Search
Search
Close this search box.

Titik Temu Perayaan Natal Yesus antara Umat Islam dan Kristen

Listen to this article

Kukar, beritaalternatif.com – Setiap tanggal 25 Desember, acap muncul dua perbedaan pendapat di kalangan umat Islam tentang kebolehan dan keharaman pengucapan selamat Natal atas kelahiran Yesus.

Merespons hal itu, Cendekiawan Muslim Indonesia, Dr. Habib Muhsin Labib menjelaskan, mengucapkan selamat atas hari kelahiran seseorang, apalagi manusia agung, tak perlu tanggal khusus atau tanggal yang sesuai tanggal kelahirannya. Tapi, bersama-sama merayakannya tentu lebih bergaung.

Kata dia, Nabi Muhammad SAW dirayakan kelahirannya alias maulidan setiap saat. Merayakan kelahirannya adalah cara beradab dalam berterima kasih atas anugerah petunjuk yang disebarkannya.

Advertisements

“Berterima kasih atas anugerah hidayah berarti mencintai ajaran-ajarannya. Mencintai ajaran-ajarannya berarti berkehendak menerapkannya,” kata dia sebagaimana dikutip beritaalternatif.com, Sabtu (25/12/2021) siang.

Ia menyebutkan, dalam Alquran, ada ayat yang memuat ucapan selamat kepada Isa pada hari dilahirkan, hari wafat, dan hari kebangkitannya. “Salam atasnya pada hari dilahirkan, hari wafat, dan hari dibangkitkannya dalam keadaan hidup.” (QS. Maryam: 15).

Habib Muhsin kemudian bertanya, bisakah semua rakyat Indonesia bergembira karena alasan yang sama, yaitu merayakan kelahiran Yesus? Katanya, diperlukan sebuah analisis yang ‘agak’ berani sekaligus argumentatif tanpa mengurangi secuil pun keyakinan masing-masing.

Dia menjelaskan, Muhammad, Yesus, dan para nabi telah membawa ajaran cinta, cinta Allah, cinta tetangga, serta cinta kepada makhluk-makhluk-Nya yang terkecil sekalipun. Dalam teks-teks non-Kristen, diriwayatkan Yesus memberi makanan kepada makhluk-makhluk di laut.

Dalam Alquran, jelas Habib Muhsin, terdapat sebuah ayat yang menggambarkan penghormatan yang begitu tinggi kepada Maryam al-Adzra’ (Perawan Suci Bunda Maria) dan menganugerahi Yesus gelar “Kalimat Allah”.

“Wahai Maryam, sesungguhnya Allah memberikan kepadamu kabar gembira tentang sebuah Kalimah dari-Nya, namanya al-Masih putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan akhirat dan salah seorang yang didekatkan (kepada Allah).” (QS. Ali Imran:45)

Habib Muhsin melanjutkan, tentu saja penafsiran mengenai logos dalam teologi Kristen berbeda dengan penafsiran kalimah oleh ulama Islam. Bagi umat Muslim, kalimah adalah makhluk, dan bahkan merupakan prinsip kreatif karena ia berada dalam ucapan Allah dari kata “Jadi! Maka jadilah ia”.

Lebih jauh, Habib Muhsin menjelaskan, Alquran menyebut Kristus sebagai “Kalimat Allah” tidak untuk mendewakannya atau menganggapnya bersifat ketuhanan (divine), tetapi untuk menegaskan statusnya sebagai nabi. Karena kenabiannya, Yesus menjadi “firman Tuhan” karena ruhnya dibersihkan sedemikian rupa sehingga menjadi cermin untuk mengenal Tuhan.

Alquran juga menyebutnya sebagai “Ruh Allah”. “Sesungguhnya Al-Masih Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan Kalimat-Nya dan Ruh-Nya.” (QS. An-Nisa: 171). Kata “Ruh dari-Nya” memberi signifikansi pengertian universal bahwa poros moral Kristen dan Islam itu sama.

Mengutip Legenhausen dalam pengantar The Gospel of Ali, Habib Muhsin menjelaskan, para penulis Kristen cenderung menitikberatkan teologinya pada fungsi Yesus sebagai juru selamat. Ini tampaknya tidak memiliki tempat di dalam Islam.

“Umat Islam menerima Yesus sebagai juru selamat bukan karena ke-Yesus-annya namun karena fungsi kenabian sebagai penyelamat manusia dari malapetaka dosa melalui pewartaan pesan petunjuk Allah, bukan melalui penebusan dan penyaliban,” tegasnya.

Di lain pihak, lanjut dia, para kristolog Muslim cenderung menghasilkan karya-karya polemik mereka sendiri-sendiri. Mereka berupaya menunjukkan berapa banyak teks di dalam Injil yang bersesuaian dengan pandangan Islam mengenai Kristus sebagai seorang nabi ketimbang sebagai pribadi ber-”trinitas”. Misalnya, ini ditunjukkan dalam “Was Jesus Crucified?” karya Ahmed Deedad (1992). Inilah deadlock yang dapat memperuncing kecurigaan.

Karena itulah, saran Habib Muhsin, diperlukan sebuah terobosan baru untuk menghindari kebuntuan ini. Mungkin salah satu cara terbaik bagi umat Kristen untuk dapat berdialog dengan umat Islam adalah ‘mengintip’ teks-teks Islam tentang profil Yesus, terutama dalam Alquran dan hadis.

Ia juga menyarankan, wawasan mendalam mengenai perbedaan antara Islam dan agama lainnya, termasuk Kristen, dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Frithjof Schuon yang menghadirkan permulaan Kristolgi sejati perspektif Sufi dalam Islam dan filsafat perenial. Juga dalam The Muslim Jesus: Sayings and Stories in Islamic Literature, Tarif Khalidi telah mengumpulkan referensi-referensi Islam tentang Yesus dari abad kedelapan sampai delapan belas, termasuk karya-karya mistik, teks-teks historis tentang para nabi dan orang-orang suci (wali), dan berbagai seleksi dari hadis dan Alquran.

Tulisan-tulisan tersebut, kata Habib Muhsin, membentuk suatu pola besar mengenai teks-teks yang berhubungan dengan Yesus dalam literatur non-Kristen. Dengan paradigma ini, mungkin perayaan Natal bisa dipandang secara lebih universal, bukan hanya hari raya kelahiran Yesus dari perspektif teologi Kristen.

“Selamat atas kelahiran Yesus,” tutup Habib Muhsin. (ln)

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA