BERITAALTERNATIF.COM – Banyak kaum muslimin yang tak mengenal salah satu pribadi penting dalam sejarah Islam ini. Beliau merupakan tokoh yang dari nasabnya tersambung dengan Rasulullah Saw. Namanya adalah Imam Ali bin Musa Al-Kadzim bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Baqir bin ali Zainal Abidin bin Husein Assyahid bin Ali Murtadha dan Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah Saw.
Imam yang bergelar Ar-Ridha ini lahir di Madinah pada 11 Dzulkaidah 148 H di masa kekhalifahan Abbasiyah. Ia adalah anak dari Imam Musa Al-Kadzim. Dia dilahirkan oleh ibu yang bernama Tahirah. Imam Ridha mempunyai adik bernama Fathimah Maksumah dan pasangan yang bernama Sabikah dan Ummu Habibah serta anak-anak bernama Muhammad, Ja’far, Abu Muhammad Hasan, Ibrahim, Aisyah, dan Fatimah.
Makmun Abbasi Khalifah pada masa itu melamar Imam Ridha as untuk putrinya Ummu Habib atau Ummu Habibah dan Imam Ridha as menerima pinangan itu. Thabari menyebut pernikahan ini pada peristiwa-peristiwa tahun 202 H. Disebutkan bahwa tujuan Makmun Abbasi menikahkan putrinya dengan Imam Ridha as adalah untuk mendekatkan diri dengan Imam Ridha dan memiliki jalur ke rumahnya guna memperoleh informasi lebih jauh terkait agenda-agenda Imam Ridha as karena dianggap mempunyai pengaruh terhadap kekhalifahan Abbasiyah.
Umat Islam bermazhab Syiah meyakini bahwa Imam Ali Ar-Ridha adalah imam kedelapan dari dua belas imam sebagaimana yang diriwayatkan dari Jabir yang menanyakan maksud dari ulil amri dalam ayat ketaatan yang harus diberikan orang-orang beriman. Nabi Muhammad Saw menjawab, “Mereka adalah wakil-wakilku dan pemimpin setelahku. Yang pertama dari mereka Ali bin Abi Thalib, setelahnya Hasan, kemudian Husain, setelahnya Ali bin al-Husain, kemudian Muhammad bin Ali yang dalam Taurat diperkenalkan sebagai Baqir dan kamu kelak akan bertemu dengannya. Saat kamu bertemu dengannya sampaikan salamku padanya. Kemudian Shadiq Ja’far bin Muhammad setelahnya Musa bin Ja’far kemudian Ali bin Musa setelahnya Muhammad bin Ali kemudian Ali bin Muhammad setelahnya Hasan bin Ali kemudian seseorang yang nama dan kuniyahnya sama denganku, ia adalah hujjah Allah di muka bumi dan Baqiyatullah di antara manusia setelah Hasan bin Ali, yang melalui tangannya Allah Swt membebaskan timur dan barat.” Bagi kaum Syiah, Imam Ridha adalah manusia suci.
Putra Mahkota Kekhalifahan Abbasiyah
Setelah Imam Ridha as berdiam di Marv, Makmun mengutus seseorang ke kediaman Imam Ridha as dan menyampaikan bahwa dirinya ingin lengser dari khilafah dan menyerahkan urusan khilafah ini kepada Imam Ridha. Imam dengan tegas menolak usulan Makmun seraya berkata, “Jika pemerintahan merupakan hakmu, Anda tidak bisa memberikannya kepada orang lain dan jika itu bukan milikmu, Anda tidak mempunyai kelayakan untuk memberikannya”.
Para peneliti meyakini bahwa jawaban Imam tersebut telah meruntuhkan dan mempermasalahkan dasar legalitas kekhilafahan Makmun. Sayid Ja’far Murtadha Amili meyakini bahwa pada dasarnya Makmun tidak serius dalam menawarkan khilafah kepada Imam Ridha as.
Ia melontarkan pembahasan panjang dan pada akhirnya mengambil kesimpulan bahwa tawaran Makmun adalah sebuah upaya untuk mengukuhkan pemerintahan dan khilafahnya.
Setelah itu, Makmun meminta supaya wilayah ahd (putra mahkota) ini diserahkan kepada Imam Ridha as. Imam pun tetap menolak dengan tegas. Di sini Makmun angkat bicara dengan nada mengancam, “Umar bin Khattab membuat syura beranggotakan enam orang untuk memilih khalifah. Di antara mereka terdapat datukmu, Amirul Mukminin, ‘Ali bin Abi Thalib. Umar mensyaratkan bahwa siapa yang menentang keputusan syura harus dipenggal kepalanya. Jadi, tidak ada jalan lain kecuali menerima apa yang saya tawarkan kepada Anda.”
Imam menjawab, “Aku menerima tawaranmu, dengan syarat aku tidak memerintah dan tidak pula melarang, aku tidak mengeluarkan fatwa dan tidak pula menjadi hakim, aku tidak mengangkat seseorang dan tidak pula memecatnya, dan aku tidak akan mengubah sesuatu dari posisi aslinya.” Makmun menerima semua syarat yang diajukan oleh Imam Ridha as.
Dengan demikian, Makmun pada hari Senin, 7 Ramadhan 201 H memberikan baiat kepada Imam Ridha as sebagai putra makhota setelahnya. Dan, memakaikan pakaian hijau kepada masyarakat sebagai ganti pakaian hitam. Kemudian Makmun menuliskan instruksi ini di seluruh penjuru kota dan meminta warga masyarakat untuk berbaiat kepada Imam Ridha as serta membacakan namanya di mimbar-mimbar khutbah.
Di samping itu, Makmun mencetak koin dinar dan dirham dengan nama Imam Ridha as. Seluruh masyarakat mengikuti titah ini kecuali seseorang yang enggan mengenakan pakaian hijau yaitu Ismail bin Ja’far bin Sulaiman bin Ali Hasyimi.
Kecemerlangan dalam Debat
Setelah membawa Imam Ridha ke Marv, Makmun mengadakan beberapa forum ilmiah dengan menghadirkan ulama dari beberapa mazhab dan agama. Dalam beberapa pertemuan ini, berlangsung perdebatan antara Imam Ridha as dan ulama lainnya yang secara umum berkisar tentang masalah-masalah ideologi dan fikih. Sebagian dari debat ini disebutkan oleh Thabrisi dalam al-Ihtijāj.
Sebagian dari debat (atau ihtijajāj) adalah: debat tentang masalah tauhid dan keadilan, imamah, debat dengan Sulaiman Marwazi, debat dengan Abu Qurah, debat dengan Ahlulkitab (Jatsaliq), debat dengan Ahlulkitab (Ra’s al-Jalut), debat dengan Zoroaster, dan debat dengan pimpinan Shabaiyyah.
Makmun dengan menyeret Imam Ridha as dalam acara debat bermaksud ingin menghilangkan gambaran masyarakat tentang para imam Ahlulbait/Syiah sebagai pemilik ilmu khusus misalnya ilmu ladunni.
Syekh Shaduq dalam hal ini menulis, “Makmun mendudukkan ulama level atas dari setiap firkah yang ada untuk berhadap-hadapan (berdebat) dengan Imam Ridha as sehingga dengan demikian ia dapat membuat pamor Imam Ridha as jatuh dengan perantara ulama tersebut. Hal ini dilakukan Makmun karena sifat hasud terhadap imam, kedudukan ilmu dan sosial imam di tengah masyarakat. Namun tiada satu pun dari ulama yang mampu menandingi imam kecuali mengakui keutamaan dan argumen yang disuguhkan Imam Ridha as yang membuat mereka tertegun dan menerimanya.”
Forum-forum debat ini perlahan-lahan memunculkan banyak persoalan bagi Makmun. Tatkala ia mengetahui akibat buruk dari pengadaan acara-acara seperti ini maka ia segera mengambil langkah membatasi gerak Imam Ridha as.
Diriwayatkan dari Abdus Salam Harawi bahwa Makmun dikabarkan, “Imam Ridha as mengadakan pelajaran-pelajaran teologis sehingga membuat orang-orang menjadi kagum kepadanya.”
Makmun menugaskan Muhammad bin Amru Thusi untuk menghalau masyarakat supaya tidak menghadiri majelis tersebut. Kemudian Imam mengutuk Makmun atas perbuatan ini.
Sirah Imam Ridha
Pertama, ibadah. Dikisahkan, suatu ketika Imam Ali Ridha as sedang melakukan dialog ilmiah dengan para pemuka dari bermacam agama dan aliran madzhab. Terdengarlah suara azan tanda masuk waktu salat. Saat itu juga beliau segera meninggalkan tempat. Yang lainnya berusaha mencegahnya supaya menunda salatnya dan melanjutkan dialog terlebih dahulu. Imam Ali Ridha as menjawab, “Aku salat dulu, nanti aku akan kembali.”
Ada pula kisah menarik mengenai ibadah malam beliau. Dikisahkan, ketika Imam Ali Ridha as menghadiahkan bajunya kepada Di’bil bin al-Kuza’i, ia berpesan, “Jagalah baju ini, aku telah memakainya untuk ibadah seribu malam. Per malamnya aku salat seribu rakaat. Aku juga telah mengkhatamkan Al-Qur’an seribu kali dengan memakai baju ini.” Disebutkan pula, Imam Ali Ridha as senang melakukan sujud berlama-lama.
Kedua, akhlak. Banyak riwayat yang menyebutkan tentang bagaimana perilaku dan akhlak Imam Ali Ridha as di masyarakat. Beliau selalu bersikap lembut dan ramah dengan para budak dan kalangan bawah. Bahkan setelah menjadi Putra Mahkota, beliau tetap tidak berubah. Ibnu Syahr Asyub meriwayatkan, suatu hari Imam Ali Ridha as pergi ke pemandian umum. Di sana ada seseorang yang tidak mengenalnya. Orang tersebut meminta Imam untuk membersihkan dan memijat badannya. Ia menuruti permintaannya.
Melihat hal itu, orang-orang yang mengenal Imam segera memberitahu pada orang tadi tentang siapa yang sedang memijatnya. Setelah mengetahuinya, orang tersebut sangat merasa malu dan memohon maaf pada Imam. Namun ternyata Imam malah menenangkannya dan melanjutkan memijat.
Ketiga, pendidikan. Salah satu yang sangat ditekankan dalam ajaran Imam Ali Ridha as adalah hal mendidik anak dalam keluarga. Di antara pesan yang beliau sampaikan pada umatnya adalah supaya menikah dengan pasangan yang saleh atau salehah, menaruh perhatian serius selama masa kehamilan, memberikan nama yang baik pada anak, menyayangi dan memuliakan anak kecil, dan lain sebagainya.
Disebutkan, Imam Ali Ridha as selalu berusaha menjalin keakraban dengan sanak saudara dan orang-orang di sekitarnya. Tiap kali memiliki waktu luang, ia selalu mengumpulkan para saudara dan orang-orang sekitarnya, baik yang tua maupun muda untuk mengobrol dan bercengkrama.
Keempat, ilmu. Ketika berada di Madinah, tidak jarang para ulama bertanya pada Imam Ali Ridha as tentang persoalan yang tidak mereka ketahui jawabannya. Saat sedang di Kota Marv, ia juga banyak didatangi untuk melakukan dialog menyangkut berbagai tema sehingga banyak persoalan dapat terjawab dan terselesaikan.
Selain itu, di rumah dan di Masjid Marv, ia membuka majelis ilmu. Namun, majelis tersebut makin berkembang, Makmun memerintahkan supaya majelis itu ditutup.
Banyak riwayat dari Imam Ali Ridha as yang menerangkan tentang pentingnya masalah kesehatan dan kedokteran. Imam banyak menjelaskan hal-hal terkait makanan sehat, kebersihan, kesehatan, pencegahan dan pengobatan penyakit. Kitab yang berjudul Tibbu al-Ridha (terkenal dengan nama Risalah Dzahabiah) adalah kitab yang diambil dari ajaran Imam Ali Ridha as. Di dalamnya termuat pesan-pesan Imam terkait masalah medis.
Kelima, Imam tidak bertaqiyyah dalam persoalan imamah. Selama menjadi imam, Imam Ali Ridha as sedapat mungkin tidak mempraktikkan konsep taqiyyah, khususnya menyangkut masalah imamah.
Sebab waktu itu terjadi peristiwa-peristiwa yang mengancam keutuhan akidah imamiah, di antaranya adalah peristiwa yang menyangkut gerakan Waqifah. Terlebih, sisa-sisa pengikut kelompok Fathahiah masih terlihat aktif. Beliau justru makin banyak menyampaikan hal-hal yang menyangkut masalah imamah. Misalnya dalam pembahasan tentang wajibnya ketaatan pada imam.
Sebenarnya hal itu telah dipaparkan sejak masa Imam Ja’far Shadiq as, namun para imam yang lain menyampaikannya dengan cara taqiyyah. Sedangkan Imam Ali Ridha as, secara gamblang dan tanpa khawatir sedikitpun, menyampaikan bahwa ia adalah imam yang harus ditaati.
Dengan sikapnya itu, kepada para pengikutnya Imam ingin menyampaikan, “Bertakwalah dengan baik, jangan menyampaikan perkataan dan ajaran kami kepada sembarang orang.”
Suatu ketika Makmun mengirim surat kepada Imam Ali Ridha as. Isinya, dia meminta pada imam supaya menjelaskan apa saja pokok-pokok Islam yang asli. Dalam jawabannya Imam menulis, pokok-pokok Islam yang asli adalah: tauhid, kenabian Nabi Muhammad saw, imamah Imam Ali as sebagai penerus dan penjaga risalah Nabi saw dan sebelas imam setelahnya. Dalam penjelasannya itu beliau menggunakan istilah “orang yang memegang tanggung jawab urusan kaum muslimin”.
Ima Ridha Syahid
Dinukilkan bahwa kesyahidan Imam Ridha as terjadi pada hari Jumat atau hari Senin akhir bulan Shafar, atau 17 Shafar, atau 21 Ramadhan, atau 18 Jumadil Awal, atau 23 Dzulkaidah, atau akhir Dzulkaidah, pada tahun 202 H, atau 203 H, dan atau 206 H.
Kulaini menyebutkan wafatnya Imam Ridha as terjadi pada bulan Shafar tahun 203 H pada umur 55 tahun. Menurut pandangan kebanyakan ulama dan ahli sejarah, tahun kesyahidan Imam as adalah tahun 203. Thabrisi menukilkan hari kesyahidan beliau pada akhir bulan Shafar.
Syekh Mufid menukilkan, Makmun menyuruh Abdullah bin Basyir untuk tidak memotong kukunya sehingga lebih panjang dari batas normal, kemudian Makmun memberinya sesuatu yang menyerupai buah asam dan memerintahkannya untuk membuat benda itu menjadi sebuah adonan dengan tangannya.
Kemudian Makmun pergi ke hadapan Imam Ridha as dan memanggil Abdullah lalu memerintahkannya untuk memeras air delima dengan tangannya lalu disajikan kepada Imam Ridha as. Dan hal inilah yang menjadi penyebab wafatnya Imam Ridha as setelah dua hari berselang.
Mengenai sebab dibunuhnya Imam Ridha as oleh Makmun terdapat beberapa alasan yang disebutkan, di antaranya: kemenangan Imam Ridha as atas berbagai ulama dalam pelbagai majelis debat, sambutan hangat masyarakat atas kedatangan Imam Ridha pada acara pelaksanaan salat Id, membuat Makmun merasa terancam dan ia sadar bahwa pemberian wilayat ahdi kepada Imam telah membuat keadaan semakin sulit untuknya.
Oleh karena itu, ia memasang mata-mata untuk mengawasi gerak-gerik Imam Ridha as jangan sampai menyusun agenda untuk melawan Makmun.
Imam Ridha as sama sekali tidak takut kepada Makmun dan acap kali jawaban-jawaban yang diberikan Imam Ridha as membuat Makmun gundah dan sedih. Kondisi ini telah membuat Makmun murka dan semakin besar kusumatnya kepada Imam Ridha meski tidak ditampakkan.
Setelah syahidnya Imam Ridha, Makmun mengebumikannya di rumah Hamid bin Qahthabah Thai (Buq’ah Haruniyah) di Desa Sanabad. Dewasa ini Haram Radhawi terletak di Iran dan tepatnya di Kota Masyhad, Iran. Dan, setiap tahunnya dikunjungi banyak peziarah dari berbagai negara. (fz)
Sumber: Wikishia