Search
Search
Close this search box.

Ukraina adalah Suriah yang Lain

Listen to this article

Oleh: Dina Sulaeman*

Operasi militer Rusia (beda dengan “invasi” ya, di bawah akan dijelaskan) terhadap Ukraina tidak terjadi begitu saja.

Selama 8 tahun terakhir, sejak terjadinya kudeta 2014 sebenarnya berlangsung perang di Ukraina: perang antara milisi teror ultra-nasionalis (berideologi neo-Nazi) melawan warga keturunan Rusia.

Advertisements

Sebanyak 77,8% penduduk Ukraina adalah etnis Ukraina, 17,7% etnis Rusia, dan sisanya etnis lain (data 2001). Total populasi 43 juta (data 2021). Di antara mereka umumnya hidup rukun, bahkan terjadi pernikahan antar-etnis. Bahasa yang digunakan: bahasa Ukraina dan bahasa Rusia.

Nah, milisi neo-Nazi ini menyerang warga “Russia-spoken” (orang-orang yang berbicara dalam bahasa Rusia) dengan sangat sadis, dibantu oleh militer Ukraina. Cara-cara keji ala Nazi mereka pakai dalam membantai warga.

Alasan yang mereka pakai: karena Russia-spoken ini teroris, memberontak, separatis, dll. Padahal yang terjadi, Russia-spoken ini direpresi oleh kelompok neo-Nazi (dan dibiarkan oleh rezim Kiev), lalu mereka bangkit melawan.  Mereka ingin membentuk negara sendiri saja, daripada terus diperangi dan direpresi. Mereka ini, yang tinggal di “Donetsk” dan “Luhansk” (keduanya disingkat Donbass), akhirnya mendeklarasikan Donetsk People’s Republic (DPR) dan Luhansk People’s Republic (LPR).

Selama 8 tahun terakhir, Rusia tidak melakukan intervensi militer untuk membantu warga Donbass, tapi melakukan berbagai upaya diplomatik. Bulan Desember 2021. Rusia mensponsori resolusi di PBB, untuk “mengutuk Nazisme, neo-Nazisme dan segala bentuk rasisme, xenophobia, dan berbagai tindakan intoleran.” Nah, ada dua negara yang menyatakan menolak resolusi ini, yaitu: AS dan Ukraina.

Resolusi ini disetujui 130 negara, sementara 51 negara, yaitu semua anggota Uni Eropa, Australia, New Zealand dan Kanada, abstain. Sungguh standar ganda. Bukankah AS dan Uni Eropa selama ini mendukung berdirinya Israel di atas tanah bangsa Palestina dengan alasan “kasihan orang Yahudi korban Holocaust Nazi”? Mengapa saat ada resolusi yang menolak bangkitnya neo-Nazi, mereka tidak setuju?

Buat orang Indonesia, supaya lebih bisa dipahami: paham ekstrem salafi-wahabi oleh sebagian besar ulama dianggap sesat (dan beberapa negara bahkan sudah melarang paham ini) karena paham ini dijadikan landasan ideologi bagi terorisme atas nama Islam (ISIS, Al Nusra, dll). Kalau di Eropa, ideologi terornya berakar dari Nazisme.

Makanya, Presiden Assad bilang, “Musuh yang dihadapi militer Suriah dan Rusia adalah sama. Di Suriah, musuh adalah ekstremisme [salafi-wahabi]; di Ukraina musuh berwujud Nazisme.”

Tanggal 22 Februari 2022, akhirnya Putin mengakui kemerdekaan DPR dan LPR.  Nah, pengakuan Putin ini menjadi “pengesahan” bagi DPR dan LPR. Tapi tentu, perlu pengakuan dari banyak negara lainnya (dan belum terjadi).

Mengapa butuh pengakuan? Ingat, syarat berdirinya sebuah negara menurut Konvensi Montevidio adalah: ada rakyat, ada wilayah, ada pemerintahan, dan ada kemampuan untuk melakukan hubungan internasional. Sebagian pihak menyebutkan perlunya ada pengakuan dari negara lain. Dulu pun Indonesia setelah memproklamasikan kemerdekaan juga mengirimkan diplomat ke mana-mana, untuk mencari pengakuan dari negara lain.

Sebagaimana ditulis oleh M. Zein Hassan, diplomat Indonesia yang datang ke Timur Tengah pada masa itu, para aktivis Timur Tengah, di antaranya Muhammad Ali Taher dari Komite Palestina, mendirikan Lajnatud Difa’i ‘an Indonesia. Lajnah atau komite ini mengadakan konferensi dan menghasilkan deklarasi yang mendesak pemerintah Mesir dan negara-negara Arab lainnya agar mengakui kemerdekaan Indonesia. Pada 22 Maret 1946, Mesir pun memberikan pengakuannya kepada Indonesia dan kemudian diikuti oleh Saudi Arabia, Suriah, Yaman, dan Irak (Yulianti, et al. 2019).

Ketika DPR dan LPR sudah resmi jadi negara, Putin bisa memanfaatkan Piagam PBB pasal 51: “setiap negara berhak untuk membela diri, baik sendirian maupun kolektif, bila diserang pihak asing.” DPR dan LPR sebagai negara independen (yang sudah diakui oleh Rusia) berhak melawan, dan berhak meminta bantuan kepada Rusia. Demikian status hukum internasionalnya. Makanya saya bilang di awal: “ini bukan invasi.”

Terakhir, mari kita cermati pidato Putin sebelum ia memulai operasi militer di Ukraina. Perhatikan bahwa posisi yang diambil adalah “membela diri.”

“Izinkan saya mengingatkan Anda bahwa pada tahun 2000-2005 kami menggunakan militer kami untuk melawan teroris di Kaukasus dan membela integritas negara kami. Kami melestarikan Rusia. Pada tahun 2014, kami mendukung orang-orang Krimea dan Sevastopol. Pada 2015, kami menggunakan angkatan bersenjata kami untuk membuat perisai andal yang mencegah teroris dari Suriah menembus Rusia. Ini adalah masalah membela diri kita sendiri. Kami tidak punya pilihan lain”.

“Hal yang sama terjadi hari ini. Mereka tidak memberi kami pilihan lain untuk membela Rusia dan rakyat kami, selain yang terpaksa kami gunakan hari ini. Dalam keadaan seperti ini, kita harus mengambil tindakan tegas dan segera. Republik rakyat Donbass telah meminta bantuan Rusia”.

“Dalam konteks ini, sesuai dengan Pasal 51 (Bab VII) Piagam PBB, dengan izin Dewan Federasi Rusia, dan dalam pelaksanaan perjanjian persahabatan dan bantuan timbal balik dengan Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Lugansk, diratifikasi oleh Majelis Federal pada 22 Februari, saya membuat keputusan untuk melakukan operasi militer khusus”.

“Tujuan dari operasi ini adalah untuk melindungi orang-orang yang selama delapan tahun sekarang telah menghadapi penghinaan dan genosida yang dilakukan oleh rezim Kiev”.

“Untuk tujuan ini, kami akan berusaha untuk demiliterisasi dan de-Nazifikasi Ukraina, serta mengadili mereka yang melakukan banyak kejahatan berdarah terhadap warga sipil, termasuk terhadap warga Federasi Rusia. Bukan rencana kami untuk menduduki wilayah Ukraina”.

***

Bagian ini sebenarnya adalah copas dari tulisan saya tahun 2014 yang judulnya “L’Ukraine est une autre Syrie” (Ukraina adalah Suriah yang Lain). Memahami peristiwa 2014 penting untuk mengikuti apa yang terjadi hari ini.

Kerusuhan di Ukraina (2014) terlihat jelas menggunakan template atau cetakan yang sama dengan Suriah. L’Ukraine est une autre Syrie. Ukraina adalah Suriah yang lain.

Kehadiran tokoh Zionis-Prancis, Bernard-Henri Levy, di depan lautan manusia yang memenuhi Maidan–singkatan dari Maidan Nezalezhnosti atau Lapangan Kemerdekaan—di Kiev, menjadi simbol utama kesamaan template itu. Levy adalah seorang makelar perang. Dia dulu memprovokasi masyarakat Barat untuk ‘membantu’ rakyat Suriah menggulingkan Assad (sebelumnya juga hadir di Libya, di depan para demonstran anti-Qaddafi).

Kini di Kiev, dia berpidato berapi-api, menyeru rakyat Ukraina, “Les gens de Maidan, vous avez un rêve qui vous unit. Votre rêve est l’Europe!” (wahai orang-orang Maidan, kalian punya mimpi yang mempersatukan kalian. Mimpi kalian adalah Eropa!).

Ya, Ukraina memang tengah diadu-domba dengan menggunakan isu Uni Eropa. Sebagian rakyat setuju bergabung dengan UE, sebagian lagi menolak. Pengalaman Yunani yang bangkrut akibat bergabung dengan UE membuat banyak orang sadar, UE dan pasar bebas Eropa bukanlah gerbang kemakmuran bagi rakyat banyak. Hanya segelintir yang diuntungkan, dan para kapitalis kelas kakap Eropalah yang jauh lebih banyak mengeruk laba.

Sebagaimana polisi Suriah yang habis-habisan diberitakan brutal oleh media Barat dan para pengekornya, Berkut (polisi) Ukraina pun mengalami nasib yang sama. Tak ada yang peduli bahwa polisi memang bertugas mengamankan gedung dan para pejabat negara dari aksi-aksi anarkis.

Tak ada yang mencatat (kecuali jurnalis independen) bahwa baik Assad maupun Yanukovich melarang polisi menggunakan senjata mematikan dalam menghadapi demonstran, dan akibatnya banyak polisi yang jadi korban, dipukuli atau kena lemparan batu dan molotov para demonstran.

Gaya para demonstran anti-pemerintah di Damaskus dan Kiev pun mengikuti ‘cetakan’ yang sama dengan gaya demonstrasi oposisi Mesir, Tunisia, Venezuela, Belarus, Georgia, atau Iran. Mereka memprovokasi polisi, serta menyerang gedung-gedung pemerintah, yang tentu saja mendatangkan reaksi keras dari polisi.

Tak heran, karena mentor mereka pun sama: CANVAS, perusahaan konsultan revolusi yang membina kaum oposan di lebih dari 40 negara. Pentolan CANVAS adalah Srdja Popovic, arsitek gerakan penggulingan Slobodan Milosevic (Serbia) pada tahun 2000. Para pendukung dana CANVAS adalah lembaga-lembaga terkemuka seperti United States Institute for Peace (USIP) yang didanai Kongres AS, New Tactics (didanai Ford Foundation dan Soros Foundation), dan lain-lain.

Foreign Policy melaporkan, selama enam bulan pertama tahun 2012, 40 aktivis oposisi Syria mengadakan pertemuan di Jerman yang dikoordinir oleh USIP untuk merancang bentuk dan agenda pemerintahan pasca-Assad. Tak jauh beda, demonstran Ukraina pun dididik oleh tangan-tangan Amerika.

Pengakuan dari Asisten Menteri Luar Negeri Amerika, Victoria Nuland, memberikan buktinya. Nuland mengatakan, Amerika telah menginvestasikan $5 miliar untuk ‘mengorganisir jaringan guna memuluskan tujuan Amerika di Ukraina’ selain untuk memberikan ‘masa depan yang layak bagi Ukraina.’

