Search
Search
Close this search box.

Solusi Masalah Minyak Goreng: Pecat Tiga Menteri hingga Kembalikan HET

Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Perdagangan, dan Menteri Perindustrian harus bertanggung jawab terhadap masalah kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng di Indonesia.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menegaskan, ketiga menteri tersebut mesti mundur dari jabatannya.

Kata dia, merea mengetahui akar masalah di balik kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng. Namun, ketiganya kerap mengubah-ubah kebijakan.

Advertisements

Terakhir, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan pencabutan terhadap Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng.

Karena itu, ia mendorong Presiden Jokowi melakukan reshuffle kabinet serta mengganti tiga menteri tersebut. Pasalnya, menurut dia, ketiganya telah mengambil langkah yang fatal bagi kelangsungan nasib banyak orang.

“Bukan lagi tidak becus bekerja. Kalau fatal ini dia tahu masalahnya, tapi tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan,” tegas Bhima sebagaimana dikutip beritaalternatif.com dari kanal YouTube Zainal Arifin Mochtar, Jumat (27/5/2022).

Mestinya pemerintah mengumumkan mafia pangan yang mengakibatkan kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng di Indonesia. Namun, kenyataannya hal itu tidak dilakukan oleh para pimpinan kementerian yang bertanggung jawab terhadap masalah tersebut.

Kemudian, ia menyarankan pemerintah memprioritaskan subsidi minyak goreng kemasan serta masyarakat yang membutuhkan subsidi. Data warga yang diberikan subsidi dapat merujuk pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial.

Dia juga mendorong pemerintah menggunakan dana dari APBN untuk memberikan subsidi kepada masyarakat.

Saat ini, pemerintah memakai dana pungutan ekspor untuk menjalankan kebijakan subsidi minyak goreng. “Auditnya lebih susah daripada dana APBN,” ujarnya.

Subsidi dari dana tersebut diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar yang menjadi konglomerasi dalam industri kelapa sawit dan minyak goreng.

Pemberian subsidi kepada para pengusaha tersebut dinilai Bhima dilakukan atas dasar desain pihak-pihak tertentu yang juga memiliki pengaruh di pemerintahan. Karena itu, subsidi yang diberikan tidak akan tepat sasaran.

Sebelumnya, pemerintah telah menetapkan subsidi untuk minyak goreng kemasan. Langkah ini dianggapnya belum tepat sasaran.

Bhima menyebutkan, setiap minyak goreng kemasan memiliki barkot, kode produksi, dan perusahaan yang memproduksinya. Pemanfaatan data tersebut dapat memudahkan pengawasan dalam pemberian subsidi minyak goreng kemasan.

“Minyak goreng ini diproduksi di perusahaan A atau B, kenapa kok enggak sampai ke konsumen? Tanggal berapa dia sampai? Itu kan bisa dengan teknologi. Tapi tidak dilakukan,” sesalnya.

Bhima mengatakan, pengawasan terhadap subsidi minyak goreng curah akan jauh lebih sulit dilakukan oleh pemerintah. “Akan lebih liar lagi,” ucapnya.

Kemudian, dia menekankan agar penegakan hukum dilakukan dengan tegas terhadap pihak-pihak yang bermain di balik kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng.

Ia menegaskan, pelanggaran utama yang harus ditindak secara hukum dalam kasus ini adalah penimbunan minyak goreng. Pelaku usaha yang ditindak terlebih dahulu dalam kasus ini adalah distributor utama.

Jika ada sidak di distributor utama atau produsen minyak goreng, mereka akan dengan santai menjawab bahwa stok yang disimpan di gudang akan disalurkan untuk industri makanan.

Padahal, industri itu berada dalam grup yang sama dengan perusahaan yang memproduksi dan mendistribusikan minyak goreng tersebut.

“Betulkah sebanyak itu butuhnya? Dan kenapa masih ada di gudang?” tanyanya.

Aparat hukum, lanjut dia, melakukan sidak terhadap produsen dan distributor kecil yang memiliki stok yang relatif kecil dibandingkan distributor utama. Namun, penegakan hukum terhadap mereka tergolong “keras”.

Kata Bhima, penegakan hukum semacam ini tidak tepat sasaran. Pasalnya, penindakan terhadap pemain-pemain kecil yang hanya menimbun 100 liter tidak akan berpengaruh signifikan terhadap penyelesaian masalah kelangkaan minyak goreng.

Terakhir, ia meminta pemerintah mengembalikan HET minyak goreng yang sebelumnya Rp 14.000 per liter. Hal ini sebagai bentuk proteksi terhadap konsumen.

Pengembalian HET tersebut dinilainya tidak akan merugikan perusahaan. Pasalnya, margin keuntungannya telah dihitung oleh pemerintah.

“Saat ini memang butuh perlindungan terhadap konsumen,” ucapnya. (*)

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA