Oleh: Abdullah*
Teologi merupakan satu keyakinan manusia atas pemahamannya tentang Tuhan yang erat kaitannya dengan perilaku dan tindakan orang-orang yang meyakininya. Jika konsep teologi yang dipahami dan diyakini sebagai dasar pandangan menjalani kehidupan dalam beragama yang membuat kehidupan dan peradaban manusia lebih maju, atau malahan sebaliknya membuat pandangannya menjadi stagnan dan tidak mempunyai perubahan sesuai dengan kondisi zaman, maka akan berpotensi besar melahirkan peradaban manusia yang suram.
Kaum Jabariyah (fatalism) berpandangan bahwa manusia tidak mempunyai kehendak dalam menentukan suatu perbuatan tertentu. Karena itu, dalam praktiknya mereka pasrah (tawwakal) terhadap segala sesuatu, sehingga ikhtiar manusia tereduksi dalam membuat perubahan dalam kehidupannya. Dalam paham ini, manusia ditempatkan sebagai objek dalam berteologi.
Pemikir Islam terkemuka Hassan Hanafi menguraikan bahwa teologi yang dianut oleh mayoritas umat Islam saat ini belum beranjak pada tingkat antroposentris yang sesungguhnya, sehingga teologi yang diyakininya tidak mampu mengantarkan keyakinannya pada tahap meyakinkan tentang Tuhan dan wujud-wujud spiritual lainnya secara utuh. Akan tetapi baru pada tahap sebatas keyakinan. Konsep-konsep teologi Islam yang diyakini oleh sebagian besar umat Islam sangat terbatas hanya pada konsep-konsep teosentris yang membuatnya mempertahankan ide-ide yang kosong akan makna kebebasan manusia dalam menciptakan perubahan, sehingga kosong akan gagasan-gagasan konkret terkait kemanusiaan yang membangkitkannya dan menuntut kaum muslim dalam menjalani kehidupan nyatanya.
Seakan-akan konsep teologi yang diyakininya tercerabut dari akar-akar kemanusiaan dalam mengarungi kehidupannya di muka bumi. Padahal, Alquran memerintahkan manusia untuk mempelajari dan memahaminya melalui petunjuk-petunjuk Allah yang tersurat maupun tersirat sebagaimana kemampuan dan kesadaran manusia untuk merealisasikan pemahaman atas teks suci Alquran dalam kehidupan nyata, sehingga Alquran ditempatkan sebagai petunjuk dalam bentuk ajaran akidah (teologi), ibadah, akhlak, hukum, filsafat, dan politik.
Kenyataannya, konsep-konsep teologi yang berkembang hanya digunakan untuk mempertahankan dogma-dogma teosentris daripada memfokuskan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan manusia secara individu dan sosial yang bersifat antroposentris.
Seharusnya teologi Islam menjadi konsep-konsep yang memberikan kebebasan pada manusia, serta suatu dasar utama pijakan manusia untuk mengembangkan misinya sebagai khalifah fil ardh. Dengan demikian, manusia sebagai makhluk yang memiliki dimensi fisik (jasadiyah) dan jiwa (ruhiyah) sebagai potensi yang digunakan dalam menjalankan amanah di muka bumi sebaik mungkin.
Dalam konstruksi pemikiran teologi Islam, Hanafi melihat persoalan mendasar umat Islam dalam menciptakan peradaban. Mereka mulai kehilangan diskursus kemanusiaan sebagai titik sentral bahasan yang mestinya menjadi pijakan dalam bangunan pengetahuan umat Islam. Dalam artian, menurut Hanafi, pemikiran teologi Islam harus dibangun atas dasar kemanusiaan. Teologi tidak hanya pada konsep yang membahas eskatologi (langit), tapi harus menyentuh persoalan kontekstual bumi sebagai landasan pijakan hidup manusia.
Hanafi mengatakan, sifat-sifat Tuhan yang maha sempurna dan maha mutlak yang sering dilontarkan oleh agamawan, tidak perlu menjadi bahan perdebatan lagi, akan tetapi keyakinan itu harus diarahkan pada upaya agar manusia digerakkan untuk melakukan sesuatu yang konstruktif bagi perkembangan dan kemajuan kehidupannya.
Sekarang yang perlu diperhatikan dalam pemikiran teologi Islam adalah nasib manusia. Kompleksitas permasalahan yang berupa persoalan kemiskinan, penjajahan, diskriminasi, dan lain sebagainya merupakan tugas hidup yang perlu diselesaikan.
Manusia harus dipandang sebagai makhluk dinamis dan potensial dalam menciptakan tatanan dunia modern. Dengan demikian, manusia dilihat sebagai titik sentral yang memegang otoritas terhadap kontekstualisasi ajaran-ajaran Islam progresif.
Dalam pembahasan teologi humanistik, hal ini harus menjadi titik sentral dalam membaca ulang kontekstualisasi keilmuan Islam dan perkembangan peradaban umat Islam.
Manusia bukan sebagai mesin modernisasi (objek) dan menggeser posisi manusia sebagai subjek peradaban modern. Ini merupakan diskursus peran manusia sebagai subjek di era konsumerisme yang menjadikan cara pandang manusia fokus pada dunia produksi materialistik dan kehilangan akar spiritualitas dalam melandasi perkembangan pemikiran Islam di era modern.
Dengan demikian, cara pandang materialis mengaburkan nilai-nilai universal pemikiran humanis Islam yang progresif. Bahkan seharusnya umat Islam mendekonstruksi tradisi sufisme al-insan al-kamil sebagai bangunan warisan pemikiran Islam dalam mencapai tingkat kesempurnaan manusia baru di zaman modern, guna meneguhkan paradigma ilahiah yang sesungguhnya secara ruhiyah.
Hanafi dalam karya-karyanya hendak membangun narasi aktualisasi manusia sebagai bentuk al-insan al-kamil dari berbagai rekonstruksi pengetahuan modern tentang diskursus humanisme sebagai titik sentral peradaban dunia dalam bangunan teologi pemikiran Islam.
Pemikiran Islam yang dibangun (pengetahuan) harus secara penuh mengilhami manusia supaya tercerahkan, bukan malah sebaliknya manusia terpuruk karena hegemoni pengetahuan dan paradigma pemikirannya yang salah.
Pemikiran Islam yang bersentuhan langsung dengan teks Alquran dan Hadis harus menyadarkan manusia dalam bertindak konstruktif sesuai dengan tuntutan zaman yang dinamis. Tuntutan tafsir ulang atas teks suci yang sesuai dengan tuntutan zamannya ini sudah banyak disuarakan oleh kalangan intelektual Islam, seperti Nashr Hamid Abu Zayd, yang mengatakan Alquran sebagai produk budaya (cultural product) harus dicari konteks kajian tafsir Alquran yang sesuai dengan tuntutan zamannya.
Teologi tradisional menekankan pada pendekatan kajian dialektika ketuhanan, namun cara pandang teologi demikian dalam pemikiran Hanafi harus diubah dengan memfokuskan bahwa manusialah yang menjadi objek kajian teologi di masa sekarang.
Teologi harus bertumpu pada kebebasan dan mengangkat sisi-sisi kemanusiaan sebagai representasi dari sifat-sifat ketuhanan. Manusia ditugaskan sebagai khalifah fil ardh dan hamba Allah yang dengan itu konsep insan kamil ditegaskan menjadi hakikat capaian dalam teologi Islam.
Dalam analisis teologi humanis, Hanafi menekankan pada teologi yang berpusat kepada manusia. Menurutnya, manusia adalah sentral dari segala kehidupan. Dengan demikian, untuk menjawab kejumudan realitas kehidupan umat Islam kontemporer, Hanafi menempatkan manusia sebagai poros utama dalam dekonstruksi teologi kontemporer. Konsep teologi antroposentris Hanafi dijelaskannya dalam tiga asumsi dasar, antara lain: Pertama, kesadaran sebagai pokok jawaban atas pertanyaan epistemologi bagaimana manusia mengetahui segala sesuatu. Kedua, hakikat eksistensi manusia sebagai wujud dari apa yang diketahuinya. Ketiga, aksiologi humanis berpangkal dari teologi teosentris untuk menjawab masalah kontemporer.
Dalam proses pembentukan dan mendapatkan pengetahuan dalam diri manusia, Hanafi mencoba membangkitkan kesadaran epistemologis dengan menggunakan paradigma-paradigma yang bersifat kognitif sebagai usaha manusia dalam menggali potensi segala sesuatu melalui pengalaman kognisi historis yang konkret pada diri manusia.
Sebagai suatu perjalanan historis, manusia menerapkan epistemologi yang bersifat kognisi sebagai satu sumber ketetapan-ketetapan yang dimuat menjadi nilai-nilai dalam warisan tradisi, budaya, dan peradabannya.
Dengan demikian, Hanafi berusaha mentrasformasikan wahyu Ilahi menuju epistemologi yang humanistik sesuai dengan dinamisnya pemahaman manusia terhadap perkembangan zaman.
Kemudian, menurutnya, epistemologi merupakan konstruksi teori kognisi kemanusiaan. Hanafi mempertanyakan hakikat dari apa yang manusia ketahui melalui pengetahuan yang paling mendasar dalam diri (eksistensi) dan benda-benda alam yang mempunyai makna dan implikasi tersurat dan tersirat, agar hakikat dari eksistensi dari segala sesuatu di alam dan kandungan makna hukum-hukum alam bisa dipelajari dan dimanfaatkan sebaik mungkin dalam proses kehidupan umat manusia. Singkatnya, alam diadakan untuk manusia.
Hanafi memberikan gambaran berdasarkan diskursus filsafat umum pasca epistemologi dan ontologi, kemudian menjelaskan teori aksiologi (teori nilai) terkait apa yang dipikirkan tentang kebenaran sebagai tuntutan kemanusiaan, kebaikan sebagai suatu kecenderungan kemanusiaan, dan keindahan sebagai perasaan kemanusiaan.
Maka dari itu, posisi manusia dalam teologi menjadi standar ukuran. Dalam kaitannya dengan aksiologi, Hanafi memberikan suatu gambaran bahwa nilai-nilai tersebut merupakan sifat murni kemanusiaan yang menjadi jawaban tentang kecenderungan apa yang manusia pikirkan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Hanafi, objek teologi adalah dekonstruksi dari objek-objek kemanusiaan.
Dia juga mengemukakan bangunan konsep teologi humanis yang berasal dari dan untuk manusia dengan tidak meninggalkan secara penuh esensi dasar tradisi teologi klasik yang masih relevan dengan kemanusiaan. Hanafi mengharuskan untuk membangun teologi humanis dengan fondasi rumusan ideologi yang memiliki identitas Islam yang universal dengan memperhatikan pergumulan ideologi-ideologi kontemporer yang jauh dari akar realitas kemanusiaan dan keharusan merumuskan kembali formulasi ilmu usuluddin beserta cabang-cabangnya sebagai formulasi baru risalah tauhid.
Pada era sekarang, teologi lebih tepatnya diperbaharui menjadi kajian bagi ilmu kemanusiaan modern. Seperti pendekatan ilmu psikologis, filsafat, politik, alam, sains modern dan lain-lain. Hal ini sebagai upaya interpretasi tegaknya ilmu teologi untuk pemahaman sebagai pembentuk perilaku manusia. Sehingga ia tidak hanya memfokuskan pada formulasi teoritis semata, melainkan fokusnya pada praktis sebagai gerak historis kesadaran akan eksistensinya sebagai manusia.
Dengan cara menggeser pemikiran teologi teosentris menuju antroposentris, menurut Hanafi, hal ini bisa menumbuhkan kesadaran dan kebebasan manusia, sehingga umat manusia bisa semaksimal mungkin melakukan terobosan-terobosan besar yang mengubah hidup manusia modern dari kejumudan menjadi progresif. Hanafi mengatakan bahwa cita-cita manusia ialah berusaha menguak tirai-tirai yang mengaburkan makna kemanusiaan dan menggeser peradaban yang terfokuskan pada persoalan ketuhanan dalam pemahaman klasik, di mana manusia terpasung dari tirai-tirai peradaban yang teosentris yang tidak menyadarkan potensi manusia. Ia mengarahkan agar umat Islam beralih pada teosentris humanisme. Dengan kerangka tersebut, Hanafi mencoba memutus krisis diskursus kemanusiaan pada masa modern.
Berangkat dari penjelasan dari ketiga nilai-nilai epistemologi, ontologi dan aksiologi, Hanafi kemudian menjelaskan objek-objek teologi humanis dengan delapan pembahasan yang dibagi menjadi empat bahasan tentang Tuhan atau yang disebut juga rasionalitas: (1) esensi, (2) atribut, (3) penciptaan tindakan-tindakan dan baik dan buruk, (4) rasio dan naql (wahyu). Kemudian empat objek tentang sam’iyyat dan nubuwwat: (1) kenabian, (2) ma’ad (kiamat), (3) iman (kepercayaan) dan amal (tindakan praksis), nama-nama dan ketentuan-ketentuan, dan (4) kepemimpinan (selengkapnya baca Hassan Hanafi, Islamologi 1, 2, dan 3).
Dengan pokok-pokok objek teologi humanis di atas, Hanafi mengonstruksinya dengan mengeksplorasi ilmu pengetahuan manusia, eksistensi manusia, esensi manusia, atribut-atribut manusia, aksi atau tindakan manusia, masa lampau manusia, masa depan manusia, tindakan praksis manusia dan sejarah manusia sebagai suatu pembaharuan teologi yang berfokus pada teosentris menuju teologi antroposentris.
Pada hakikatnya, transferensi empat sumber yang merupakan sumber-sumber juridis dan dalil-dalilnya sudah tuntas, Al-Kitab, Sunah, konsensus (ijma’), dan qiyas (silogisme). Empat dalil itu pada dasarnya mengeksplorasi pengalaman-pengalaman antropologis di balik tirai-tirai yurisprudensial.
Pertama, Al-Kitab pada hakikatnya adalah akumulasi dari posisi-posisi yang terjadi pada realitas Islam pertama yang menuntut adanya solusi-penyelesaian.
Diskursus empat dalil yang setiap posisi merepresentasikan cara ideal yang mungkin akan terulang kembali dalam setiap zaman dan tempat. Jika realitas itu terulang kembali maka manusia menuntut solusi yang sama dengan cara pandang modern.
Kedua, As-Sunnah dan ijma (konsensus). As-Sunnah merupakan akumulasi dari posisi-posisi detail yang di dalamnya perilaku manusia didefinisikan. Kapabilitas manusia juga muncul sebagai dorongan perilaku, yakni sikap-sikap manusia ideal dan pengalaman-pengalaman manusia teladan. Mengikuti sunnah jika manusia menginginkan tambahan kepastian dan definisi tentang realitas. Sunnah adalah pengalaman penting dalam sejarah setiap masyarakat, yaitu tentang sejarah klasiknya, masa lalunya, atau mengenai tokoh-tokohnya yang terkemuka pada periode awal, yang berdiri di balik setiap gerakan reformasi yang menyerukan “kembali pada sumber Islam”.
Ketiga, ijma (konsensus) merupakan pengalaman generasi-generasi bangsa dan penumpukannya, elemen sejarah, dan gerakan sosial. Totalitas bentuk-bentuk tindakan praksis kolektif dan tindakan-tindakan historis adalah lawan dari fakta-fakta eksploitasi individual, stagnasi ideologis, tekstualitas bahasa, formalisme perundang-undangan, dan religiusitas yang problematik.
Menurut Hanafi, dari sinilah kemudian hadir “ijtihad” untuk memberikan proteksi terhadap kepentingan umum dan pembentukan yurisprudensi berdasarkan tuntutan-tuntutan manusia. Wahyu, sebagaimana tampak jelas di dalam ilmu tauhid, adalah tendensi terarah yang berasal dari Allah dan untuk manusia atau syara’ untuk menjaga kesejahteraan atau kepentingan manusia.
Menurut Hanafi, krisis diskursus manusia pada zaman modern, yaitu yang berkaitan dengan persoalan hilangnya manusia sebagai diskursus independen dalam berbagai ilmu, pusat fundamental dalam kehidupan, dan kategori fundamental bagi eksistensi. Hal ini merupakan sesuatu yang menyebabkan pendekaman manusia di dalam beberapa ilmu, sebagaimana yang terjadi di dalam tradisi, tentang pengepungan manusia di antara otoritas dan kesulitan kehidupan yang terjadi di dalam realitas kontemporer.
Dia juga menjelaskan lima realitas substansial yang mendefinisikan konstruksi manusia: pertama, manusia adalah makhluk yang mengada, bukan sebagai benda, mengada dari tiada. Ini adalah pencerapan manusia hakiki yang diungkapkan oleh filsuf-filsuf eksistensi modern. Dari sini Hanafi mengatakan manusia sebagai realitas-realitas ilmiah yang ditransformasikan pada pengalaman-pengalaman perasaan melalui kesadaran atas esensi dan eksistensi manusia di dalam kehidupan. Akan tetapi manusia juga diciptakan dari ilmu, dalam artian manusia diciptakan dari makna. Makna merupakan asal eksistensi manusia dan tumbuh darinya.
Kedua, konstruksi psikologis manusia. Manusia merupakan konstruksi psikologis atau sebagai konstruksi kesadaran merupakan asas realitas manusia.
Ketiga, manusia berhadapan dengan tantangan dari musuh yang mengingkari nilai manusia, menolak untuk menghargainya, menolak untuk mengenal keutamaan dan probabilitasnya, dan melangkah untuk mencabut martabat dan kemuliaannya. Dengan tantangan ini nilai manusia diperkukuh; dengan nilai dan esensinya manusia akan menerima tantangan dan menetapkan kapabilitas dan nilainya. Tantangan tidak datang dari personal, baik yang hadir maupun yang gaib, tetapi ia datang dari posisi-posisi sosial umum yang menantang eksistensi manusia sebagai nilai.
Keempat, di sini ditegaskan tentang pertanggungjawaban manusia dan juga amanat yang dibawanya sesuai kehendak Allah. Amanat tersebut, menurut Hanafi, mengubah kelemahan manusia menjadi potensi kekuatan, menjadikan manusia menerima tantangan dari yang lain, dan menjadikan kehidupan manusia sebagai ketetapan risalahnya.
Tujuan utama wahyu terdapat di dalam pembentukan kesadaran independen bagi manusia, pemberian tanggung jawab secara total kepada manusia, baik rasio maupun tindakan praksis. Pada akhirnya manusia berjalan di relnya tanpa bantuan pihak luar sebagaimana yang terjadi pada masa lampau. Setiap manusia akan mempertanggungjawabkan secara individu amanah yang diberikan padanya.
Kelima, apabila hal tersebut sudah sempurna maka manusia yang rapuh akan ditransformasikan menuju manusia yang kuat, yang akan mewujudkan kesempurnaan di bumi, dan membentangkan manusia komprehensif (al-insân al-kâmil) terhadap segala sesuatu, karena manusia akan mentransformasikan kelemahannya menuju kekuatan dan menjadi manusia dalam bentuk yang paling baik.
Hanafi dalam gerakan reformasi modern berusaha membangkitkan diskursus manusia baru yang mampu menjawab tantangan zaman. Ia memulainya dengan esensialisme yang dipandang sebagai substansi kehidupan. Esensialisme adalah penciptaan dan pembaruan, kehidupan dan pertumbuhan, kegembiraan dan kebahagiaan. Esensialisme dengan penghadiran adalah “pencapaian” sedangkan Allah adalah “yang dicapai”. Oleh karena itu, Allah dan esensialisme diderivasikan dari nama yang sama yang menunjukkan bahwa realitas (kebenaran) adalah esensialisme kemanusiaan yang di dalamnya memuat segala sesuatu: yang lain, benda, Allah, dunia, realitas, dan ide.
Menurut dia, esensialisme kemanusiaan adalah esensialisme-sufistik, tetapi eksplorasi esensialisme pada batas diri-esensinya adalah titik permulaan (starting point) untuk melakukan redefinisi tradisi klasik dan perubahan realitas kaum muslimin.
Hanafi memberikan pandangan terkait krisis dan refleksi pada ketiadaan diskursus tentang manusia sebagai kategori independen di dalam tradisi klasik. Menurut dia, perhatian harus tetap berkait dengan diskursus manusia untuk mendefinisikan kembali manusia secara berbeda, independen, otonom, dari bangunan manusia kontemporer yang sempurna, dan menyebar ke setiap penjuru.
Hanafi juga membedah manusia sebagai duskursus yang independen. Munculnya diskursus di kalangan kaum modernis akan membawa taklid kepada Barat, seruan pembaruan, atau sekadar mencari popularitas. Bahkan konsep “insan kamil” yang didiskursuskan di kalangan sufisme juga sulit dibedakan antara apa yang bagi Allah dan apa yang bagi manusia. Jika manusia berupaya memanifestasikan risalahnya dalam kehidupan maka ia harus identik dengan Allah dan mencapai derajat kesempurnaan.
Apabila manusia di dalam kesadaran kontemporer dengan refleksi dan ketiadaannya di dalam tradisi klasik, maka solusinya menurut Hanafi harus mengembalikan yang hilang (tiada) itu ke dalam kesadaran kontemporer manusia melalui metode analisis dan dengan mengaktualkannya sebagai kebutuhan, putusan, dan tuntutan.
Dengan demikian, menurut Hanafi, manusia harus mengambil wahyu dan mendiskursus kehadiran manusia di dalamnya sebagai diskursus independen sehingga wahyu akan menghadirkan tuntutan zaman dan mentransformasikan potensi manusia menuju tindakannya dalam perkembangan zaman. Dengan begitu, manusia akan hadir dalam kesadaran teologi humanistik kontemporer.
Hanafi mengemukakan bangunan konsep teologi humanis yang berasal dari dan untuk manusia dengan tidak meninggalkan secara penuh esensi dasar tradisi teologi klasik yang masih relevan dengan kemanusiaan. Hanafi mengharuskan untuk membangun teologi humanis dengan fondasi rumusan ideologi yang memiliki identitas Islam yang universal dengan memperhatikan pergumulan ideologi-ideologi kontemporer yang jauh dari akar realitas kemanusiaan dan keharusan merumuskan kembali formulasi ilmu usuluddin beserta cabang-cabangnya sebagai formulasi baru risalah tauhid.
Dalam karya-karyanya, Hanafi hendak membangun narasi aktualisasi manusia sebagai bentuk al-insan al-kamil dari berbagai rekonstruksi pengetahuan modern tentang diskursus humanisme sebagai titik sentral peradaban dunia dalam bangunan teologi pemikiran Islam. Pemikiran Islam yang dibangun (pengetahuan) harus secara penuh mengilhami manusia menjadi tercerahkan, bukan malah sebaliknya manusia terpuruk karena hegemoni pengetahuan dan paradigma pemikirannya yang salah. Sehingga dalam konteks pemikiran Islam yang bersentuhan langsung dengan teks Alquran dan Hadis harus menyadarkan manusia dalam bertindak konstruktif sesuai dengan tuntutan zaman yang dinamis. (*Mahasiswa Pascasarjana Universitas Hidayatullah Jakarta)
Daftar Referensi
Achmad Baidlowi, “Tafsir Tematik Menurut Hassan Hanafi”, dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadis, Vol. 10, No. 1.Yogyakarta: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2009.
Ridwan, Reformasi Intelektual Islam. Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998.
Ridlwan Hambali “Hassan Hanafi: dari Islam Kiri, Revitalisasi Turats hingga Oksidentalisme” dalam M. Aunul Abied (ed). Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Bandung: Mizan, 2001.
Khudori Sholeh, Filsafat Islam. Sleman: Ar-Ruzz Media, 2014.
Anand Krishna, Manawi, Berasama Jalaluddin Rumi: mengapai kebijaksanaan. jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Hassan Hanafi, Islamologi 3: dari Teosentrisme ke Antroposentrisme. Yogyakarta: LkiS, 2004.
Hassan Hanafi, Islamologi 1: dari Teologi Statis Ke Anarkis. Yogyakarta: LkiS, 2004.
Hassan Hanafi, Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, terj. Asep Usman Ismail ddk. Jakarta: Paramadina, 2003.
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci, terj. Haidar Bagir. Bandung: Mizan, 2007.
Yunus Yusuf, Karakteristik Tafsir Al-Qur’an di indonesia Abad Ke-20, dalam Jurnal Ulumul Qur’an. Jakarta: Aksara Buana, 1992.