BERITAALTERNATIF.COM – Ilan Pappe dalam bukunya yang berjudul Ten Myth About Israel menyebutkan bahwa penyamaan Zionisme dengan Yudaisme atau agama Yahudi merupakan mitos yang sengaja dibangun oleh orang-orang Zionis.
Pappe secara tegas menolak penyamaan antara Zionisme dan Yudaisme. Penolakan ini datang dari profesor yang juga merupakan orang Yahudi tersebut.
Meski demikian, orang-orang Zionis Israel telah memanfaatkan agama Yahudi serta ayat-ayat dalam kitab suci untuk membenarkan gerakan mereka.
Kata Pappe, peran Alkitab dalam kehidupan Yahudi menawarkan penjelasan yang lebih jernih mengenai perbedaan antara Yudaisme dan Zionisme.
Di dunia Yahudi pra-Zionis, sambung dia, Alkitab tidak diajarkan sebagai teks tunggal yang membawa politik atau bahkan konotasi nasional di berbagai pusat pendidikan Yahudi di Eropa atau dunia Arab.
“Para Rabi terkemuka memperlakukan sejarah politik yang terkandung dalam Alkitab, dan gagasan kedaulatan Yahudi di atas tanah Israel, sebagai topik marginal dalam dunia pembelajaran spiritual mereka,” ungkap Pappe dalam bukunya sebagaimana dikutip beritaalternatif.com pada Sabtu (4/6/2022) siang dari video yang disiarkan Dina Sulaeman di kanal YouTube pribadinya.
Pappe mengatakan, para Rabi jauh lebih peduli, seperti halnya Yudaisme pada umumnya, dengan ayat-ayat suci yang berfokus pada hubungan di antara sesama orang beriman dan hubungan antara orang beriman dengan Tuhan.
Ide dasar Zionisme, lanjut dia, yang mulai berkembang pada tahun 1940-an mentransformasi Yudaisme dari agama menjadi bangsa.
Awalnya, mayoritas orang Yahudi menolak ide tersebut. Ketika ide Zionisme didengungkan di tengah komunitas Yahudi di Jerman dan Amerika Serikat (AS), para Rabi menilai bahwa Zionisme merupakan bentuk sekularisasi.
Dengan kata lain, bila kaum Zionis benar-benar menjalankan ajaran Yahudi, mestinya mereka tidak berpolitik serta tidak mencita-citakan sebuah negara khusus untuk kaum Yahudi.
Sejumlah tokoh terkemuka di kalangan sekuler yang merupakan orang-orang Yahudi pun menolak ide tersebut. Mereka khawatir Yahudi semakin dimusuhi oleh masyarakat dunia.
Bila kelompok Zionis membentuk negara sendiri di tanah Palestina, maka pemerintah dan rakyat di negara-negara di mana orang-orang Yahudi bermukim, akan semakin mencurigai keberadaan mereka.
“Mereka akan dituduh tidak setia kepada negara. Akibatnya, nanti sikap anti-Yahudi semakin merebak,” jelas pengamat Timur Tengah, Dina Sulaeman.
Saat kelompok Zionis memproklamirkan pendirian negara di tanah Palestina, masyarakat Eropa dan Amerika mengembangkan sikap anti terhadap Yahudi.
“Siapa sih yang punya ide awal mendirikan negara khusus Yahudi yang mengubah agama menjadi bangsa?” tanyanya.
“Yahudi itu kan awalnya agama. Orang yang beragama Yahudi. Rasnya bermacam-macam. Ada orang Eropa yang Yahudi. Ada juga orang Arab yang Yahudi,” sambungnya.
Mengutip Pappe, Dina menjelaskan, mereka yang mengubah agama menjadi bangsa tersebut merupakan sekelompok penyair, penulis, dan Rabi yang sejatinya berkeinginan menghidupkan kembali bahasa Ibrani.
Mereka juga mendorong pendidikan orang-orang Yahudi yang sebelumnya tradisional, sehingga mereka dapat beralih dan berbaur dalam pendidikan modern dengan mempelajari sains, sastra, dan filsafat.
Kemudian, mereka mendirikan surat kabar dan jurnal berbahasa Ibrani di Eropa. Melalui media tulisan inilah mereka menyebarkan gagasan-gagasan baru, yang di antaranya meredefinisi Yudaisme sebagai sebuah gerakan nasional dan kebutuhan untuk menguasai Palestina dalam rangka mengembalikan orang-orang Yahudi ke tanah air mereka.
Mereka mengklaim bahwa 1.800 tahun sebelum pendirian Israel, nenek moyang Yahudi telah diusir oleh orang Romawi, sehingga orang-orang Yahudi harus kembali ke tanah air mereka. Masa ini disebut sebagai masa pencerahan orang-orang Yahudi.
Ide ini kemudian disetujui oleh sebagian orang Yahudi karena mereka berdalih bahwa pada tahun 1881 terjadi pembantaian massal terhadap orang-orang Yahudi di Rusia.
“Saat itulah mereka mulai mengubah diri sebagai gerakan politik yang disebut The Lovers of Zion. Pada tahun 1882, mereka bahkan sudah mengirim beberapa ratus pemuda Yahudi untuk membangun koloni baru di Palestina,” urai Dina.
Proses itu diawali dengan “gerakan pencerahan” puluhan tahun sebelumnya. Tokoh Zionis terkemuka dalam gerakan ini adalah Theodor Herzl, yang lahir tahun 1860. Artinya, ide Zionisme berkembang sebelum kelahiran Herzl.
Pada tahun 1897, Herzl memprakarsai Kongres Zionis pertama di Basel, Swiss. Dalam kongres itu disepakati pembentukan gerakan Zionis dunia.
Sejak kemunculan gerakan ini, mulai berkembang pula usaha penggunaan ayat-ayat suci untuk menjustifikasi gerakan mereka.
Pappe mengatakan, The Lovers of Zion menafsirkan Alkitab sebagai cerita bangsa Yahudi yang lahir di tanah Palestina sebagai bangsa yang tertindas di bawah rezim Kanaan.
Mereka menilai, rezim inilah yang mengusir orang-orang Yahudi ke Mesir, sampai akhirnya mereka kembali ke Palestina dan membebaskannya dari tangan Kanaan, di bawah kepemimpinan Yoshua.
Sebaliknya, dalam penafsiran tradisional, kisahnya berfokus pada Abraham dan keluarganya sebagai sekelompok orang yang menemukan Tuhan Yang Esa; sama sekali tidak membahas sebuah bangsa atau sebuah tanah air.
Pappe menjelaskan, sebagian besar pembaca akan akrab dengan narasi konvensional tentang Abraham dan keluarganya yang menemukan Tuhan, dan setelah melalui ujian dan kesengsaraan, akhirnya mereka tiba di Mesir.
“Tidak ada kisah tentang orang yang tertindas atau bangsa yang melakukan perjuangan pembebasan. Namun, penafsiran soal bangsa yang tertindas dan berjuang, adalah penafsiran yang dipilih oleh Zionis, yang terus digunakan di Israel hingga hari ini,” tegas Pappe. (*)