Kukar, beritaalternatif.com – Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Demokrat Ossy Dermawan membantah pendapat Staf Khusus Menteri Keuangan (Menkeu) Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo terkait utang Indonesia yang saat ini telah mencapai Rp 7.014,6 triliun.
Ossy menilai Yustinus hanya melihat peningkatan utang dalam bentuk nominal semata. “Tentu ini merupakan perbandingan yang kurang adil,” ujar dia sebagaimana dikutip beritaalternatif.com dari akun Twitter resminya, Senin (11/4/2022) malam.
Perbandingan tersebut dinilainya kurang adil karena nominal utang setiap tahun akan terpengaruh oleh inflasi. Artinya, utang Rp 1 juta tahun 2022 ini tidak dapat diperbandingkan dengan utang Rp 1 juta pada tahun 2005. Pasalnya, daya beli pada tahun tersebut juga pasti berbeda dengan saat ini.
Kata dia, untuk menghilangkan efek inflasi, nilai utang harus dinyatakan dalam bentuk relatif. Bagaimana caranya? Yaitu dengan membagi besaran utang di tahun tertentu dengan suatu variabel lain di tahun yang sama, misalnya Gross Domestic Bruto (GDP). Sehingga, terbentuklah debt-to-GDP ratio.
Satuan pengukuran debt adalah Rp. Satuan pengukuran GDP juga Rp. Karena itu, rasio tersebut (Rp dibagi Rp) merupakan indeks yang sudah tidak dipengaruhi inflasi. Selain tidak dipengaruhi inflasi, rasio itu juga mengandung makna, yaitu untuk menghasilkan Rp 1 GDP, berapa Rp debt yg digunakan.
Debt-to-GDP ratio berhasil diturunkan oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari sekitar 56% pada tahun 2004 menjadi sekitar 24% pada tahun 2014 (selama 10 tahun). “Kalau sekarang debt-to-GDP ratio tersebut naik lagi menjadi sekitar 40%, silahkan rakyat menilainya,” kata Ossy.
Ia menegaskan, dengan rasio utang terhadap GDP yang semakin dikurangi di era SBY, hal ini mengindikasikan utang yang relatif kecil untuk menghasilkan GDP. Utang yang relatif kecil berarti beban fiskal pemerintah untuk membayar bunga dan pokok utang tersebut lebih kecil. Sehingga besaran fiskal yang tersedia untuk mendorong pembangunan ekonomi juga lebih besar.
Ossy menyimpulkan, itulah sebabnya, di antara beberapa penyebab lain, mengapa laju pertumbuhan ekonomi SBY lebih tinggi dibandingkan Jokowi. Karena proporsi fiskal untuk membangun relatif lebih besar, sehingga hasilnya, laju pertumbuhan ekonomi alias GDP growth di masa SBY lebih tinggi dibandingkan saat ini.
Padahal, lanjut dia, Menkeunya sama, yaitu Sri Mulyani Indrawati (SMI). Lalu, mengapa kinerja ekonominya berbeda? Jawabannya, dalam batas tertentu, kepemimpinan itu penting (to some extent, leadership matters).
“Kepemimpinan SBY menyebabkan semua sektor bergerak (bukan 1 atau 2 sektor saja seperti infrastruktur). Resultante-nya, struktur perekonomian jadi semakin kokoh,” jelasnya.
Ia menyebutkan, jika ada orang yang menyampaikan bahwa perekonomian Indonesia saat ini menurun karena Covid-19, mungkin ada benarnya. Namun, data menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi RI sebelum pandemi pun sudah memiliki tren yang menurun atau paling tidak stagnan.
“Sebenarnya saya malas membandingkan antar 1 pemimpin dengan pemimpin lainnya. Karena tiap pemimpin pasti punya cara membangun negaranya. Tapi menjadi pertanggungjawaban moral saya untuk meluruskan apa yang disampaikan ke publik terkait SBY,” tegas Ossy. (*)
Penulis: Ufqil Mubin