Search
Search
Search
Close this search box.

Mengenal Imam Muhammad al-Jawad as

Makam Imam Muhammad al- Jawad as. (Wikishia.net)
Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – Muhammad bin Ali bin Musa atau yang masyhurnya: Imam Jawad dan Imam Muhammad Taqi (195-220 H) adalah Imam Kesembilan Syiah Itsna Asyariyah.

Ia memegang tampuk keimamahan selama 17 tahun dan pada usia 25 tahun meneguk cawan syahadah. Ia adalah imam termuda yang syahid.

Usia muda yang dimiliki Imam Jawad as saat ayahandanya syahid, membuat sekelompok sahabat Imam Ridha as meragukan keimamahannya. Sebagian mereka menyebut saudaranya, Abdullah bin Musa sebagai imam, dan sebagian lainnya bergabung dengan kelompok Waqifiyah. Namun mayoritas mereka menerima keimamahan Muhammad bin Ali as.

Hubungan Imam Jawad as dengan Syiahnya lebih banyak melalui para wakilnya dan korespondensi. Pada periode keimamahan imam kesembilan Syiah, kelompok-kelompok ahli hadis, Zaidiyah, Waqifiyah dan Ghulat memiliki aktivitas. Imam memberitahukan akidah mereka kepada syiahnya dan melarang mereka salat berjamaah di belakang kelompok-kelompok tersebut serta mengutuk orang-orang Ghulat.

Perdebatan ilmiah Imam Jawad as dengan para ulama kelompok-kelompok Islam dalam masalah teologi seperti kedudukan Syekhain dan masalah-masalah fikih misalnya pemotongan tangan pencuri dan hukum-hukum haji adalah termasuk dari forum ilmiah tersohor para Imam Maksum.

Nasab, Julukan dan Gelar

Muhammad bin Ali bin Musa bin Ja’far bin Muhammad, adalah imam kesembilan Syiah Itsna Asyariyah, yang masyhur dengan Jawad al-Aimmah. Keturunan ke-6 yang nasabnya bersambung kepada Imam Ali as, imam pertama mazhab Syiah. Ayah beliau adalah Imam Ridha as, Imam kedelapan mazhab Syiah. Ibunda beliau seorang budak bernama Sabikah al-Nubiyah.

Julukan beliau adalah Abu Ja’far dan Abu Ali. Dalam sumber-sumbser hadis, ia disebut sebagai Abu Ja’far Tsani (kedua), supaya tidak keliru dengan Abu Ja’far Awal (pertama) (Imam Baqir as.

Di antara gelar terpopuler imam kesembilan adalah Jawad dan Ibnu al-Ridha. Taqi, Murtadha, Zaki, Qani’, Radhi, Mukhtar, Mutawakkil, Murtadha dan Muntajab, termasuk di antara lakab-lakab yang juga disematkan kepadanya.

Biografi

Menurut penuturan para sejarawan, Imam Jawad as lahir di kota Madinah, pada tahun 195 H/811. Namun terdapat perbedaan terkait hari dan bulan kelahirannya. Kebanyakan referensi meyakini hari kelahiran Imam terjadi pada bulan Ramadhan. Sebagian referensi tersebut menyebut 15 Ramadhan dan sebagian lagi menyebut 19 Ramadhan. Syekh Thusi dalam kitab Mishbah al-Mutahajjid menyebut 10 Rajab sebagai tanggal lahirnya.

Dari beberapa riwayat dapat dipahami bahwa sebelum kelahiran Jawad al-Aimmah sebagian kelompok Waqifi mengatakan, bagaimana Ali bin Musa as bisa menjadi seorang imam padahal ia tidak memiliki keturunan.

Oleh karena itu, tatkala Jawad al-Aimmah terlahir ke dunia, Imam Ridha as menyifati kelahirannya dengan kelahiran yang penuh berkah. Dengan semua itu bahkan setelah kelahirannya, sebagian kelompok Waqifi tetap mengingkari penisbatan dia kepada Imam Ridha as. Mereka mengatakan, ‘Jawad al-Aimmah tidak memiliki kemiripan wajah dengan ayahnya’, hingga didatangkan para ahli dan mereka menyatakan bahwa Imam Jawad as putra Imam Ridha as.

