Anak-Anak Indonesia yang Dibesarkan dalam Kebencian

Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – Pada November 2014, wartawan BBC, Mark Lowen, menemui seorang remaja usia 13 tahun yang sedang dalam masa persiapan bergabung dengan ISIS di Turki selatan. Dia ingin dipanggil sebagai “Abu Hattab”. Ia bergabung dengan kelompok jihad Syam al-Islam. Dia dididik hal ihwal syariah dan belajar menggunakan senjata, dan dengan bangga menunjukkan gambar ia membidik dengan senapan mesin.

Sekarang ia menghabiskan hari-harinya dengan selalu terhubung secara online, menonton video jihad dan chatting di Facebook dengan para petarung ISIS. Dalam beberapa pekan, katanya, dia akan pergi ke kubu ISIS di Raqqa di Suriah untuk menjadi seorang prajurit jihad belia.

Di kota Gaziantep, Turki selatan, BBC bertemu seorang aktivis masyarakat sipil Suriah yang dua adiknya, berusia 13 dan 15 tahun, menjadi korban upaya penggalangan Jabhat Al Nusra, cabang Al Qaeda di Suriah. Menurut laporan Human Rights Watch, para prajurit bocah itu digunakan sebagai pelaku bom bunuh diri dan penembak jitu.

Jurnalis independen, Vanessa Beeley, pada Agustus 2016 mengunjungi korban bom bunuh diri di Al Qaa, sebuah desa yang penduduknya mayoritas Kristen di dekat perbatasan Suriah-Lebanon. Si korban bernama Jean Houri. Pada 27 Juni 2016, terjadi aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh 4 orang. Jean berlari untuk membantu seorang korban akibat ledakan si pengebom ke-3, yang membuat kaki kirinya terluka. Tapi kemudian, si pengebom yang ke-4 meledakkan dirinya, sehingga kaki kanan Jean pun hancur. Para pengebom bunuh diri itu masih remaja. Mereka terlihat dalam pengaruh obat bius, salah satunya bahkan sudah dihujani lebih dari 50 peluru [oleh aparat], tapi mampu terus berjalan dan mampu meledakkan dirinya.

Si bocah Omran Daqneesh yang membuat heboh sedunia karena fotonya di kursi oranye, saat dilacak jejak digitalnya, terlihat sedang pura-pura menjadi “jihadis” yang sedang memenggal bonekanya. Bana Al Abed pun dimanfaatkan untuk propaganda kelompok teroris. Pad Desember 2016, di internet tersebar video seorang ayah yang secara terbuka mengakui menyuruh anak-anak perempuannya melakukan aksi bom bunuh diri di Damaskus.

Carla Ortiz, artis dan produser film dokumenter yang meliput langsung ke Suriah, dalam wawancaranya dengan CNN berkomentar tentang Bana Al Abed, “Bahkan anak teroris pun punya hak untuk memilih.”

Sungguh tragis, anak-anak yang diceritakan tadi tidak diberi kesempatan untuk memilih.

Radikalisasi anak-anak tidak hanya terkait Suriah. Anak-anak di Indonesia pun sudah banyak yang teradikalisasi. Survei tentang radikalisme yang dilakukan di 100 sekolah menengah di Jakarta dan sekitarnya menunjukkan hampir 50% pelajar mendukung cara-cara keras dalam menghadapi masalah moralitas dan konflik keagamaan. Bahkan, belasan pelajar menyetujui aksi bom bunuh diri.

Survei ini dikerjakan sejak Oktober 2010 hingga Januari 2011 oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) dengan menyebarkan kuesioner kepada sekitar 1.000 pelajar dan melakukan jajak pendapat di kalangan para guru mata pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah yang disurvei. Penelitian ini dipimpin oleh Prof. Dr. Bambang Pranowo, juga guru besar sosiologi Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.

Menurut seorang teman yang memahami cara kerja otak, “Anak-anak di bawah 11 tahun faktor kritisnya belum berperan, sehingga sugesti-sugesti yang masuk tidak dihadang oleh reticular activating system (pintu gerbang yang menjaga pikiran bawah sadar). Anak-anak itu pun menjadi ‘pengantin’ yang amat mudah dibentuk. Proses fokus, enviromental hypnosis, figur otoritatif, repetisi, memudahkan suatu sugesti masuk menjadi belief [keyakinan] dan menguat.”

Artinya, orang tua sepenuhnya bertanggung jawab atas terjadinya radikalisasi pada anak-anak.

Lalu, apa yang bisa dilakukan para ayah-bunda? Untuk mencegah anak-anak teradikalisasi, tentu yang paling utama dilakukan ortu adalah memilih sekolah atau lingkungan belajar yang bebas dari paham-paham radikal. Kemudian, ortu harus mengajarkan kepada anak-anak bahwa Islam adalah ajaran yang welas asih. Nabi Muhammad adalah Nabi yang sangat welas asih. Kalaupun beliau berperang, selalu atas dasar alasan yang valid (bukan tuduhan membabi-buta) dan dengan etika perang yang ketat (bukannya membantai rakyat sipil secara membabi-buta dengan bom bunuh diri).

Menurut Kementerian Agama, kisah-kisah sejarah Nabi Muhammad yang diajarkan di sekolah didominasi oleh kisah-kisah perang, padahal kejadian perang dalam masa hidup Rasulullah sangat sedikit. Orang tua perlu mengimbanginya dengan menceritakan kisah-kisah akhlak mulia Rasulullah dalam berinteraksi dengan berbagai kalangan manusia.

Kemudian, waspadai pemakaian internet anak-anak. Saya menemukan kasus seorang remaja putri yang amat pintar tapi dibiarkan oleh ortunya berselancar sendirian di dunia maya, akhirnya menjadi sangat radikal. Dia bahkan punya keinginan membunuh tokoh-tokoh yang dia benci (antara lain: Bashar Assad dan Ayatullah Khamenei). Seorang teman menceritakan bahwa grup WA keponakannya (masih SMP, di sekolah Islam), sudah biasa menyebarkan foto-foto kepala terpenggal dan ujaran-ujaran kebencian.

Dan, mulailah dari diri sendiri. Jangan menyebarkan kebencian pada sesama manusia, karena akar radikalisasi adalah takfirisme (amat mudah mengkafir-kafirkan pihak lain yang tak sepaham). Lebih baik lagi: lawanlah akun-akun di medsos yang gemar menyebarkan kebencian, takfirisme, dan hoaks. Mari mencintai bangsa ini dengan aktif mencegah penyebaran radikalisme. (Sumber: Dina Sulaeman dalam buku Salju di Aleppo)

Kunjungi Berita Alternatif Di :

Bagikan

BERITA TERKAIT

PALESTINA
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA