MAKNA LOGIS “BERTAKWALAH DAN CINTA DUNIA”

Listen to this article

Oleh : Dr Muhsin Labib*

Bertakwalah!

Banyak orang mengira ketakwaan sebagai sebuah prestasi kesalehan yang bisa dicapai dengan praktik-praktik ritual serta amalan zikir secara intensif dan rutin semata sebagai pelaksanaan perintah bertakwa dalam banyak ayat suci dalam Al-Quran.

Banyak pula orang memahami perintah bertakwa sebagai perintah untuk merasa bertakwa tanpa sebuah proses dan prosedur tertentu yang dilalui. Padahal tidak demikian.

Jumlah kata “ittaqu” (اتقوا) dalam Al-Quran, tanpa memasukkan kata benda “taqwa” (التقوى) dan serumpunnya di dalamnya,, kira-kira 129 kali. Pengulangan Ini menunjukkan posisi vital ketakwaan bagi hamba. Karena itulah, perintah bertakwa disepakati sebagai bagian fundamental dari khotbah Jumat yang mesti disampaikan oleh khatib.

Taqwa secara etimologis adalah kewaspadaan, perlindungan diri, dan secara terminologis adalah sebuah kesadaran pskilogis yang mendorong subjek berkesadaran kepada apapun yang.baik dan memproteksinya dari apapun yang buruk.

Secara epistemologis, takwa atau ketakwaan adalah buah dari amal atau perbuatan baik yang merupakan implementasi iman dalam struktur kausalitas yang nurut secara niscaya sebagai berikut :

1. Perintah dan anjuran bertakwa hanya bisa dipahami sebagai perintah melewati tahap iman kemudian tahap amal saleh yang diwajibkan dan yang dianjurkan, vertikal dan horisontal.

2. Perintah dan anjuran beramal saleh mesti dipahami sebagai perintah beriman atau percaya (trust) sebagai tahap yang mendahuluinya.

3. Perintah dan anjuran beriman harus dipahami sebagai perintah mencari ilmu dan berpengetahuan (mafhum koheren yang koresponden dengan mishdaq) yang melahirkan iman.

4. Perintah dan anjuran berpengetahuan (mencari data valid) harus dipahami sebagai perintah berpikir yang merupakan proses olah pikiran yang membuahkan pengetahuan.

5. Perintah dan anjuran berpikir mesti dipahami sebagai perintah berpikir harus dipahami sebagai perintah berkesadaran yang merupakan buah sebuah pengalaman individual sejak awal hadir sebagai manusia yang merupakan substansi khusus yang secara gradual terdiri atas raga sebagai perangkat keras, jiwa sebagai perangkat keras sekaligus perangkat lunak yang gradual.

Ketakwaan adalah prestasi gradual sebuah proses perjuangan panjang dari kesadaran, lalu pemikiran, kemudian pengetahuan selanjutnya kepercayaan (kepatuhan batin) dan pengamalan (kepatuhan lahir). Ketakwaan tertinggi adalah kesucian mutlak yang disusul oleh kesucian nisbi dalam hierarki yang menjulang.

Cinta Dunia

Sebagian orang menganggap dunia dan akhirat sebagai dua kehidupan diametrikal, dan memvonis secara total sebagai kehidupan yang hanya permainan, hiburan, kesia-siaan, sebagaimana disebutkan dalam ayat suci Al-Quran (QS. Al-An’am : 32).

Beberapa ayat juga menjadi dasar mindset demikian, antara lain ayat “Dijadikan indah bagi manusia kecintaan pada aneka kesenangan yang berupa perempuan, anak-anak, harta benda yang bertimbun tak terhingga berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik. (QS. Ali Imran : 14).

Anggapan ini adalah akibat pemahaman sempit tentang makna dan pengertian dunia Kata “dunia” disebutkan dalam Al-Qur’an 115 kali, yang sering dikaitkan dengan kata “hayah” (kehidupan). Kata dunia disebutkan dalam modus yang berbeda-beda. Sekilas kata ini satu modus, yakni tempat penuh fitnah, kebencian, dan penghinaan.

Secara etimologis, dunia yang berasal dari kata superlatif Arab “dani” dan “daniyah” (rendah) yang berarti paling rendah. Secara terminologis, dunia adalah antonim kata “ulya” (paling tinggi), yang semakna dengan akhirat. Dunia atau kehidupan duniawi adalah ruang spasial dan temporal.

Beberapa ayat menghubungkan dunia yang buruk dengan pandangan dan sikap sebagian manusia yang menganggap kehidupan dunia sebagai kehidupan tunggal dan final. Antara lain sebagai berikut :

1. “Dan mereka berkata): “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.(QS. Al-Jatsiyah : 24)

2. Dan tentu mereka akan mengatakan (pula), “Hidup hanyalah di dunia ini, dan kita tidak akan dibangkitkan.” (QS. Al-An’am : 29).

3. Buatkanlah untuk mereka (umat manusia) perumpamaan kehidupan dunia ini, yaitu ibarat air (hujan) yang Kami turunkan dari langit sehingga menyuburkan tumbuh-tumbuhan di bumi, kemudian (tumbuh-tumbuhan) itu menjadi kering kerontang yang diterbangkan oleh angin. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Kahf : 45).

Ketika dunia digambarkan sebagai sesuatu yang buruk dan tercela, maka tak berarti dunia itu pada dasarnya adalah buruk, tapi ia menjadi buruk bila dikaitkan pandangan dan sikap seseorang terhadapnya. Ketika seseorang menjadikan dunia sebagai tujuan, maka dunia menjadi buruk

Inilah dunia yang tercela dalam pandangan Islam, dan inilah yang dimaksud dengan sabda Ali as: “Dunia adalah ladangnya kejahatan,” “Dunia adalah sumber kejahatan dan tempat kesia-siaan,” “Dunia adalah pasar kerugian,” dan “Dunia adalah kematian pikiran.”

Namun bila seseorang menjadikan dunia sebagai sarana atau jalan menuju akhirat yang menjadi tujuannya, maka ia menjadi baik. Terdapat banyak teks suci yang yang menegaskan bahwa Tuhan menciptakan dunia ini demi manusia, dan menciptakan manusia untuk akhirat. Nabi SAW bersabda: “Dunia diciptakan untukmu, dan kamu diciptakan untuk akhirat.” Tuhan menghendaki pandangan manusia terhadap dunia didasarkan pada hal ini, yaitu memperlakukan dunia sebagai sarana menuju akhirat

Dunia inilah yang dimaksud dengan perkataan Imam al-Baqir, saw, ketika ia menafsirkan firman Yang Maha Kuasa, “Dan diberkatilah tempat tinggal orang-orang yang bertakwa” sebagai (dunia).

Allah SWT berfirman: “Dan carilah melalui apa yang telah Allah berikan kepadamu, rumah akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia ini” (QS. Al-Qasas 77).

Banyak orang bertanya-tanya: Bisakah seseorang menggabungkan dunia dan akhirat atau tidak?

Sebagian orang menganggap penggabungan dunia dan akhirat sebagai mustahil karena beberapa teks agama. Salah satunya adalah perkataan Imam Ali, “Dunia ini dan akhirat adalah dua musuh yang berbeda,” atau perkataannya yang lain, “Mencari perpaduan antara dunia dan akhirat adalah menipu diri sendiri”, juga perkataan Yesus AS, “Dunia dan akhirat laksana seorang laki-laki yang mempunyai dua isteri.

Jika salah satu di antara mereka berkenan, maka yang lain akan risih.”

Namum penafian tersebut tidak didasarkan pada pandangan komprehensif terhadap teks-teks mulia di atas karena interpretasinya tidak menyertakan faktor sarana bagi akhirat. Dunia sebagai sarana dan akhirat sebagai tujuan bisa digabungkan.

Dunia tak patut dicintai (sebagai tujuan) tapi tak boleh dilupakan (sebagai sarana), karena menjadikannya sebagai tujuan niscaya menafikan akhirat sebagai tujuan. Inilah kekufuran yang diproduksi oleh materialisme. “Dan carilah melalui apa yang telah Allah berikan kepadamu, tempat tinggal di akhirat, dan jangan lupakan bagianmu di dunia ini.” (QS. Al-Qashash : 77).

Pecinta dunia tak berkaitan secara dengan kekayaan, kekuasaan dan ketenaran. Tidak sedikit orang miskin mencintai dunia dengan menempuh semua cara demi dunia. Banyak pula orang kaya yang tidak mencintai dunia bila harta yang dihimpunmya diperoleh dengan cara yang sah dan etis.

Berbuatlah untuk akhirat seolah besok mati. Berbuatlah untuk dunia, seakan hidup abadi. (Imam Ali)

“Dunia adalah jembatan reot.” (Nabi Isa)

(*Cendekiawan Muslim Indonesia)

 

Kunjungi Berita Alternatif Di :

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


BERITA TERKAIT

PALESTINA
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA