BERITAALTERNATIF.COM – Imam Muhammad Jawad as menilai amal yang tidak didukung ilmu, tidaklah bernilai.
Menurut beliau, setiap amal harus dilakukan dengan kesadaran, pengetahuan, dan kewaspadaan.
Jika seseorang terjun dalam suatu aktivitas yang tidak diketahuinya atau masuk ke sebuah ruangan selain melalui jalurnya, niscaya akan merugi dan gagal.
Karena itu, Imam Muhammad Jawad as mengatakan, “Orang yang tidak mengenal jalan masuk suatu pekerjaan, maka (pencarian) jalan keluarnya akan membuatnya putus asa.” (Bihar al-Anwar, jil 57).
Beliau juga mengatakan, “Pengaturan dan perencanaan setiap amal sebelum melaksanakannya, akan menjaga manusia dari kekecewaan,” (Mutaha al-Amaal, jil. 2).
Dengan demikian, orang yang melakukan pekerjaannya dengan kesadaran, pengetahuan, dan perencanaan, akan berhasil.
Kalau pun mengalami kendala, ia akan mampu mempertimbangkan semua aspek untuk menyelesaikan masalahnya.
Orang seperti ini tidak akan kecewa dengan apa yang telah dilakukannya karena sejak awal, segala langkahnya telah melewati proses yang benar.
Kerendahan hati menurut Islam termasuk di antara keutamaan dan nilai-nilai luhur dalam akhlak serta menunjukkan kesempurnaan akal seseorang.
Sebaliknya, takabbur dan kesombongan merupakan sifat tercela, karena akan menghalangi manusia menerima kebenaran dan hidayah.
Semakin sifat takabbur dan kesombongan bertambah dalam diri manusia, semakin meningkat pula penekanannya pada kesesatan dan kegelapan.
Imam Muhammad Jawad as memaparkan berbagai pengaruh positif dan berkah dalam kerendahan hati dan mengatakan bahwa tawadhu atau kerendah-hatian akan membuka pintu keridhaan Allah Swt.
Beliau sendiri adalah sosok paling tawadhu di masanya dan menilai kerendahan hati itu sebagai kebanggaan beliau.
Dan dalam rangka mendorong masyarakat untuk memperhatikan sifat luhur ini, beliau mengatakan, “Kerendahan hati adalah perhiasan serta kemuliaan hasab dan nasab,” (Bihar al- Anwar, jil 77)
Kelahiran Imam
Pada hari kesepuluh bulan Rajab 195 H, Imam Muhammad Jawad as dilahirkan. Ayah beliau adalah Imam Ali Ridha as dan ibu beliau bernama Khaizran, berasal dari bangsa Maria Qibtiah.
Imam Muhammad Jawad as memiliki banyak gelar. Gelar paling masyhur adalah at-Taqi dan al-Jawad.
Saudari Imam Ali Ridha as, Hakimah mengisahkan, “Pada malam kelahiran Imam Jawad, saudaraku (Imam Ali Ridha as) memintaku berada di sisi istrinya yang melahirkan bayi dengan selamat.”
“Ketika lahir, bayi itu menatap ke langit dan bersaksi atas keesaan Allah dan kerasulan Muhammad. Aku yang menyaksikan peristiwa agung ini bergetar dan segera pergi menjumpai saudaraku dan menceritakan semua ini. Saudaraku berkata: Janganlah engkau terganggu dengan peristiwa ini, engkau akan saksikan peristiwa yang lebih menakjubkan lagi.’”
Kelahiran ini merupakan karunia Ilahi dan berita gembira bagi pengikut Ahlulbait as. Sebab, kelahiran ini menjawab segala rasa penasaran, keraguan, kebimbangan, dan kecemasan mereka.
Nauf Ali menceritakan, “Ketika Imam Ali Ridha as melakukan perjalanan ke Khurasan, aku berkata kepadanya, Apakah engkau tidak memiliki perintah untuk aku kerjakan?”
Beliau berkata, “Ikutilah anakku setelahku dan tanyakan kepadanya segala kesulitan yang engkau hadapi.”
Imam Ali Ridha as berulang kali mengatakan kepada sahabatnya, “Tidak perlu kalian mengajukan pertanyaan kepadaku, ajukan pertanyaanmu kepada anak kecil ini yang kelak akan menjadi imam setelahku.”
Tatkala beberapa sahabat Imam Ali Ridha as menunjukkan keheranan dan keterkejutannya, bagaimana mungkin seorang anak diangkat menjadi imam umat, beliau mengatakan, “Allah telah mengangkat Isa sebagai nabi ketika beliau bahkan lebih muda dari Abu Ja’far (Imam Jawad).”
Kesyahidan Imam
Setelah kematian Ma’mun, saudaranya yang bernama Mu’tasim menduduki kekhalifahan. Ia dikenal sebagai orang kejam, jahat, dan berperangai sangat buruk.
Pertama kali yang dilakukan Mu’tasim ialah memanggil Imam Muhammad Jawad as dari Madinah untuk kembali ke Baghdad. Setelah itu, mulailah ia merencanakan persengkongkolan dengan Ja’far, anak Ma’mun. Ia mendesak Ja’far agar membujuk saudara perempuannya, Ummu Fadhl supaya meracun suaminya sendiri, Imam Muhammad Jawad as.
Ummu Fadhl pun menyanggupi. Maka, ia bubuhkan racun ganas dalam anggur, seakan-akan ia telah belajar dari ayahnya sendiri yang telah membunuh Imam Ali Ridha as dengan cara yang sama.
Demikian kesyahidan Imam Muhammad Jawad as, pada hari selasa 6 Dzulhijjah 220 H, di usianya yang masih muda, 25 tahun.
Jasad beliau yang suci nan kudus dimakamkan di pemakaman Quraisy (sekarang, kota Kadzimein) di samping makam datuknya, Imam Musa Kazhim as.
Pusara kedua Imam itu merupakan salah satu tempat ziarah kaum muslimin yang berasal dari berbagai penjuru dunia.* (nsa)
Sumber: ahlulbaitindonesia.or.id