Bahkan Menlu Kanada juga mengakui telah memberikan sumbangan ‘luar biasa’ pada sebuah LSM di Ukraina untuk rumah sakit darurat dan peralatan medis. Bantuan itu diberikan tepat sehari sebelum kelompok oposisi bersenjata menyerbu Maidan dan mengakibatkan jatuhnya banyak korban, termasuk tewasnya sejumlah polisi, pada 18/2.

Di Suriah, dengan alasan ‘melawan kebrutalan rezim’, para pemberontak angkat senjata, dan senjata disuplai dari luar negeri. Tak beda jauh, demonstran Ukraina pun angkat senjata. Sebelum terang-terangan angkat senjata, kelompok oposisi di dua negara ini sama-sama menggunakan taktik penembak gelap. Korbannya rakyat sipil, dan dengan segera di-blow up media massa; disebut sebagai korban kebrutalan polisi.

Bila di Suriah, ada Turki yang menikam dari belakang, di Ukraina ada Polandia. Tentu bukan kebetulan bila Polandia dan Turki sama-sama anggota NATO, dan bahkan sama-sama negara yang menyediakan wilayahnya untuk pangkalan militer AS. Turki membuka perbatasannya untuk suplai dana, senjata, dan pasukan jihadis dari berbagai penjuru dunia menuju Suriah; serta merawat para pemberontak yang terluka.

Pada 20/2, PM Polandia menyatakan negaranya telah merawat pemberontak bersenjata dari Kiev, dan bahkan sudah memerintahkan militer dan Kementerian Dalam Negeri untuk mempersiapkan rumah sakit agar bisa menolong lebih banyak lagi.

Suriah terjebak dalam konflik berdarah-darah, yang entah kapan berakhir. Kelompok-kelompok radikal merajalela di berbagai penjuru negeri, menggorok leher orang-orang atas nama Tuhan dan menentengnya dengan bangga di depan kamera. Gedung-gedung bersejarah, pasar-pasar kuno, dan warisan budaya berusia ribuan tahun hancur lebur.

Ukraina tak jauh beda, sebuah negeri dengan keindahan alam yang mengagumkan, menyimpan gedung-gedung kuno eksotis Eropa Timur, dan bahkan ada jejak-jejak panjang kehadiran Islam di sana. Yanukovich memang sudah terguling, tapi konflik belum selesai. Perang saudara sudah di ambang mata.

Bila di Suriah, yang maju ke depan untuk ‘berjihad’ adalah kelompok Islam radikal, di Ukraina ada kelompok-kelompok ultra-kanan. Salah satu kelompok demonstran di Maidan, Ukrainian People’s Self-Defense (UNA-UNSO, organisasi ‘turunan’ NAZI), diketahui dilatih kemiliteran di kamp NATO di Estonia pada 2006. Mereka diajari membuat peledak dan menembak.

Skenario di Suriah dan Ukraina sedemikian mirip, sama miripnya dengan berbagai aksi penggulingan rezim di berbagai negara lain, baik yang berhasil, ataupun gagal. Terlepas bahwa pemimpin di negara-negara itu pantas atau tidak digulingkan, terlalu naif bila kita mengabaikan begitu saja kemiripan skenario ini.

Ukraina adalah negara yang sangat subur, lumbung pangan Eropa, dan tengah membangun kekuatan industri. Tak heran bila Uni Eropa sangat menginginkannya. AS pun menggunakan kekacauan Ukraina untuk melemahkan Rusia, rivalnya di Suriah.

Dan jangan lengah. Alam Indonesia jauh lebih kaya dari Ukraina. Skenario yang sama, dengan isu berbeda, sangat mungkin akan melanda negeri ini dalam waktu dekat. Kecerdasan melihat mana kawan, mana lawan, adalah satu-satunya cara untuk melindungi keselamatan bangsa kita. Persatuan adalah kata kuncinya. Jangan biarkan Indonesia menjadi “une autre Syrie” (Suriah yang lain). (*Pengamat Timur Tengah)

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT