Search
Search
Close this search box.

Tantangan Indonesia untuk Lolos dari Jebakan Kelas Menengah

Kelas menengah di Indonesia. (Kontan)
Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti mengungkapkan deindustrialisasi menjadi tantangan Indonesia agar keluar dari jebakan kelas menengah.

“Kita memang sudah keluar dari lower middle income, tapi dalam 20 tahun ke depan kita punya cita-cita lebih besar lagi untuk menjadikan Indonesia naik status,” katanya di Jakarta, Selasa (8/8/2023).

Ia mengatakan untuk bisa keluar dari kelas menengah maka kinerja industri di Indonesia harus terus meningkat. Sayangnya, saat ini Indonesia sudah mengalami gejala deindustrialisasi atau daya saing manufaktur yang terus menurun.

Advertisements

“Mengapa ada gejala ini? Karena selain menurunnya share manufaktur terhadap PDB yang menyentuh potential growth kita melambat,” jelasnya.

Oleh sebab itu, untuk bisa naik ke kelas high income, Indonesia membutuhkan transformasi ekonomi. Hal itu selalu dilakukan lewat industrialisasi.

“Kalau produktivitas ekonomi meningkat lewat itu, ini bisa mendorong peningkatan potential growth kita. Di mana yang harus jadi catatan untuk RPJPN berikutnya, industrialisasi yang dilakukan harus inklusif dan berkelanjutan,” katanya.

Dalam hal ini, pemerintah harus memberikan perhatian terhadap industri prioritas. Ada lima industri yang saat ini menjadi prioritas Indonesia.

Kelima industri tersebut yaitu makanan dan minuman, elektronik, tekstil, konstruksi dan bahan bangunan, serta packaging termasuk plastik.

Sementara itu, Direktur Riset INDEF Berly Martawardaya menjelaskan kondisi sektor industri Indonesia yang terus menurun, diperparah selama dan setelah pandemi Covid-19.

Jika dibandingkan dengan negara lain seperti China dengan angka pertumbuhan 27,7 persen, Thailand sebesar 27 persen dan Malaysia yang mencapai 23,5 persen, Indonesia cukup tertinggal.

“Dan dari data terakhir, baru rilis kemarin di BPS (Badan Pusat Statistik), baru 18,25 persen, jadi semakin turun,” kata Berly.

Berdasarkan sumber World Bank, jelas Berly, Indonesia masih berada di papan bawah dalam kontribusi manufaktur ekspor dengan 44,92 persen.

Meskipun lebih tinggi dibandingkan dengan Brazil dengan nilai 25,12 persen dan Afrika Selatan dengan 36,05 persen, namun Indonesia masih kalah dari India dengan kontribusinya sebesar 68,07 persen, Malaysia sebesar 70,28 persen, Thailand sebesar 74,59 persen, Vietnam dengan 86,36 persen dan China sebesar 93,55 persen.

“Walaupun kita tertinggi di antara yang trennya menurun, tetapi lebih baik kalau kita bisa masuk, bisa switching ke papan atas,” ungkap Berly.

Padahal, sektor industri merupakan salah satu bidang yang sangat penting karena mampu menyerap angka tenaga kerja yang cukup tinggi.

Bahkan, tenaga kerja yang hanya berpendidikan SD atau SMP sudah mampu didayagunakan dengan pendapatan sama dengan atau di atas Upah Minimum Regional (UMR).

“Dan mendapat jaminan BPJS Kesehatan, BPJS Tenaga Kerja, sehingga dia bisa mem-plan, menabung (hingga) bisa menyekolahkan anak,” ujarnya.

Bahkan, di Asia Timur perkembangan sektor industri manufaktur, khususnya yang berorientasi ekspor, mampu menekan kesenjangan serta meningkatkan pendapatan.

Karena itu, ia menilai jika sektor industri Indonesia semakin tertekan, maka akan sulit masyarakatnya untuk keluar dari tingkat pendapatan menengah di negara maju atau middle income trap.

“Jadi, kalau kita mengalami atau terus seperti ini di industrialisasi maka semakin sulit untuk keluar dari middle income trap atau jebakan kelas menengah,” jelas Berly. (*)

Sumber: CNN Indonesia

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements

BERITA ALTERNATIF

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA