BERITAALTERNATIF.COM – Di tengah upaya mewujudkan swasembada pangan, peningkatan produksi komoditas pangan pada sektor pertanian menjadi salah satu kunci keberhasilan.
Namun ternyata realita di lapangan berbanding terbalik dengan sejumlah program kemajuan pertanian. Para petani kini kesulitan mendapatkan pupuk subsidi.
Kondisi ini juga diungkapkan Anggota DPRD Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Yusri Yusuf.
Di Daerah Pemilihan (Dapil) II Kabupaten Kutim, kelangkaan pupuk subsidi bukanlah hal baru.
Kelangkaan pupuk subsidi ini berdampak langsung terhadap produktivitas dan kesejahteraan para petani di wilayah tersebut.
Dia mengatakan bahwa masalah kelangkaan pupuk bersubsidi di Dapil II bukan hanya soal pasokan, tetapi juga regulasi yang belum berpihak pada petani kecil.
“Para petani ini kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi. Ini sangat merugikan mereka, terutama di tengah tingginya biaya produksi dan harga komoditas yang fluktuatif,” ungkapnya sebagaimana dilansir dari Suara Kutim pada Senin (26/8/2024).
Ia menjelaskan bahwa salah satu penyebab utama dari masalah ini adalah dominasi pekebun sawit yang memanfaatkan kelompok tani untuk mendapatkan akses ke pupuk bersubsidi.
Padahal, aturan dari Kementerian Pertanian yang dikeluarkan pada 26 Agustus 2023 secara tegas melarang penggunaan pupuk bersubsidi oleh petani kelapa sawit.
Sesuai regulasi tersebut, hanya sembilan komoditas yang diizinkan menggunakan pupuk bersubsidi, sementara petani sawit diwajibkan menggunakan pupuk non-subsidi yang harganya jauh lebih mahal.
“Akibatnya, petani yang sebenarnya membutuhkan pupuk tersebut tidak lagi bisa mendapatkannya,” jelas Yusri.
Pupuk bersubsidi yang disediakan oleh pemerintah seperti urea, NPK, dan NPK FK memiliki harga eceran tertinggi yang jauh lebih terjangkau dibandingkan pupuk non-subsidi.
Harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi diatur sebagai berikut: urea Rp 2.250 per kg, NPK Rp 2.300 per kg, NPK FK Rp 3.300 per kg, dan organik Rp 800 per kg.
Namun, untuk mendapatkan pupuk bersubsidi ini, petani harus terdaftar dalam kelompok tani: e-RDKK dan SIMLUHTAN.
Persyaratan yang ketat ini semakin memperumit akses bagi petani kecil, terutama mereka yang belum terorganisasi dengan baik dalam kelompok tani. (adv)
Editor: Ufqil Mubin