulatan energi maupun ekonomi Indonesia, bisa mengakibatkan instabilitas sosial dan politik.

Adapun sumber untuk EBT di Indonesia memiliki beberapa alternatif yang banyak dan variatif, di antaranya tenaga surya, panas bumi, angin, gelombang laut, nuklir, dan lain lain. Dan pada perkembangan di awal Februari 2023, hasil EBT dari energi surya, bayu, hidro, bio energi dan panas bumi hingga laut, hasilnya mencapai 3686 Gigawatt. Jika di konversi menjadi listrik mencapai 3700 Gigawatt, sementara kapasitas terpasang pembangkit listrik hingga akhir Tahun 2022 sebesar 81,2 Gigawatt. Dengan potensi tersebut, EBT bisa menjadi modal utama dari transisi energi.

Ini merupakan sebuah peluang sekaligus tantangan besar. Maka besar harapan bersama dengan Dewan Energi Nasional (DEN) agar segera dibuat blueprint EBT yang terintegrasi, gradual dan berjangka panjang agar tidak menjadi terbatas, parsial dan berjangka pendek lagi. Meskipun di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 menargetkan 51 persen sudah menggunakan EBT, akan tetapi faktanya menuju ke arah itu masih tertatih-tatih karena disebabkan oleh biaya infrastruktur yang mahal, dan perlunya insentif agar ada pihak terkait yang mau berinvestasi di EBT, seperti PLTA, PLT Surya, PLT Panas Bumi.

Selain persoalan insentif, RUU EBT juga harus mampu menyelesaikan persoalan sosial yang kompleks, belum lagi harus menyelesaikan persoalan lahan agar konflik dengan masyarakat tidak terjadi. Dan hal ini harus dilakukan karena Indonesia sudah menandatangani Paris Agreement untuk mengurangi emisi karbon mencapai 29 persen yang pada Tahun 2030 dan 2060 sudah harus zero net emission. (*Penulis adalah Anggota Komisi VII DPR RI)

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
Advertisements
INDEKS BERITA