Para Makelar Perang (3)

Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – Berbagai NGO (Non-Government Organization) atau LSM, bersama lembaga-lembaga “think tank” (pusat studi) memiliki rekam jejak dalam upaya penggulingan rezim di berbagai penjuru dunia.

Di Mesir, misalnya, aksi-aksi demo penggulingan Husni Mubarak dimotori oleh aktivis LSM yang dilatih oleh AS, antara lain melalui Freedom House (FH) dan National Endowment for Democracy (NED), agar mereka mahir menggalang massa. FH dan NED juga bermain di Suriah.

Bedanya, bila di Mesir aksi demo bisa tereskalasi (jumlah pendemo sangat masif) sehingga Mubarak terguling dengan mudah, di Suriah modus ini gagal total. Yang muncul malah demo tandingan yang jauh lebih masif, menunjukkan dukungan kepada Assad.

Kejadian sama juga terlihat di Libya, aksi demo tidak pernah tereskalasi, bahkan yang terjadi demo luar biasa besar di Tripoli mendukung Qaddafi.

Jadi, dalam menganalisis soal Suriah, penting untuk menoleh tajam ke LSM dan think-tanks. Berikut ini akan saya bahas beberapa di antaranya.

Amnesty International

Amnesty International (AI) adalah salah satu lembaga yang sangat berpengaruh dalam menggiring opini publik ketika menilai mana yang benar dan mana yang salah dalam Perang Suriah.

Sejak awal konflik, yaitu sejak awal munculnya demo-demo massa di Daraa, AI dengan cepat merilis laporan berjudul “Deadly detention: Deaths in custody amid popular protest in Syria”. Laporan itu dirilis Agustus 2011, padahal demo pertama di Daraa terjadi Maret 2011.

Artinya, dalam waktu 5 bulan, AI sudah membuat laporan dengan kesimpulan: pemerintah Suriah melakukan kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) dan menyerukan dunia internasional mengambil tindakan menghukum pemerintah Suriah.

Status crimes against humanity adalah tuduhan serius, yang bermakna: pemerintah suatu negara melakukan serangan sewenang-wenang kepada masyarakat sipil secara luas dan sistematis; dan serangan itu merupakan bagian dari ‘kebijakan resmi’ pemerintah.

Bila ada pemerintah yang melakukan hal ini, masyarakat internasional (dalam hal ini PBB) dianggap ‘berhak’ untuk melakukan Humanitarian Intervention (menggulingkan pemerintahan tersebut).

Namun pertanyaannya, bagaimana mungkin hanya dalam lima bulan, AI bisa membuat laporan itu? Bila pemerintah Suriah dituduh melakukan ‘serangan secara luas dan sistematis’, artinya, kawasan yang harus diteliti juga sangat luas dan menggunakan metode penelitian yang benar, antara lain melewati prosedur desain penelitian, persiapan, pelaksanaan penelitian, pengolahan data, interpretasi data, penulisan, dan pengecekan keakuratan penulisan.

Sekjen AI, Salil Shetty, dalam wawancara tahun 2014 mengklaim pihaknya memiliki standar pelaporan yang benar, yaitu pengumpulan bukti-bukti dilakukan langsung oleh staf AI di lapangan, dan setiap penemuan, pernyataan, atau teori harus disertai dengan bukti (corroboration) dan melakukan cross-checking (pembuktian silang dari semua pihak yang terlibat dalam konflik).

Bahkan Shetty mengatakan, “Adalah sangat penting untuk mendapatkan sudut pandang yang berbeda-beda dan secara terus-menerus melakukan pembuktian silang dan verifikasi fakta.”

Kenyataannya, sebagaimana dicantumkan dalam ‘laporan kilat’ itu, peneliti AI melakukan wawancara kepada orang-orang Suriah yang sudah mengungsi ke Lebanon dan Turki, dan berkomunikasi dengan email dan telepon dengan warga di Suriah, yaitu keluarga korban, aktivis HAM, dokter, dan tahanan yang baru dibebaskan. Narasumber lainnya adalah aktivis HAM yang tinggal di luar Suriah.

Dari semua narasumber yang disebutkan, satu-satunya yang termasuk sumber primer adalah ‘tahanan yang baru dibebaskan’. Tapi, apakah informasi dari mereka mengenai kondisi di penjara bisa mendukung tuduhan ‘kejahatan kemanusiaan’? AI tidak menuliskan penjelasan apa pun untuk menjawab pertanyaan ini.

Yang lebih parah lagi, di halaman 5, AI menuliskan, “Amnesty International has not been able to conduct first-hand research on the ground in Syria during 2011” [AI tidak bisa melakukan penelitian langsung lapangan di Suriah selama 2011]. Dan tentu saja, standar lainnya juga tidak dipenuhi oleh laporan itu (corroboration dan cross-checking).

Syrian Observatory of Human Rights

Syrian Observatory of Human Rights (SOHR) adalah satu contoh yang paling mengerikan tentang bagaimana sebuah LSM digunakan untuk memperkuat narasi geopolitik di bawah pimpinan AS.

SOHR dibuat pada tahun 2006. Di luar nama megahnya, LSM ini pada dasarnya adalah sebuah lembaga one-man show, dioperasikan oleh satu orang dari apartemen satu kamar tidur di Coventry, Inggris. Orang tersebut bernama Osama Ali Suleiman, yang biasa dikenal di media sebagai “Rahmi Abdul Rahman”.

SOHR telah memainkan peran kunci dalam membuat cerita ‘fakta di lapangan’ untuk poros Washington-London-Paris yang berusaha untuk menggulingkan pemerintah di Damaskus melalui kebijakan ‘perubahan rezim’ di Suriah.

Hampir setiap laporan utama di media mainstream AS dan Eropa telah mengutip SOHR sebagai sumber data dengan melewatkan pemikiran mengenai akurasi dan kredibilitas sumber, dan bagaimana kategorisasi angka korban jiwa yang disodorkannya.

Data yang diberikan SOHR sering memasukkan jumlah korban dari ‘pasukan pemberontak’ (yang sering mencakup petempur asing) ke dalam jumlah korban sipil.

Angka-angka yang meragukan itu juga digunakan oleh sejumlah badan PBB, serta organisasi-organisasi HAM terkemuka. Demikian pula, pejabat Eropa-Amerika Serikat, Inggris sering menyebutkan angka 250.000 untuk “kematian warga sipil di Suriah akibat dibunuh oleh rezim”.

Suatu saat, seorang pejabat Barat akan mengutip angka 150.000, lalu minggu depannya dia menyebut 350.000. Akibatnya, sebagian besar laporan media arus utama menyebut jumlah korban Suriah dengan bias dan menggunakan metodologi yang inkonsisten, dan sebagai hasilnya tampaknya tidak ada yang benar-benar tahu angka yang sebenarnya. Semakin besar jumlahnya, semakin antusias permohonan intervensi militer Barat.

Hal yang harus dicatat adalah bahwa SOHR menerima dana secara langsung dari Uni Eropa dan juga menikmati dukungan besar dari Kantor Luar Negeri Inggris–dua pihak yang secara aktif berusaha menggulingkan pemerintah di Suriah melalui pasukan proxy mereka (‘mujahidin’). SOHR juga menerima dana dari Soros.

Ketika Coca-Cola Membiayai Perang

National Endowment for Democracy (NED), International Crisis Group (ICG) dan Brooking Institution adalah tiga di antara banyak lembaga think tank (pemikiran/penelitian) yang berperan dalam mendorong perubahan rezim di berbagai negara, termasuk Libya, Suriah, dan Iran.

Mantan Sekjen PBB, Kofi Annan, yang pernah ditugasi menjadi mediator perdamaian di Suriah, adalah trustee (penasehat) di ICG, bersama tokoh-tokoh Zionis, seperti George Soros, Zbigniew Brzezinski, dan Shimon Peres.

Baik NED, ICG, Brooking, dan lain-lain, didanai oleh Big Oil (Conoco-Philips, Chevron, ExxonMobil), Coca Cola, Bank of America, Microsoft, Standard Chartered, Citigroup, Hilton, McDonald, GoldmanSach, dll. (Perlu saya ingatkan bahwa Goldman Sachs dan Rockefeller juga berada di belakang The Medecins sans Frontieres). Aliran dana untuk the White Helmets juga ter-link dengan Soros.

Pemilik perusahaan-perusahaan yang disebut di atas adalah pengusaha-pengusaha Yahudi pro-Israel. Nama Soros yang disebut berulang-ulang dari sejak awal tulisan di buku ini, adalah tokoh Zionis yang sangat aktif membiayai upaya-upaya penggulingan rezim di berbagai negara, terutama Eropa Timur (juga dalam penggulingan Soeharto).

Selain LSM dan think tank yang sudah disebutkan sebelumnya, ada organisasi lain yang merupakan perpanjangan tangan Soros dalam mengacau negara-negara di dunia, yaitu Centre for Applied Non Violent Action and Strategies (CANVAS).

CANVAS adalah sebuah ‘perusahaan konsultan revolusi’ yang terlibat dalam upaya-upaya penggulingan rezim di berbagai negara antara lain, Georgia, Ukraina, Maldiv, dan bekerja sama dengan aktivis dari lebih 40 negara, mulai dari Belarus, India, China, Burma, Libya, Mesir, Tunisia, Suriah, Iran, Yaman, hingga Afrika. Mereka biasanya menggunakan logo tangan terkepal dalam berbagai aktivitasnya.

Pentolan CANVAS adalah Srdja Popovic. Dia adalah arsitek gerakan penggulingan Slobodan Milosevic (Serbia) pada tahun 2000. Menyusul kesuksesannya, Popovic mendirikan CANVAS dan memberikan pelatihan berbagai strategi revolusi kepada para aktivis yang ingin menggulingkan rezim di negara mereka.

Para pendukung dana CANVAS adalah lembaga-lembaga terkemuka seperti United States Institute for Peace (USIP) yang didanai Kongres AS, New Tactics (didanai Ford Foundation dan Soros Foundation), dan lain-lain.

Foreign Policy melaporkan, selama enam bulan pertama tahun 2012, 40 aktivis oposisi Suriah mengadakan pertemuan di Jerman yang dikoordinir oleh USIP untuk merancang bentuk dan agenda pemerintahan pasca-Assad.

CANVAS telah membuat sebuah buku petunjuk untuk para aktivis, dengan didanai USIP, berjudul “Nonviolent Struggle-50 Crucial Points”. Buku itu tersedia dalam enam bahasa termasuk Arab dan Farsi, dan di Timur Tengah saja telah diunduh 20.000 kali.

Resep CANVAS sebenarnya sederhana, yaitu ajak sebanyak mungkin massa turun ke jalan sehingga pemerintahan bisa dilumpuhkan.

“Para Hitler atau para Assad di dunia ini tidak bisa sendirian mengumpulkan pajak, menyiksa warga, menembaki demonstran, mengendalikan transportasi publik sendirian. Mereka membutuhkan kepatuhan dan kerja sama [dari rakyat]. Jika ada cukup orang yang menolak patuh dan tidak mau bekerja sama, para pemimpin itu tidak akan bisa lagi memimpin,” kata Popovic.

Namun, resep ini tidak ‘laku’ di Suriah. Demonstrasi tidak pernah bisa mencapai eskalasi. Justru sebaliknya, demo yang masif malah mendukung Assad. Akhirnya, diambillah opsi kedua, yaitu pemberontakan bersenjata.

Negara-negara Barat, melalui tangan Qatar dan Arab Saudi pun sudah jauh-jauh hari bersiap-siap mengambil opsi kedua ini. Pada tahun 2007, Seymour Hersh telah menulis laporan yang mengungkap rencana pemerintahan Bush untuk mengorganisasi, mempersenjatai, melatih, serta mengirimkan pasukan teroris dari jaringan Al Qaeda untuk mendestabilisasi dan menggulingkan rezim di Suriah dan Iran.

Mantan Menteri Luar Negeri Perancis, Roland Dumas, menginformasikan bahwa Inggris juga telah merencanakan penggulingan rezim Suriah sejak 2009. “Saya bertemu dengan pejabat Inggris, yang mengaku kepada saya bahwa mereka sedang mempersiapkan sesuatu di Suriah. Ini di Inggris, bukan di AS. Inggris telah mempersiapkan milisi bersenjata untuk menginvasi Suriah,” kata Dumas di televisi Perancis.

Sumber dana lainnya, dan mungkin yang terbesar, digelontorkan Arab Saudi dan Qatar, sesuai pengakuan Senator John McCain, arsitek Perang Suriah. Hillary Clinton juga menulis (dalam emailnya, yang dibongkar Wikileaks) bahwa pemerintah Saudi dan Qatar-lah yang mendanai ISIS dan berbagai kelompok teror lainnya. Saat Hillary jadi Menlu AS, penjualan senjata AS ke Saudi naik dua kali lipat.

Sampai di sini, tiga komponen biaya perang Suriah sudah dibahas: biaya propaganda, biaya untuk LSM dan think tank, serta biaya suplai senjata. Pemerintah Barat, perusahaan-perusahaan kaya raya milik Zionis, dan tokoh-tokoh Zionis ada di balik ini semua. Tapi ada juga sumber dana lain, di tulisan berikutnya akan dibahas. (*Sumber: Dina Sulaeman dalam buku Salju di Aleppo)

Kunjungi Berita Alternatif Di :

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


BERITA TERKAIT

PALESTINA
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA