BERITAALTERNATIF.COM – Usman bin H. Abdul Hamid (50) duduk di meja hijau. Ia disidang oleh tiga orang hakim yang berasal dari Pengadilan Negeri (PN) Tenggarong pada Rabu (12/10/2022) sore. Agendanya, mendengarkan keterangan saksi.
Di ruangan sidang tersebut, Usman yang mengenakan peci putih terlihat mendengarkan dengan penuh khidmat pembacaan jadwal sidang oleh majelis hakim, yang terdiri dari Ben Ronald P. Situmorang, Andi Ardiansyah, dan Maulana Abdillah.
Hari itu, mendung sedang menyelimuti wilayah Tenggarong. Namun, hujan tak kunjung turun. Barangkali, cuaca itu selaras dengan perasaan Usman yang harus menjalani tahap yang begitu panjang dalam persidangan sejak kasus ini bergulir di kepolisian pada Juni 2022.
Laki-laki berperawakan sedang, berkumis tipis dan berjenggot pendek itu tak mengetahui bahwa urusan jual beli sahamnya 70 persen di PT Makaramma Timur Energi (MTE) pada tahun 2018 harus berakhir dengan dakwaan penipuan. Ia pun tidak mengetahui akhir dari nasibnya yang akan ditentukan oleh majelis hakim PN Tenggarong.
Saham tersebut berbentuk lahan seluas 30 hektare, jalan sepanjang 8 kilometer dengan lebar 20 meter dalam bentuk SPPAT, perizinan terminal khusus, perizinan melintasi pipa gas milik PT Vico Indonesia/Pertamina, dan 3 unit bangunan permanen yang berlokasi di Kecamatan Muara Badak.
Saham itu ditawarkan kepada Hartomo senilai Rp 12 miliar. Sebelum melakukan pembayaran, Hartomo terlebih dahulu mengutus Robby Tan untuk melakukan survei. Sekitar bulan Mei 2018, Robby pun mengadakan survei. Hasilnya, karena lahan tersebut berada di areal pertambangan, ia melaporkan kepada Hartomo bahwa lahan itu bertempat di lokasi yang strategis sehingga sangat prospek di masa depan.
Setelah melakukan negosiasi dengan Usman, pada 11 Juni 2018 Hartomo bersedia membayar saham tersebut senilai Rp 6,5 miliar. Pembayaran pun dilakukan di Kota Bontang pada 13 Juni 2018, yang saksinya salah satunya Merry Chintya Dewi, yang tak lain adalah istri dari Hartomo.
Hartomo membayar saham tersebut secara bertahap. Pada saat penandatanganan perjanjian jual beli saham, ia menyerahkan uang senilai Rp 500 juta kepada Usman.
Kemudian, pada 22 Juni 2018, ia kembali menyerahkan uang Rp 2,5 miliar kepada Usman. Saat rekomendasi dan pengurusan pelabuhan selesai, Hartomo kembali membayar Rp 1 miliar. Terakhir, setelah surat-surat tanah diproses ke PT MTE, Hartomo memberikan Rp 2,5 miliar kepada Usman.
Setelah perjanjian jual beli dan pembayaran saham selesai, Usman dinilai oleh Mery tidak menjalankan tugasnya, yakni pemenuhan fasilitas yang harus diselesaikan oleh Usman. Merry pun melayangkan surat kepadanya pada 16 Maret 2021. Namun, surat itu tidak ditanggapi oleh laki-laki tersebut.
Merry, yang menjabat sebagai Direktur Utama PT MTE, kemudian melakukan verifikasi faktual di lapangan. Ia menemukan kondisi yang tidak sesuai dengan pernyataan Usman, salah satunya luas lahan yang dijanjikan 30 hektare, berdasarkan temuan Merry, hanya seluas 20 hektare.
Di dalam lahan seluas 20 hektare itu, 3,5 hektare di antaranya diakui Merry merupakan milik H. Pawowoi. Sedangkan 8.600 meter persegi diklaim milik Nur Andika bin Andri Bakri yang belum dibayar oleh Usman.
Merry pun membayar lahan tersebut kepada Nur Andika senilai Rp 250 juta. Ia juga membayar lahan H. Pawowoi sebesar Rp 650 juta.
Usman juga menjanjikan tanah di permukaan jetty di bibir sungai yang memiliki lebar 475 meter. Namun, Merry menemukan tanah itu hanya seluas 197 meter.
Selain itu, Usman menjanjikan Izin Terminal Khusus. Saat dilakukan pembelian saham, PT MTE tidak memiliki kuasa pertambangan, sehingga tidak memenuhi syarat penerbitan Izin Terminal Khusus.
Di luar itu, Usman menjanjikan jalan hauling seluas 8 kilometer dengan lebar 20 meter. Belakangan, Merry harus membeli jalan berbeda seluas 4.900 meter persegi kepada Rahmawati senilai Rp 247 juta.
Atas dasar itu, Merry mengaku mengalami kerugian Rp 1,147 miliar. Hal ini pun menjadi dasar baginya membawa Usman ke meja hijau. Belakangan, pria berkulit sawo matang itu didakwa dengan Pasal 372 dan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP.
Kepada media ini, Usman melalui kuasa hukumnya, yang terdiri dari Nove Yohanes Suprapto dan Rusniawati Ayu Syafitri, membantah laporan serta tudingan yang dilayangkan Merry kepadanya. Bantahan lengkap dari dua praktisi hukum tersebut terkait hal ini akan kami terbitkan dalam artikel terpisah. (um)