Mengenai kehidupan Imam Jawad as tidak banyak informasi yang dimuat dalam sumber-sumber historis. Hal itu dikarenakan keterbatasan-keterbatasan politik dari pihak pemerintahan Abbasiyah, taqiyah dan usianya yang pendek. Ia hidup di Madinah. Menurut laporan Ibnu Baihaqi, ia melakukan safar sekali ke Khurasan untuk bertemu dengan sang ayah. Dan setelah menjadi imam pun, ia beberapa kali didatangkan ke Baghdad oleh para penguasa Abbasiyah.

Pernikahan

Ma’mun Abbasi pada tahun 202 H/817 M atau 215 H/830 M mengawinkan putrinya, Ummu al-Fadhl dengan Imam Jawad as. Sebagian mengatakan bahwa ada kemungkinan pada pertemuan Imam Jawad dengan sang ayah di Thus, Ma’mun mengakadkan Ummul Fadhl dengannya. Menurut pernyataan Ibnu Katsir (701-774 H), khutbah akad Imam Jawad as dengan putri Ma’mun dibacakan di masa hidupnya Imam Ridha as, namun resepsi pernikahannya dilangsungkan pada tahun 215 H/830 M di Tikrit.

Menurut catatan sumber-sumber sejarah, pernikahan Imam Jawad as dengan Ummu al-Fadhl dilangsungkan atas permintaan Ma’mun. Tujuan Ma’mun adalah hendak menjadi kakek dari seorang anak dari keturunan Nabi saw dan Imam Ali as.

Menurut Syekh al-Mufid dalam kitab al-Irsyad, Ma’mun mengawinkan Ummu al-Fadhl dengan Muhammad bin Ali dikarenakan kepribadian ilmiahnya dan kecintaan kepadanya, namun beberapa peneliti meyakini bahwa perkawinan ini berlangsung dengan motivasi dan kepentingan-kepentingan politik, di antaranya Ma’mun dengan cara ini ingin mengontrol Imam Jawad as dan juga mengontrol hubungannya dengan para Syiahnya atau hendak menampakkan kecenderungannya kepada kelompok Alawi (Syiah) dan mencegah mereka melakukan pemberontak kepada Ma’mun. Pernikahan ini menuai protes dari sebagian pendukung Ma’mun, sebab mereka khawatir tampuk kekhalifahan akan berpindah dari kelompok Abbasi ke kelompok Alawi. Imam Jawad as menentukan mahar Ummu al-Fadhl setara dengan maharnya Sayidah Fatimah sa, yakni 500 Dirham. Imam tidak memiliki keturunan dari Ummu al-Fadhl.

Istri lain Imam Jawad as bernama Samanah al-Maghribiyah, seorang budak wanita yang dibeli atas keinginananya sendiri. Seluruh keturunan Imam Jawad as berasal dari Samanah al-Maghribiyah.

Keturunan

Menurut penuturan Syekh al-Mufid, Imam Jawad memiliki empat anak, yaitu Ali, Musa, Fatimah dan Umamah. Namun, sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa putri Imam ada tiga orang, yaitu Hakimah, Khadijah dan Ummu Kultsum. Pada sebagian sumber kontemporer dimuat bahwa Ummu Muhammad dan Zainab juga dianggap sebagai putri-putri beliau.

Syahadah

Pemerintahan Abbasiah dua kali mengundang Imam Jawad as dari Madinah menuju Baghdad. Perjalanan pertama pada masa Ma’mun tidak menghabiskan waktu begitu lama. Perjalanan kedua, atas perintah Mu’tashim, Imam masuk kota Baghdad pada hari 28 Muharram tahun 220 H/835 M, dan beliau meninggal pada bulan Dzulkaidah, atau Dzulhijjah di Baghdad pada tahun yang sama. Dalam kebanyakan referensi, hari syahadahnya adalah akhir Dzulhijjah, namun dalam sebagian referensi, tanggal 5 atau 6 Dzulkaidah juga disebutkan. Tubuh suci beliau dimakamkan di sisi kakeknya, imam Musa bin Ja’far as di pekuburan Quraisy di Kazhimain. Beliau berusia 25 tahun saat meneguk cawan syahadah. Atas dasar ini, beliau adalah imam Syiah yang berusia paling muda saat syahid.

Sebagian ahli sejarah meyakini bahwa penyebab kesyahidan Imam Jawad as adalah gunjingan Ibnu Abi Dawud (hakim Baghdad) di sisi Mu’tashim khalifah Abbasiah. Dan dalilnya adalah karena diterimanya pendapat imam tentang dipotongnya tangan pencuri, yang mana hal ini membuat Ibnu Abi Dawud dan sebagian besar para fakih dan para anggota istana menjadi malu.

Terkait bagaimana kesyahidan imam ke-9 Syiah, terdapat perbedaan pendapat. Dalam sebagian sumber dimuat bahwa Mu’tashim melalui salah seorang menterinya meracuni Imam dan ia pun syahid. Namun, sebagian orang meyakini bahwa Mu’tashim melalui Ummu al-Fadhl meracuni Imam.

Mas’udi, sejarawan abad ke-3 H (W. 346 H/958 M) mengatakan, Mu’tashim dan Ja’far bin Ma’mun (saudara Ummu al-Fadhl, istri Imam Jawad) senantiasa berfikir untuk membunuh Imam Jawad as. Karena Imam Jawad tidak memiliki keturunan dari Ummu al-Fadhl, maka Ja’far pun memprovokasi saudarinya, Ummu al-Fadhl supaya meracunnya. Dengan cara inilah mereka bedua menuang racun ke dalam anggur dan Imam pun meminumnya. Ummu al-Fadhl setelah itu menyesal dan menangis, namun Imam memberitahukan kepadanya bahwa ia akan tertimpa bencana yang tak akan ada penyembuhnya.

Terdapat catatan-catatan lain terkait bagaimana kesyahidan Imam Jawad di tangan Ummu al-Fadhl.

Periode Keimamahan

Muhammad bin Ali as menerima kedudukan imamah setelah kesyahidan Imam Ridha as tahun 203 H/818 M. Periode keimamahan beliau sezaman dengan kekhalifahan dua khalifah Abbasiah. Sekitar 15 tahun dari keimamahannya berlangsung pada masa kekhalifahan Ma’mun (193-218 H) dan 2 tahun pada masa kekhalifahan Mu’tashim (218-227 H).

Menurut pandangan Syiah, imam hanya ditentukan dengan nas (penegasan) imam sebelumnya. Artinya setiap imam harus dengan ungkapan tegas menentukan imam berikutnya. Imam Ridha as dalam banyak kesempatan telah mengumumkan keimamahan Muhammad bin Ali as kepada para sahabatnya.

Dalam masing-masing kitab al-Kafi, al-Irsyad, I’lam al-Wara[59] dan Bihar al-Anwar terdapat satu bab tentang nas-nas keimamahan Muhammad bin Ali as, yang dengan tertib telah dinukil 14, 11, 9 dan 26 riwayat berkenaan dengan masalah ini. Di antaranya: salah seorang sahabat Imam Ridha as bertanya tentang penggantinya, Imam Ridha as dengan tangannya mengisyaratkan kepada putranya, Muhammad Taqi as. Atau dalam riwayat lain Imam Ridha as berkata, “Ini adalah Abu Ja’far yang aku dudukkan di tempat dudukku dan aku serahkan kedudukanku kepadanya. (*)

Sumber: Wikishia

Kunjungi Berita Alternatif Di :

Bagikan

BERITA TERKAIT

Advertisement
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA