Search
Search
Search
Close this search box.

Dosen Unikarta Ini Sayangkan Pemanggilan Presma Unmul oleh Polresta Samarinda

Listen to this article

Kukar, beritaalternatif.com – Usai mengunggah poster yang bertuliskan “Kaltim Berduka-Patung Istana Datang ke Samarinda” yang disertakan foto Wakil Presiden (Wapres) Indonesia, Ma’ruf Amin, di akun Instagram @bemkmunmul beberapa hari yang lalu, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Abdul Muhammad Rachim, dipanggil polisi untuk dimintai klarifikasi.

Kritikan yang dianggap oleh sebagian masyarakat  sebagai penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap Wapres itu kini menjadi ramai di perbincangkan di media sosial (medsos).

Namun, Rachim tidak sendirian. Pasca diminta agar postingan itu dihapus dan meminta maaf kepada Wapres oleh Rektor Unmul, Masjaya, beberapa dukungan justru hadir dari kalangan dosen dan aktivis-aktivis Hak Asasi Manusia (HAM).

Salah satu Dosen Fakultas Hukum Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta) Tenggarong, Mansyur, menyayangkan pemanggilan yang dilakukan oleh Polresta Samarinda terhadap Rachim.

Mansyur menjelaskan, bila pemanggilan itu menggunakan pendekatan unsur penghinaan terhadap Wapres, maka itu tidak lagi berlaku. Pasalnya, sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2006 lewat putusan nomor 13/22/PUU-IV/2006, kemudian putusan ini membatalkan Pasal 134, 136, dan 137 KUHP.

“Kalau misalkan Presma Unmul ini dianggap melakukan penghinaan terhadap Wapres, nah ini yang menjadi problem, karena pasal itu sudah dihapus oleh MK tahun 2006,” ucapnya, Jumat (12/11/2021) malam.

Bila kepolisian menggunakan pendekatan dengan pasal pencemaran nama baik lewat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), maka ia pun mempertanyakan pelapornya. Sebab, MK telah memutuskan bahwa dalam UU pencemaran nama baik tersebut hanya bisa dilapor oleh korban.

Mansyur juga menyoroti unsur pelapor dan pidana terhadap pemanggilan Presma Unmul. Sebab, kata dia, jika kepolisian menggunakan dua pendekatan itu, maka hal ini tidak termasuk pidana murni, tetapi hanya pidana aduan. Kata dia, pidana aduan hanya bisa diproses ketika ada korban yang melaporkannya.

“Ketika tidak ada korban yang melaporkan, maka penegak hukum tidak boleh memproses apalagi memanggil untuk diminta klarifikasi terkait dengan kritikan itu. Kalau pendekatannya dua itu, saya pikir tidak relevan untuk kemudian Presma Unmul ini dipanggil dalam rangka melakukan klarifikasi,” tuturnya.

Mansyur menjelaskan, bila kepolisian memakai pendekatan atas dasar pencemaran nama baik, justru yang harus melapor adalah Wapres sendiri. Tidak boleh dilakukan orang lain, kecuali Wapres memberikan kuasa khusus kepada orang lain untuk melaporkannya.

“Itu boleh. Tetapi kalau orang itu tidak mendapatkan kuasa khusus atau kuasa istimewa, maka dia tidak boleh melapor karena legal standing-nya tidak terpenuhi sebagai pelapor,” katanya.

“Saya berharap kasus ini untuk tidak dilanjutkan. Jangankan dilakukan untuk pemanggilan, dinaikkan statusnya, dimintai klarifikasi lebih lanjut pun saya pikir tidak perlu dilakukan oleh kepolisian, karena itu memperlihatkan kearogansian seorang penegak hukum, karena saya tidak menemukan ada unsur pidananya,” tegas dia.

Meskipun menggunakan kebebasan berpendapat dianggap sah-sah saja, sebagai mantan aktivis, dosen muda ini menyarankan agar mahasiswa mengkritik dengan cara yang  membangun, lebih melihat kinerja dari kebijakan ketimbang mengatakan Wapres sebagai “patung istana”.

“Mengatakan Wapres sebagai patung istana bagi saya itu tidak konstruktif. Sebagai akademisi saya selalu berharap kepada mahasiswa untuk mengkritik kebijakannya,” pungkas Mansyur. (ar)

Kunjungi Berita Alternatif Di :

Bagikan

BERITA TERKAIT

Advertisement
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA