Oleh: M. Dudi Hari Saputra*
Tingginya persinggungan di masyarakat perihal Pemilu kepala daerah DKI tahun 2017 dan Pemilu presiden 2019 yang menggiring pada persoalan identitas, membuat kita bertanya kenapa sistem demokrasi yang dianggap modern dan seiring dengan semangat jaman (zeitgeist), malah menjadi ajang gesekan di masyarakat yang paling tajam dan vulgar dipertontonkan.
Memang identitas adalah hal yang tidak bisa dihindari, dan secara fitrah manusia sudah kodratnya untuk mencintai identitas dirinya, baik itu agama, suku dan budaya. Hanya identitas ini menjadi persoalan ketika dikemas dalam semangat ekslusivitas dan dijadikan alat untuk memenangkan kontestasi demokrasi, yang seharusnya secara humanis menghargai setiap perbedaan identitas dan memusatkan perhatian pada hal yang meritokrasi, seperti rekam jejak keberhasilan dan adu program.
Dan lebih memprihatinkan lagi ketika arus keras persaingan politik yang biasanya hanya terjadi di kalangan elite, juga terjadi pada tataran akar rumput. Demokrasi yang memang bertujuan membawa semangat kesetaraan sehingga hak dan suara politik juga bisa dirasakan oleh masyarakat bawah, ternyata juga membawa persoalan politik untuk mengarah ke hal-hal yang horizontal dan privat, seperti mengafirkan atau tidak menyalatkan jenazah orang yang berbeda pilihan. Karenanya, peristiwa ini patut disikapi secara bijak agar terhindar dari konflik di masyarakat, apalagi jika konflik ini didasari pada persoalan struktural, yang bersifat laten dan sulit untuk dihentikan.
Konflik struktural sendiri adalah konflik yang diawali dari adanya perbedaan kelas dan posisi yang menghegemoni dan yang dihegemoni sehingga memungkinkan terjadinya tindakan alienasi-diskriminasi-eksploitasi-represi untuk menjaga hierarki yang sudah ada oleh kelompok yang berkuasa maupun bertujuan untuk menghancurkannya oleh kelompok yang ditindas (Thomas Matyok, 2011). Problem struktural biasanya dilakukan oleh kelompok mayoritas atau yang memegang kekuasaan (bisa dari kelompok mayoritas atau minoritas) sehingga di dalam penerapan kehidupan berbangsa dan bernegara selalu memihak pada kelompok berkuasa dan mendiskriminasi kelompok yang lemah.
Contohnya seperti ketidakbebasan untuk berkeyakinan, tidak ada kesempatan untuk menerima pendidikan yang adil, hak sosial dan politik yang tidak setara maupun pengekangan untuk mendapat kehidupan yang layak (Rahardjo,1981). Konflik struktural bisa pula berbentuk rasisme, sexisme maupun bentuk chauvinisme yang lain yang bisa memicu tindakan perlawanan dari kelompok yang ditindas dan potensial melahirkan konflik (Peacestudies, 2004). Yang di alam demokrasi Indonesia bisa kita saksikan secara terang benderang persoalan struktural ini, dan ironinya bukan dijadikan sebagai rumusan masalah yang kemudian dicarikan solusinya, melainkan menjadi problem yang dibiarkan bahkan dimanfaatkan untuk kepentingan pragmatis—kekuasaan, yang dihembuskan sedemikian rupa sehingga bisa menjadi penarik suara pemilih.
Mengembalikan Semangat Pancasila
Mengerasnya persoalan persaingan politik, yang bisa berujung pada rusaknya tatanan bernegara dan berbangsa, membuat kita harus melihat kembali Pancasila sebagai konsensus bersama yang menjadi acuan dan pilar bangsa. Persoalan mendasar perihal bagaimana Pancasila menjelaskan dan menjawab persoalan yang berkembang di tanah air, maka kita perlu memahami, apa hakikat dari Pancasila? Apa latar belakang kelahirannya sebagai ideologi bangsa yang relasinya kemudian menjadi acuan dari konstitusi negara?
Salah satu pendapat yang perlu diperhatikan perihal Pancasila adalah dari Yudi Latif, yang menjelaskan bahwa keindonesiaan didefinisikan sebagai keseluruhan penjumlahan pecahan identitas yang ada di negara kita, entah itu pecahan agama, etnisitas, golongan, kelas sosial, dll. Dan dengan menganalogikan ilmu matematika, pecahan-pecahan itu tidak mungkin bisa dijumlahkan jika kita tidak memiliki bilangan penyebut yang sama, begitu pun keindonesiaan, maka pecahan etnik, pecahan agama, pecahan golongan dan kelas sosial, tidak mungkin kita bisa jumlahkan dalam kebersamaan Indonesia, kecuali kita memiliki bilangan penyebut yang sama (common denominator), dan penyebut bersama itu adalah Pancasila, dan jika didefinisikan secara ringkas maka Pancasila adalah grand ideology of social inclusion (payung ideologi untuk sosial yang inklusi/terbuka).
Genealogi (akar) Pancasila sendiri dalam pandangan Sukarno dipahami sebagai pandangan hidup (weltanschauung) bangsa Indonesia, yang lahir dari inti sari masyarakat Nusantara. Penolakan Sukarno atas pendapat yang menganggap Pancasila bukan atau bertentangan dengan karakter keindonesiaan merupakan sikap konsisten bahwa Pancasila adalah dasar berbangsa-bernegara yang lahir bukan karena mengadopsi pengetahuan atau pengalaman bangsa asing, melainkan karena pengaruh pengetahuan dan pengalaman bangsa Indonesia yang semenjak awal sudah menganut prinsip dan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kepemimpinan yang berbasiskan rakyat dan keadilan.
Pandangan bahwa Pancasila adalah buatan asli dari bangsa Indonesia juga dicetuskan tokoh-tokoh lain, salah satunya adalah Mohammad Hatta. Hatta menjelaskan bahwa prinsip sosial-ekonomi Indonesia merupakan manifestasi dari kondisi budaya dan sosial masyarakat Indonesia yang lebih mengedepankan nilai-nilai budaya ekonomi kerja-sama dan gotong royong yang merupakan manifestasi dari komunal-tradisional Indonesia (Hatta: 1967).
Karenanya, Pancasila tak lain adalah proses induksi yang inklusif dari berbagai khazanah bangsa Indonesia, yang kemudian diabstraksikan menjadi ideologi negara dan diturunkan sebagai pendirian hidup, yang sudah seharusnya bisa diserap dan tidak dijadikan pertentangan dengan agama, suku, etnis, golongan atau kelas sosial apa pun di Indonesia.
Karenanya menjadi keharusan di setiap konflik yang terjadi di masyarakat, termasuk dalam konteks berdemokrasi yang lagi hangat gesekan identitas terutama terkait agama dan etnis harus dikembalikan kepada nilai-nilai Pancasila, sebagai traktat kehidupan bernegara yang dijelaskan di dalam butir-butir pengamalan Pancasila berdasarkan TAP MPR Nomor 2 Tahun 1978 sila 1 bahwa percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai agama dan keyakinan masing-masing, saling menghormati antar pemeluk agama, dan tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaan kepada orang lain. Serta sila ke-3 yang menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
Dan jika kita mampu menerapkan dan menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai jalan hidup, maka bangsa ini akan tetap utuh, maju dan terhindar dari ancaman disintegrasi.
Penutup mengutip ucapan Nurcholish Madjid, keindonesiaan dengan Pancasilanya adalah sebuah pendulum keseimbangan dari berbagai identitas, Pancasila dengan ideologi inklusifnya, akan selalu menjadi pemersatu di tengah perbedaan (Madjid: 2008). (*Pendiri & Direktur Konsultan Riset Nusantara)