BERITAALTERNATIF.COM – Motif atau alasan yang mendasari Ferdy Sambo membunuh Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J masih menjadi misteri setelah majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menjatuhkan vonis hukuman pidana mati kepada bekas inspektur jenderal Polri itu, Senin (13/2/2023).
Ketua majelis hakim Wahyu Iman Santoso menyatakan motif pembunuhan Yosua tidak terkait dengan kekerasan seksual yang dialami Putri Candrawathi, istri Sambo.
Kesimpulan itu diketahui berdasarkan pemeriksaan dalam persidangan yang telah bergulir sejak Oktober tahun lalu.
“Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, dengan demikian motif adanya kekerasan seksual yang dilakukan oleh korban Nofriansyah Yosua Hutabarat terhadap Putri Candrawathi tidak dapat dibuktikan menurut hukum,” ungkap hakim Wahyu saat membacakan pertimbangan perkara Ferdy Sambo, PN Jakarta Selatan.
Menurut hakim, motif pembunuhan tersebut lebih karena ada perasaan sakit hati Putri terhadap perbuatan atau sikap Yosua. Namun, hakim tidak mengungkapkan gamblang perbuatan Yosua.
“Sehingga motif yang lebih tepat menurut majelis hakim adanya perbuatan atau sikap korban Nofriansyah Yosua Hutabarat, di mana perbuatan atau sikap korban Nofriansyah Yosua Hutabarat tersebut yang menimbulkan perasaan sakit hati yang begitu mendalam terhadap Putri Candrawathi,” kata hakim.
Dalam persidangan, hakim mengungkapkan tidak ada bukti valid mengenai pelecehan atau kekerasan seksual yang dilakukan Yosua terhadap Putri.
Relasi kuasa menjadi pertimbangan hakim dalam perkara ini. Hakim mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum.
Dalam kondisi ini, menurut hakim, Putri memiliki posisi dominan dibandingkan Yosua karena yang bersangkutan merupakan istri dari seorang jenderal polisi bintang dua dan berlatar belakang pendidikan dokter.
Sementara Yosua hanya lulusan SLTA dan berpangkat Brigadir yang ditugaskan sebagai ajudan Sambo untuk membantu Putri baik sebagai sopir maupun tugas lain.
“Sehingga dengan adanya ketergantungan relasi kuasa dimaksud sangat kecil kemungkinannya kalau korban Nofriansyah Yosua Hutabarat melakukan pelecehan seksual atau kekerasan seksual terhadap Putri,” tutur hakim.
Terlebih, hakim menilai tidak ada fakta yang mendukung Putri mengalami gangguan stres pasca-trauma atau post traumatic stress disorder akibat pelecehan seksual atau perkosaan. Hakim juga menyoroti proses pemulihan korban pelecehan atau kekerasan seksual yang seharusnya butuh waktu lama.
Tindakan Putri bertemu dengan Yosua sesaat setelah pengakuan kekerasan seksual terjadi menurut hakim tidak masuk akal.
“Bahwa dari pengertian gangguan stres pasca-trauma atau post traumatic stress disorder dan tahapan proses pemulihan korban kekerasan seksual di atas, perilaku Putri yang mengaku sebagai korban justru bertentangan dengan profil korban menuju pemulihan,” pungkas hakim.
Pembunuhan terhadap Yosua terjadi pada Jumat, 8 Juli 2022, di rumah dinas Sambo nomor 46 di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Sambo divonis dengan pidana mati karena dinilai terbukti melakukan pembunuhan berencana dan tanpa hak melakukan perbuatan yang menyebabkan sistem elektronik tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Sedangkan Putri divonis penjara 20 tahun dan dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah turut serta melakukan pembunuhan berencana terhadap Yosua sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Putusan tersebut dijatuhkan oleh ketua majelis hakim Wahyu Iman Santoso dengan anggota Morgan Simanjuntak dan Alimin Ribut Sudjono.
Sambo dan Putri bakal memanfaatkan waktu tujuh hari untuk pikir-pikir mengajukan banding. (*)
Sumber: CNN Indonesia