Oleh: Ahmad Fauzi*
Dalam KBBI, terpaksa adalah berbuat di luar kemauan sendiri karena terdesak oleh keadaan; mau tidak mau harus; tidak boleh tidak. Sedangkan jahat adalah sangat jelek, buruk; sangat tidak baik (tentang kelakuan, tabiat, perbuatan).
Jika disimpulkan “terpaksa jahat” berarti melakukan perbuatan yang tidak baik di luar kemauan sendiri karena terdesak oleh keadaan. Adapun orang yang terpaksa jahat adalah pelakunya.
Manusia hidup dalam sebuah sistem yang terbentuk secara alamiah, di mana ada dua potensi nilai di dalam interaksinya yaitu perbuatan baik dan perbuatan buruk/jahat.
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa terlepas dari sebuah komunitas baik itu di lingkungan terkecil seperti keluarga hingga di tempat yang lebih luas seperti lingkungan kerja, organisasi dan tempat umum lainnya.
Alasan kuat mengapa seseorang menjadi jahat menurut teori sosial karena perilaku kejahatan adalah hasil kerusakan sistem dan struktur sosial.
Seorang penjahat dari keluarga yang bercerai, mengalami masa kecil yang sulit, hidup di lingkungan sosial yang miskin dan banyak terjadi pelanggaran hukum, tidak memiliki pendidikan yang baik, memiliki gangguan fisik dan mental dan berbagai kesulitan psikososial lainnya.
Dalam perspektif ini, kesannya individu dilihat sebagai pasif bentukan sistem di sekelilingnya. Namun sebenarnya pada pendekatan bioekologis oleh Urie Brofenbenner, terdapat interaksi faktor personal dengan faktor sistem sosial di sekelilingnya.
Artinya, perilaku kejahatan akan muncul sebagai interaksi antara faktor personal dan faktor lingkungan yang harus dapat diidentifikasi (Margaretha Dosen Psikologi Forensik, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya).
Jika diamati dengan seksama, kejahatan di era ini bagaikan fenomena gunung es (iceberg phenomenon) tampak kecil di permukaan namun jauh lebih besar bongkahan di bawahnya.
Contoh kecil yang bisa kita saksikan adalah kasus korupsi di sebuah instansi pemerintah. Bisa saja yang tertangkap hanya satu atau dua orang padahal yang terlibat di dalamnya ada banyak, hanya saja tidak diproses hukum karena akan berpotensi mematikan roda pemerintahan.
Belum lagi kasus penyimpangan seksual oleh oknum pimpinan suatu lembaga pendidikan agama, bos-bos perusahaan, fungsionaris organisasi kemasyarakatan hingga merembet pada para influencer yang secara sitemik merugikan masyarakat awam dan konstruksi sosial yang harusnya berjalan ideal. Itu hanya baru dua kasus, belum lagi kasus-kasus lainnya.
Masyarakat mempunyai kecenderungan untuk meneladani orang-orang yang dianggap tokoh dalam lingkungannya. Apabila moral para tokoh atau pimpinan pemerintah, penegak hukum, bos-bos di perusahaan, elit politik atau jabatan penting lainnya rusak maka masyarakat pada umumnya pasti beranggapan bahwa tindakan jahat yang mereka lakukan itu adalah hal yang biasa.
Hal ini terus menerus menjadi sebuah kelaziman, yang dalam istilah akhir zaman adalah kezaliman merata di muka bumi.
Distrupsi informasi dan praktik berbau materialistik menuntut semua kalangan merasa tertekan untuk meraihnya dengan menghalalkan segala cara, tidak pandang teman ataupun saudara yang penting bisa meraih kehendak, sikat sana dan sini tanpa berfikir akibatnya, mengorbankan harga diri, yang penting hidup seperti “kata orang”, menghilangkan obyektivitas hanya sekedar untuk menang, menggugurkan kehormatan dengan tunduk pada politisi oportunis, berlari mengejar keinginan-keinginan tanpa kompetensi sehingga pada akhirnya merugikan orang lain, merusak lingkungan dengan alasan yang tidak argumentatif.
Semua itu karena ketidakmengertian mereka tentang istilah “tuntutan zaman”.
Yang terjadi saat ini adalah apabila kita ingin berkiprah di lembaga tertentu maka mayoritas terarah untuk melakukan perbuatan-perbuatan jahat. Di dunia tenaga kerja misalnya jika ingin menjadi karyawan swasta atau ASN terdapat oknum “orang dalam” yang memanfaatkan peluang itu, sedangkan bagi karyawan yang memerlukan pekerjaan terpaksa melakukan itu karena tidak ada pilihan lain.
Begitu juga di dunia usaha. Apabila ingin mendapatkan proyek maka para pengusaha harus menyetorkan ke “orang dalam” agar bisa mendapatkannya.
Di dunia politik mayoritas para kontestan tidak bisa lolos menjadi anggota DPR tanpa melakukan praktik money politic baik kepada partai maupun kepada masyarakat.
Praktik transaksional ini terjadi di semua tingkatan dari pusat hingga desa, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Di dunia pendidikan, apabila seseorang ingin masuk di fakultas kedokteran harus menyetorkan uang dengan jumlah yang besar agar bisa diterima.
Bagi para aktifis terdapat benturan ekonomi yang membuat mereka tunduk pada diel-diel kepentingan agar tidak menyuarakan kebenaran. Ada orang khusus dari pemerintah maupun swasta yang ditugaskan untuk mengondisikan itu.
Yang mencengangkan lagi apa yang terjadi di dunia hukum. Para penegak hukum justru menjadi kriminal secara terselubung. Orang yang seharusnya diamankan justru mengamankan.
Memang tidak semua berlaku seperti itu, namun jumlah mereka semakin hari semakin marak. Anda bisa merasakan itu ketika melihat penanganan kasus-kasus seperti narkoba, korupsi, persoalan yang melibatkan korporasi, mengurus SIM, kasus cabul yang melibatkan tokoh-tokoh penting, pengurusan izin tambang, pengawalan tambang ilegal, kongkalikong penggelapan pajak dan banyak perilaku amoral lainnya.
Pada dasarnya para oknum tersebut terpaksa melakukan perbuatan jahat karena tuntutan gaya hidup.
Namun, jika kita mendalami lebih lanjut penyebab utama kerusakan moral ini adalah pandangan dunia para oknum tersebut. Mereka mengkiblatkan ideologinya (sadar/tidak) kepada materialisme, tidak menempatkan materi pada tempatnya. Menjadikan materi sebagai satu-satunya tujuan. Mereka terjebak dengan skema yang dibuat oleh musuh kemanusiaan dengan langkah awal yaitu mendistorsi makna dan nilai-nilai agung dalam diri manusia. Mereka menganggap manusia hanya sebatas mencari kekayaan berlimpah, posisi strategis dan pemuasan hawa nafsu lainnya agar bisa diakui orang-orang sebagai pencapaian.
Hegemoni negara-negara Barat yang mengusung bendera imprealisme secara sistemik dengan melakukan berbagai cara seperti investasi di bidang ekonomi dan politik agar budaya mereka bisa masuk di negara-negara yang diincar, termasuk Indonesia.
Dengan kekuatan infrastruktur yang masif itu maka tak jarang masyarakat di berbagai lapisan terjebak dengan gaya hidup dan impian-impian semu dengan dalih kemerdekaan finansial, kebebasan berekspresi yang dilakukan secara serampangan, dan tanpa sadar merasa menjadi “si manusia paling modern”.
Hegemoni itu telah membuat orang-orang baik dan cemerlang menjadi sosok jahat, banyak orang cemerlang di masa mudanya berubah menjadi kumpulan orang yang aneh saat berada di suatu lembaga yang strategis, perubahan yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Injeksi materi dan eksistensi ternyata mampu mengubah perilaku orang-orang idealis itu.
Sebagai orang-orang yang belum terlibat dalam hiruk-pikuk tindakan irasional itu, apa yang harus kita lakukan?
Perubahan adalah sesuatu yang alamiah dan sejarah telah membuktikan itu. Terdapat golongan yang ingin memperbaiki kondisi dengan melakukan perlawanan-perlawanan pada keburukan yang terjadi di suatu lembaga agar dirinya dan orang-orang di sekitarnya mendapatkan keadilan.
Langkah utama yang harus dilakukan adalah tidak masuk dalam jebakan yang jahat ini walaupun Anda berada dalam sistem, yaitu dengan memahami pola-pola kejahatan yang dibuatnya.
Kita harus mempunyai pengetahuan tentang hukum, norma-norma agama, nilai-nilai etis dalam berhubungan antar sesama dan pengetahuan mendalam tentang aturan yang berlaku di setiap instansi atau komunitas yang kita tempati.
Kita harus bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan, karena ada kalanya keburukan bisa saja dipoles seolah-olah seperti kebaikan, dan kebaikan bisa saja dikaburkan sebagai sesuatu yang tidak diminati.
Tentu pengetahuan saja tidaklah cukup, mesti dibarengi dengan tekad yang kuat dan pengamalan yang maksimal.
Langkah selanjutnya adalah persenyawaan gerak. Untuk mewujudkan tatanan dunia yang berkeadilan tidak bisa dilakukan hanya seorang diri. Sebagaimana kejahatan yang sistemik haruslah dilawan dengan kebaikan yang terorganisir. Semua elemen yang tidak ingin menjadi jahat harus menyatukan persepsi dan gerakan agar praktik-praktik kejahatan tidak diamalkan lagi.
Kadang kala ketika sendiri, apalagi dengan banyaknya benturan dengan kebutuhan ekonomi dan tekanan di lingkungan keluarga membuat individu yang tergabung dengan gerakan, menjadi gamang dan terperdaya dengan iming-iming yang ditawarkan. Sehingga perlawanan yang dilakukan menjadi lemah, muncul angkara murka, ketidakpercayaan satu dengan yang lain.
Oleh karenanya, kebersamaan yang diikat oleh kesepakatan yang logis, bisa mengantisipasi tindakan personal yang merugikan itu.
Perlu digarisbawahi, tulisan ini bukan ingin mengajak para aktifis, penggerak atau pejuang untuk menjadi pribadi atau komunitas miskin. Melainkan agar para penggerak tidak terjebak oleh skema yang dibuat musuh.
Para aktifis atau kelompok perlawanan harus kaya, dan menjadi pekerja keras. Namun harus pula diraih dengan cara yang terhormat dan dipergunakan dengan bijak.
Terakhir, adalah konsistensi. Sebagaimana yang disampaikan sebelumnya, perubahan tidak hanya terjadi pada kemenangan kelompok idealis, sering kali kelompok idealis dikalahkan oleh kelompok oportunis.
Kelompok-kelompok yang menyuarakan pembenahan sistem yang berkeadilan ini bisa berubah karena ketidakcekatannya mengemas amanah pada posisi strategis yang dimiliki.
Dialektika melazimkan runtuhnya kekuatan lama di suatu lembaga, yang digantikan oleh kekuatan baru. Di situlah banyak para aktivis berguguran idealismenya.
Hal ini karena ketidak-konsistenan membawa misi utama. Melupakan tujuan-tujuan untuk memperbaiki sistem, sama halnya dengan meregenerasi tindakan yang dilakukan orang-orang sebelumnya. Mengulang sejarah kelam dan tidak belajar dari kesalahan adalah tindakan yang bodoh.
Semoga kita semua terjaga dari kecelakaan sejarah! (*CEO Berita Alternatif)