Search
Search
Search
Close this search box.

Para Makelar Perang (1)

WASHINGTON, DC - APRIL 12: U.S. Secretary of State Hillary Clinton (R) and Saudi Arabian Defense Minister Prince Salman bin Abdul-Aziz Al Saud (2nd L) make remarks to the media prior to their meeting April 12, 2012 at the State Department in Washington, DC. Prince Salman bin Abdul Aziz paid a visit to Washington and had meetings with officials including President Barack Obama as concerns over Iran's continuing to develop its nuclear program. Alex Wong/Getty Images/AFP
Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – Sikap aneh yang ditunjukkan LSM medis terkemuka dunia, The Medecins sans Frontieres (MSF), dalam konflik Suriah, tak ayal membuat saya ingin tahu, siapakah pendirinya? Ternyata, sang pendiri juga sangat terlibat dalam konflik Suriah. Karena itulah, meskipun dalam situsnya MSF menyatakan tidak ada kaitan lagi antara LSM ini dengan sang pendiri, tokoh satu ini tetap layak dibahas.

MSF didirikan oleh Bernard Kouchner, seorang dokter-politisi, bersama beberapa dokter Perancis lainnya pada 20 Desember 1971. Mereka mengklaim sebagai LSM pertama di dunia yang khusus memberikan bantuan medis darurat.

Menurut BBC, MSF menjadi lembaga pertama di dunia yang memanfaatkan kekuatan besar media besar untuk membangun opini publik.

Kouchner kemudian dikenal sebagai propagandis ‘humanitarian intervention’, sebuah ide untuk membantu warga sipil di mana pun berada. Seolah ini ide bagus, namun pada praktiknya, yang terjadi berkali-kali adalah pelanggaran kedaulatan sebuah negara demi kekuatan kapitalis global, dengan dibungkus label ‘intervensi kemanusiaan’.

Kouchner sempat menjadi Menlu Perancis tahun 2007- 2010, dan pada masa itulah Perancis kembali berintegrasi ke dalam NATO. Kouchner satu ‘geng’ dengan Bernard Henry Levy, André Glucksmann, dll. yang disebut sebagai ‘intelektual Yahudi Perancis’, yang secara konsisten mendorong perang di berbagai negara.

Peran Kouchner dkk. adalah “propagandis” (lobbyist, negosiator, atau makelar) perang. Mereka muncul dengan label pejuang kemanusiaan, filsuf, intelektual, atau pengamat politik, dengan tujuan membangun opini publik Barat untuk menyetujui serangan ke sebuah negara.

Tahun 2010, media Israel, Jerusalem Post menyebut Kouchner satu dari 15 Yahudi paling berpengaruh di dunia. Secara terang-terangan, Kouchner mengatakan bahwa ‘dunia harus melindungi Israel’.

Pada Juli 2011, Bernard-Henri Levy (tokoh yang juga sangat aktif memakelari ‘intervensi kemanusiaan’ di Libya) menggelar konferensi internasional anti-Assad pertama, di Paris. Kouchner, Frederik Ansel (anggota partai Likud, Israel), Alex Goldfarb (penasehat Menhan Israel), dan Andre Glucksmann (penulis Islamophobia) hadir dalam konferensi itu.

Tahun 2013, Koucher, Alain Juppe, dan Bernard-Henri Levy, dalam “konferensi internasional untuk Suriah” menyerukan agar masyarakat internasional mengintervensi Suriah, dengan atau tanpa PBB.

Mengapa tokoh-tokoh pro-Israel sedemikian aktif mendorong dunia internasional agar menggulingkan Assad? Mengapa pemerintah negara-negara Barat juga “manut” saja pada desakan mereka?

Seperti diungkap penulis Yahudi pengkritik Israel, Gilad Atzmon, pemerintah Inggris maupun Perancis sesungguhnya didominasi oleh kelompok lobi pro-Israel. Sekitar 80% anggota parlemen konservatif Inggris adalah anggota organisasi ultra Zionis, CFI (Conservatif Friend of Israel).

Di Perancis situasinya bahkan lebih dahsyat karena sistem politik negara itu seluruhnya dibajak oleh organisasi lobi Zionis, CRIF (Conseil Représentatif des Institutions juives de France).

Itulah sebabnya, Perancis dan Inggris sedemikian berkeras menyuplai dana dan senjata kepada pemberontak Suriah. Dan, sudah menjadi rahasia umum pula bahwa politik AS juga didominasi oleh Israel.

Hal ini dikupas tuntas oleh dua pakar Hubungan Internasional dari AS, Prof. Mearsheimer dan Prof. Walt dalam paper (yang kemudian dibukukan) berjudul “The Israel Lobby and US Foreign Policy”. Mereka menyimpulkan bahwa politik luar negeri AS telah bergeser dari ‘membela kepentingan nasional’ kepada ‘membela kepentingan Israel’.

Khusus terkait Suriah, disebutkan dalam buku itu bahwa Israel mendorong AS agar menggulingkan rezim Republik Islam Iran, Saddam Husein di Irak, dan Bashar Assad di Syria (halaman 4).

Di halaman 38, ada sub bab yang diberi judul “Menembak Suriah”. Pada bagian ini, dibahas secara rinci manuver Israel untuk mendorong AS agar menggulingkan Assad. Perhatikan bahwa buku ini ditulis tahun 2006, lima tahun sebelum konflik Suriah meletus.

Namun jauh sebelum itu, sudah ada satu dokumen penting lain yang membuktikan bahwa Israel amat berambisi menghancurkan Suriah dan Timur Tengah secara umum, yaitu Oded Yinon’s Plan (Rencana Oded Yinon).

Ini adalah dokumen yang paling eksplisit, detil, dan jelas terkait strategi orang-orang Zionis di Timur Tengah, dimuat di Kivunim [Arah], sebuah jurnal yang diterbitkan oleh Departemen Informasi Organisasi Zionis Dunia.

Dokumen ini kemudian diterjemahkan dan dipublikasikan oleh Association of Arab-American University Graduates pada tahun 1982.

Mungkin timbul pertanyaan, mengapa Zionis mempublikasikan dokumen ini? Jawabannya diberikan oleh Israel Shahak, penerjemah dokumen ini ke dalam bahasa Inggris. Menurutnya, publikasi dokumen ini ditujukan untuk orang-orang Yahudi sedunia agar mereka lebih memahami (dan mendukung) strategi politik Israel.

Dalam perhitungan mereka (dan ini terbukti hingga sekarang), bangsa-bangsa Timur Tengah tidak akan terlalu peduli pada dokumen ini dan tidak akan melakukan langkah-langkah strategis untuk melawan rencana dan strategi jangka panjang Zionis ini.

Di antara isi Oded Yinon’s Plan: “Suriah akan terpecah menjadi beberapa negara sesuai dengan struktur etnis dan agama, seperti di Lebanon saat ini, sehingga akan ada negara Syiah Alawy di sepanjang pantainya, negara Sunni di wilayah Aleppo, dan negara Sunni lainnya di Damaskus yang akan memusuhi tetangga utaranya; Druze juga akan mendirikan negara, bahkan mungkin di wilayah Golan, dan tentu saja di Hauran dan di Yordania Utara. Keadaan ini akan memberikan jaminan bagi perdamaian dan keamanan di kawasan dalam jangka panjang, dan tujuan ini sudah hampir bisa kita capai”.

AS memiliki kebijakan khusus untuk membuka dokumen-dokumen rahasia kepada publik setelah melewati jangka waktu. Dalam dokumen rahasia CIA tahun 1983 yang sudah bisa diakses publik, terlihat bahwa AS berencana menyerang Suriah. Dalam dokumen ini disebutkan bahwa Suriah adalah penghalang bagi kepentingan AS di Lebanon dan Teluk karena rezim Assad menutup jalur pipa minyak Irak.

CIA merekomendasikan agar Pemerintah AS meningkatkan tekanan kepada Assad dengan merancang diam-diam serangan militer di perbatasan Irak, Israel, dan Turki.

Mantan Jenderal NATO, Jenderal Wesley Clark mengungkap bahwa Kementerian Pertahanan pada 2001 beberapa pekan setelah peristiwa 911 sudah merencanakan akan menyerang tujuh negara dalam lima tahun, yaitu Irak, Suriah, Lebanon, Libya, Somalia, Sudan, dan Iran. Dia juga menyatakan bahwa strategi ini dilakukan demi menguasai sumber minyak dan gas di kawasan itu.

Pada bulan Maret 2016, Wikileaks mempublikasikan email Hillary Clinton. Tertulis di dalam email itu, “Hubungan strategis antara Iran dan rezim Bashar Assad membahayakan keamanan Israel… Berakhirnya rezim Assad akan mengakhiri aliansi berbahaya ini… Menteri Pertahanan Israel Ehud Barak mengatakan bahwa ‘penggulingan Assad akan menjadi serangan besar kepada Iran… ini akan amat melemahkan Hizbullah di Lebanon, Hamas, dan Jihad Islam di Gaza.”

Dokumen-dokumen di atas menjadi bukti bahwa bagi Barat (AS khususnya), perang Suriah adalah perang untuk mengamankan kepentingan Israel dan demi migas. Untuk menjaga agar tangan mereka tetap ‘bersih’, Barat memperalat kelompok-kelompok Islam garis keras untuk ‘berjihad’ di Suriah.

Pada awal 2014, Senator John McCain, arsitek perang Suriah, mengatakan, “Terima kasih Tuhan, untuk Saudi dan Pangeran Bandar, dan teman-teman Qatar kita.” McCain mengatakan ini terkait dengan ‘bantuan’ Saudi dan Qatar untuk mendanai para teroris di Suriah (tentu saja McCain menyebutnya ‘pemberontak’, bukan teroris).

Email pribadi Hillary Clinton yang dibongkar Wikileaks juga mengungkap bahwa Hillary mengakui pemerintah Saudi-lah yang mendanai ISIS dan berbagai kelompok teror lainnya; dan Saudi pula yang mengirim dana untuk yayasan Clinton. Hillary menyebut ‘government’, pemerintah Saudi. Dan di masa Hillary jadi Menlu, penjualan senjata AS ke Saudi naik dua kali lipat.

Tentu saja, secara resmi Saudi menolak ‘tuduhan’ bahwa mereka mendukung terorisme. Bahkan pada 2013-2014 Saudi sudah mendeklarasikan bahwa ISIS, Ikhwanul Muslimin, dan Jabhah Al Nusrah sebagai teroris. Tapi kita pun tahu, ketiganya tak pernah kehabisan logistik dalam mengacak-acak Suriah, sampai sekarang.

Selain itu, pemerintah Saudi selama ini sudah menggelontorkan dana 100 miliar dolar untuk menyebarkan ideologi Wahabisme (takfirisme) di seluruh dunia, sedangkan ideologi ini sudah disepakati oleh banyak ulama dan pengamat politik sebagai akar dari aksi-aksi terorisme dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap kafir.

Di pihak lain, sebagian kaum Muslimin tidak menyadari bahwa mereka telah dimanfaatkan oleh Barat dan Israel. Penyebab utamanya adalah canggihnya propaganda yang dilakukan Barat, baik melalui media mainstream maupun media berkedok Islam. Upaya propaganda ini sangat ampuh.

Buktinya, semangat ‘jihad’ dan kebencian terhadap Assad yang ‘kafir’ itu bisa menyebar luas bahkan hingga ke kampung-kampung di Indonesia yang jauhnya lebih dari 8.500 km dari Damaskus. (*Dina Sulaeman dalam buku Salju di Aleppo)

Kunjungi Berita Alternatif Di :

Bagikan

BERITA TERKAIT

Advertisement
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA