Oleh: Prof. Ibrahim Amini*
Bagi manusia, pernikahan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang mengandung banyak manfaat. Di antaranya yang terpenting adalah:
Pertama, membentuk keluarga dan melepaskan diri dari kebimbangan serta kehancuran hidup. Bagi laki-laki dan perempuan, hidup membujang tak ubahnya dengan nasib seekor burung yang tidak memiliki sangkar. Dengan menikah, seorang manusia akan memiliki sangkar tempat kembali; mendapatkan teman hidup yang menyenangkan hati, tempat menyimpan rahasia, sekaligus penolong dan pelipur laranya.
Kedua, menyalurkan dorongan seksual. Kebutuhan seksual dalam diri manusia sangatlah krusial dan vital. Karena itu, seseorang pasti memerlukan suami atau istri sebagai pasangan hidupnya sehingga menjadikan dirinya aman dan nyaman. Pasangannya ini diharapkan dapat menemani, menyayangi, dan menjadi saluran kebutuhan dirinya kapan pun dikehendaki.
Ketiga, kebutuhan seksual merupakan sesuatu yang bersifat alamiah. Karenanya, manusia harus segera menyalurkan keinginan ini. Kalau tidak, niscaya akan muncul pelbagai penyakit jiwa, fisik, maupun sosial. Kita sering menyaksikan betapa banyak orang yang tidak atau menolak menikah kemudian terjangkiti penyakit jiwa ataupun fisik.
Keempat, memperbanyak keturunan. Melalui pernikahan, seseorang dapat menghasilkan banyak keturunan yang merupakan salah satu tiang penyangga kehidupan rumah tangga, sekaligus akan menjaga ketenangan serta ketenteraman hubungan suami-istri.
Berdasarkan itu, Alquran dan hadis-hadis seringkali menegaskan betapa pentingnya pernikahan. Umpama dalam ayat Alquran yang mengatakan, “Dan di antara tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (al-Rum: 21)
Rasulullah bersabda, “Tak ada bangunan yang lebih dicintai Allah Swt dibandingkan bangunan pernikahan.”
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “Menikahlah kalian karena pernikahan adalah sunnah Rasulullah. Sesunggunya beliau bersabda, ‘Barangsiapa yang ingin mengikuti sunnahku, maka sunnahku adalah menikah; dan berusahalah untuk mendapatkan anak, karena aku pada hari kiamat nanti akan berlomba, mana umat yang paling banyak; hati-hatilah menyusui anak-anak kalian kepada wanita yang berzina dan gila, karena sesungguhnya air susu itu mempengaruhinya.’”
Imam Ali Ridha bin Musa berkata, “Tak ada manfaat jauh lebih banyak yang diperoleh seorang hamba daripada istri yang shalihah. Kalau ia melihatnya, ia akan senang dan kalau ia pergi, istrinya akan menjaga kehormatan dan hartanya.”
Manfaat pernikahan terbagi menjadi dua bagian. Salah satu bagiannya akan diperoleh di kehidupan dunia, di mana setiap manusia memiliki kekhasannya masing-masing. Sementara bagian lainnya juga diperoleh di dunia ini, di mana tidak terdapat perbedaan antara yang satu insan dengan insan lainnya, bahkan dengan seluruh makhluk hidup (masalah seksual).
Manfaat kedua ini tentu bukanlah menjadi tujuan pokok pernikahan. Sebabnya, manusia tidak diciptakan hanya untuk menikmati seks, makanan, dan minuman belaka, untuk kemudian mati. Sesungguhnya, kedudukan manusia jauh lebih tinggi dari sekadar itu. Manusia diciptakan agar menggapai kesempurnaan dengan ilmu pengetahuan, amal perbuatan, dan akhlak baik.
Dengan semua itu, ia diharapkan mampu meraih kedudukan yang sempurna (kamal), berjalan di atas jalan lurus kemanusiaan, untuk seterusnya terbang menuju kedudukan tinggi di sisi Allah Swt. Status sebagai maujud yang mulia akan dilekatkan apabila manusia mampu menggapai kedudukan yang tinggi. Yakni, ketika ia menyucikan dan membimbing jiwa tentang bagaimana menjauhkan maksiat, serta memfokuskan diri pada nilai-nilai akhlak yang luhur. Jelas, semua itu tidak dapat dilakukan para malaikat!
Manusia merupakan maujud yang kekal. Ia datang ke jagat alam ini agar—dengan disertai kepatuhan terhadap apa yang dibawa para nabi dan rasul—dirinya memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Pada akhirnya, ia akan kekal selamanya di sisi Allah Swt yang meridhai-Nya.
Bertolak dari semua itulah, kita akan membincangkan secara panjang lebar tentang topik yang berkenaan dengan tujuan pokok pernikahan. Manusia yang menginginkan kedudukan (ruhaniah) yang tinggi dan senantiasa bersusah payah menjauhkan diri dari pelbagai kekeliruan dan kemaksiatan hidup, seyogianya menambatkan diri di pelabuhan hati seorang suami atau istri yang shalih. Itulah prasyarat mutlak agar dirinya mampu menggapai tujuan yang tinggi nan mulia. Dua orang mukmin dapat membangun keluarga baik-baik dengan cara menikah. Dengan begitu, keduanya akan dapat saling mengasihi dan menyayangi satu sama lain, sekaligus mendapatkan segenap kelezatan hidup yang dihalalkan Allah, baik yang bersifat mubah maupun sunnah.
Secara pasti mereka akan jauh (atau dijauhkan) dari segenap kenikmatan yang ilegal (diharamkan syariat) dan dari pusat-pusat maksiat yang dapat menjebak seseorang ke dalam kebiasaan untuk melakukan senegap hal yang dibenci-Nya. Karenanya, nabi dan para imam suci acapkali menegaskan akan pentingnya lembaga pernikahan. Tanpanya (ikatan suci pernikahan), manusia pasti akan terjerumus dalam lembah kebejatan.
Rasulullah swt bersabda, “Jika seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya dan jagalah separuhnya yang tersisa.”
Imam Ja’far bin Muhammad as-Shadiq berkata, “Shalat dua rakat yang dikerjakan orang yang telah menikah lebih baik dibandingkan 70 rakaat yang dikerjakan orang yang belum menikah.”
Seseorang tentu mampu memainkan peran sebagai suami atau istri yang baik dan benar apabila memang memiliki perhatian yang sungguh-sungguh terhadap agamanya. Kalau seorang suami atau istri melakukan tugasnya masing-masing dan meninggalkan pelbagai hal yang haram dan makruh serta berakhlak baik, niscaya dirinya akan sanggup menunaikan perintah Allah. Inilah kunci kebenaran. Kalau saja suami atau istri kukuh dalam agamanya dan mengarungi hidupnya dalam terang pendidikan yang diajarkan Allah dalam kitab-Nya, maka salah satu dari mereka akan menolong yang lain. Lebih dari itu, ia akan senantiasa mendukung terlaksananya segenap apa yang diinginkan Allah Swt dalam kehidupan. Adakah mujahid di jalan Allah, tanpa bantuan dan kerelaan istrinya, sanggup berperang demi membela serta menjaga tujuan-tujuan Islam yang tinggi dan mulia?
Suami mana yang, tanpa bantuan istrinya, mampu bekerja memperoleh sesuatu hasil yang pada suatu saat kelak bisa dipergunakan sesuai dengan syariat ilahi dan akhlak yang baik? Bisakah dirinya (sang suami) mengeluarkan uang penghasilannya tanpa berlebih-lebihan dan ditujukan pada hal-hal yang baik dan bermanfaat kalau saja istrinya tidak membantu dan menolongnya?
Seorang suami yang mukmin akan senantiasa mendoakan dan mengharapkan istrinya mengerjakan amal shalih. Sedangkan seorang suami yang tidak mukmin pasti akan menggiring istrinya kepada segenap hal yang tidak disukai masyarakat, agama, dan akhlak. Akibat dari semua itu, pasangan tersebut niscaya akan semakin menjauh dari tujuan insaniah nan suci dan hakiki.
Dengan demikian, Allah Swt memerintahkan seluruh laki-laki maupun perempuan, tanpa kecuali, untuk menjadikan agama, akhlak, dan keimanan sebagai prasyarat utama bagi dibangunnya hubungan suami-istri dalam suatu mahligai pernikahan.
Imam Ja’far bin Muhammad as-Shadiq berkata, “Rasulullah bersaba, ‘Allah berfirman, ‘Kalau Aku ingin mengumpulkan kebaikan dunia dan akhirat bagi seorang muslim, maka Aku jadikan hatinya khusyu, lisannya selalu berzikir, jiwanya tabah menghadapi musibah, serta istri yang mukminah yang membuatnya senang ketika memandangnya, dan kalau dirinya pergi, sang istri akan menjaga kehormatan dan hartanya.’”
Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah saw dan bertanya, “Saya memiliki seorang istri. Kalau saya pulang, ia menyambut kedatangan saya. Dan kalau saya pergi, ia akan mengantarkan. Apabila melihat saya dirundung duka, ia akan berkata, ‘Apa yang membuatmu sedih? Jika yang engkau sedihkan adalah rezeki, maka orang selainmu telah menanggungnya, dan kalau yang itu adalah urusan akhirat, semoga Allah menambahkanmu kesedihan.”
Rasulullah saw berkata, “Sesungguhnya Allah memiliki banyak pelayan dan ini termasuk dari pelayan Allah. Ia mendapatkan separuh dari pahala orang yang syahid di jalan Allah.”
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib merupakan insan mulia yang telah memiliki tujuan mulia ini dalam genggaman tangannya. Sejarah telah merekamnya dengan baik. Setelah melewati malam pertamanya dengan sayidah Fatimah Az-Zahra, Rasulullah mengunjungi rumahnya dan bertanya kepada Imam Ali, “Bagaimana engkau dapatkan keluargamu (istrimu)?”
Imam Ali menjawab, “Sebaik-baiknya penolong untuk taat kepada Allah.”
Kemudian Rasulullah bertanya kepada sayyidah Fatimah yang kemudian menjawab, “Ia adalah suami yang baik.”
Lalu Rasul berdoa, “Ya Allah, satukanlah mereka. Satukanlah hati mereka, dan jadikanlah mereka berdua serta keturunan mereka orang-orang yang mendapatkan surga. Anugerahkanlah mereka keturunan yang suci, bersih, dan bertabur berkah. Dan jadikanlah keturunan mereka aimmah (pemimpin) yang mengantarkan kepada taat kepada-Mu…”
Dalam hal ini, Amirul Mukminin menyebut sayyidah Fatimah sebagai istri yang baik serta berkepribadian agung. Semua itu disampaikan seraya menjelaskan tentang tujuan utama pernikahan melalui sebuah ungkapan yang pendek namun padat dan gamblang. (*Cendekiawan Muslim)
Sumber: Buku Prof. Ibrahim Amini yang berjudul Hak-Hak Suami dan Istri